Minggu, 17 Mei 2009

Kemenakanku Tersayang (1)

Waktu begitu cepat berlalu. Rasanya belum hilang dari ingatanku saat teman-teman kuliahku menjenguk makhluk mungil yang terlelap di ranjangnya itu. Decak kekaguman keluar dari bibir mereka.
"Aih, gantengnya ponakanmu!"
"Ya, kalau mau tunggu saja sampai dia dewasa, "tukasku bercanda.
"Ngawur kamu! Aku sudah nenek-nenek, tahu!"
Para tetangga pun memujinya. Alisnya seperti bulan sabit, begitu komentar mereka.
Ah, siapa yang tidak bangga punya kemenakan tampan (bisa dipromosikan, ups!) Kalau tantenya saja bangga, bagaimana dengan orang tuanya? Ibunya saja terheran-heran melihat bayi yang baru beberapa jam dilahirkannya itu. "Wah, anakku ganteng, ya!"
Konon, kakak iparku (ibu kemenakanku) rajin membaca surat Yusuf dan Maryam selama mengandung. Kudengar pula dari ibuku, apabila ibu hamil membaca kedua surat tersebut maka insyaAllah, anak yang lahir akan memiliki kebagusan wajah dan budi pekerti. Amin!
Tahun-tahun pertama perkembangannya benar-benar kuperhatikan. Apalagi hampir setiap hari ia ada di rumahku, jadi lebih mudah memperhatikannya.
Kakakku memang menitipkan putranya di rumah kakek neneknya, sementara ia dan istrinya bekerja. Aku sendiri masih kuliah tetapi tidak mengapa, aku suka!
Kalau aku jujur, sebenarnya kemenakanku ini merupakan hasil percobaanku (kejam benar istilah ini tetapi aku belum menemukan kata yang tepat). Aku pernah membaca artikel di sebuah majalah langkah-langkah menjadikan anak cerdas dan gemar membaca sejak balita.
Maka, kusingkirkan ia jauh-jauh dari permainan berupa mobil-mobilan, pistol-pistolan, dan sejenisnya. Aku selalu siap dengan permainan balok, puzzle, bahkan buku-buku cerita.
Sepulang kuliah dan beristirahat sejenak, aku menjemputnya dari rumah tantenya (kakak kandung ibunya) dan menyuapinya. Sebelum tidur, aku selalu menyempatkan diri untuk mengajaknya bermain balok, bercerita dengan boneka-boneka binatang yang berjajar di tempat tidurnya atau membacakan sebuah cerita (biasanya ia tertarik melihat gambarnya dan ikut berkomentar atau bertanya), dan menyanyikan beberapa lagu anak-anak saat ia terlihat mulai mengantuk.
Itu juga salah satu caraku supaya ia segera tidur. Permainan balok cukup melelahkan untuk anak usia balita. Dapat dibayangkan jika ia tidak tidur siang pastilah aku harus berpanas-panas mengikutinya ke sana ke mari apalagi dia anak yang selalu aktif dan serba ingin tahu. Malamnya pasti rewel karena kelelahan.
Usahaku cukup berhasil. Belum genap lima tahun, ia sudah bisa membaca. Setiap ada tamu yang datang, ia langsung mengambil buku pelajarannya dan memamerkan kepandaiannya membaca. Caranya bukan membaca di depan tamu melainkan duduk di ruang tengah dan membaca dengan suara lantang supaya terdengar si Tamu. Cerdas benar. Biasanya si Tamu langsung bangkit menghampirinya, "Oh, Adik sedang belajar, ya? Pintar ya, sudah bisa membaca."


Ya, tak terasa waktu begitu cepat berlalu.
"Dik, Eki bingung, besok kan UNAS bahasa Indonesia, "ujar kakakku ketika aku berkunjung ke rumahnya sehari sebelum UNAS. "Katanya, Pa, bahasa Indonesia ternyata sulit, ya!"
"Dulu sudah pernah kuajari, Mas, katanya sudah mengerti."
"Mungkin baru sekarang ia menyadari kerumitannya. "Nanti ajari sebentar."
"Mana Eki sekarang?"
"Masih les."
"Kalau begitu, aku tunggu."
"Dua hari Eki tidak masuk sekolah, badannya panas, "ujar kakakku lagi. "Waktu aku tanya ternyata ia dipindah ke kelas yang ada ACnya. Dia tidak kuat pakai AC."
"Iya, kuatnya kan pakai kipas angin, "tukasku tersenyum. "Kenapa Eki pindah kelas, Mas?"
"Katanya ia dipindah ke kelas yang lebih bagus. Kelas pilihan, muridnya hanya sembilan orang."
Tepat tengah hari Eki pulang. Kakakku menegurnya, "Eki, itu Tante. Kamu bisa tanya Tante, besok kan bahasa Indonesia."
Eki berpaling dan mencium tanganku (sejak kecil ia selalu demikian) sambil tersenyum.
Aku menyusulnya ke kamar. Kulihat ia sedang membaca buku kumpulan soal.
"Mau tanya apa, Ki?"
"Mmm... kalimat utama sama gagasan utama sama ya, Tante?"
"Lain, "jawabku. "Kalau kalimat utama...."


Eki kemenakanku yang sulung. Dia empat bersaudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Anak ini pendiam dan kutu buku. Ke mana-mana membawa buku, di mana-mana membaca buku. Menonton televisi juga sambil membaca buku. Dua hal yang sulit dipilihnya. Ia tidak mau mematikan televisi atau menutup buku yang dibacanya.
Pasti semua gara-gara aku tantenya yang nekad menjadikan kemenakannya gemar membaca. Bagaimana tidak sejak bayi sudah aku jejali dongeng sebelum tidur. Umur tiga tahun aku beri dia buku cerita bergambar. Hasilnya ? Belum genap lima tahun ia sudah ingin belajar membaca....dan lima tahun sudah lancar membaca kalimat sederhana.



Tidak ada komentar: