Arak ini begitu memabukkan
belum setengah gelas kuhabiskan
aku tlah terbuai rayuan
bahkan malam pun berpesta kegirangan
Basahi kerongkongan
tenggak bersloki-sloki kegelapan
menumpahkannya ke dalam gelas kebimbangan
Aku dan malam berdekapan
selimut malu sudah dicampakkan
malam bisikkan hitam memabukkan
aku pun terhanyut oleh kepekatan
Limbung diri di perjalanan
melambai-lambai pelita dari kejauhan
belum terlepas dari segala kepenatan
Malam tawarkan arak memabukkan
namun pelita hadir bersinaran
gelas kebimbangan pun kulemparkan
hancur sudah belenggu kepekatan
Sabtu, 30 April 2011
Rabu, 27 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Malam semakin larut. Tetapi, baik Tantra maupun Nada belum terserang kantuk. Keduanya malah melanjutkan curhat di sofa ruang tengah.
"Janji, aku tidak akan berbicara dengan Randy, atau siapa pun sebelum Mas izinkan, "ujar Nada setelah Tantra benar-benar reda kemarahannya.
Tantra tak menjawab. Ia hanya menatap istrinya tanpa berkedip. Tadi ia sempat melihat tampaknya Nada sudah mulai sulit berjalan karena perutnya yang besar. Tetapi belum pernah sekalipun ia mendengar istrinya mengeluh. Malah dulu yang ngidam, dirinya sendiri. Nada selalu mengalah. Bahkan, bersusah payah menemui suami yang sedang uring-uringan di rumah orang tua. Lalu siapa yang minta maaf lebih dulu? Ah, seharusnya aku yang minta maaf, ujarnya dalam hati.
"Mas, masih marah, ya?"
Tetapi Tantra tidak mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba ia teringat semuanya. Nada yang sangat pemalu sampai-sampai menolak setiap kali digandeng atau dipeluk di depan umum. Waktu itu Tantra heran, menurutnya mengapa harus malu, bukankah kami sudah sepasang suami istri? Yang belum menikah saja tidak malu. Tetapi, sampai detik ini Nada masih pemalu.
Nada menghela napas perlahan. Tampak jelas suaminya sedang memikirkan sesuatu. Wanita itu melambai-lambaikan tangannya di depan mata laki-laki muda itu.
Tantra tersentak.
"Mas melamun?"
"Tidak, "Tantra mengelak. "Lho, kok ada nasi goreng, Mbak? Kapan masaknya?"
"Waktu Mas melamun."
Tantra tersenyum. "Terima kasih, Mbak, "ujarnya lembut.
Nada balas tersenyum.
Apakah kita selalu menyadari bahwa jatuh cinta itu selalu muncul tanpa direncanakan sebelumnya? Mungkin dulu saat remaja, kita yakin akan mengalami perasaan itu. Tetapi setelah kita dewasa, barulah kita mengerti arti cinta yang sebenarnya.
Begitu pula dengan Randy. Sampai usianya yang ketiga puluh tiga ini, ia masih betah melajang. Bukan apa-apa, karena dia adalah salah seorang yang tidak percaya pada perasaan jatuh cinta saat remaja.
Laki-laki itu berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Ya, ia telah jatuh cinta. Seharusnya ia bersyukur akan hal itu. Tetapi, sayang kali ini panah Dewa Amor tidak menancap pada sasaran yang tepat.
"Janji, aku tidak akan berbicara dengan Randy, atau siapa pun sebelum Mas izinkan, "ujar Nada setelah Tantra benar-benar reda kemarahannya.
Tantra tak menjawab. Ia hanya menatap istrinya tanpa berkedip. Tadi ia sempat melihat tampaknya Nada sudah mulai sulit berjalan karena perutnya yang besar. Tetapi belum pernah sekalipun ia mendengar istrinya mengeluh. Malah dulu yang ngidam, dirinya sendiri. Nada selalu mengalah. Bahkan, bersusah payah menemui suami yang sedang uring-uringan di rumah orang tua. Lalu siapa yang minta maaf lebih dulu? Ah, seharusnya aku yang minta maaf, ujarnya dalam hati.
"Mas, masih marah, ya?"
Tetapi Tantra tidak mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba ia teringat semuanya. Nada yang sangat pemalu sampai-sampai menolak setiap kali digandeng atau dipeluk di depan umum. Waktu itu Tantra heran, menurutnya mengapa harus malu, bukankah kami sudah sepasang suami istri? Yang belum menikah saja tidak malu. Tetapi, sampai detik ini Nada masih pemalu.
Nada menghela napas perlahan. Tampak jelas suaminya sedang memikirkan sesuatu. Wanita itu melambai-lambaikan tangannya di depan mata laki-laki muda itu.
Tantra tersentak.
"Mas melamun?"
"Tidak, "Tantra mengelak. "Lho, kok ada nasi goreng, Mbak? Kapan masaknya?"
"Waktu Mas melamun."
Tantra tersenyum. "Terima kasih, Mbak, "ujarnya lembut.
Nada balas tersenyum.
Apakah kita selalu menyadari bahwa jatuh cinta itu selalu muncul tanpa direncanakan sebelumnya? Mungkin dulu saat remaja, kita yakin akan mengalami perasaan itu. Tetapi setelah kita dewasa, barulah kita mengerti arti cinta yang sebenarnya.
Begitu pula dengan Randy. Sampai usianya yang ketiga puluh tiga ini, ia masih betah melajang. Bukan apa-apa, karena dia adalah salah seorang yang tidak percaya pada perasaan jatuh cinta saat remaja.
Laki-laki itu berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Ya, ia telah jatuh cinta. Seharusnya ia bersyukur akan hal itu. Tetapi, sayang kali ini panah Dewa Amor tidak menancap pada sasaran yang tepat.
Selasa, 26 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Nada memutuskan pulang malam itu juga. Ibu selalu emosional akibatnya masalah menjadi semakin runyam. Nada tidak mungkin mengharapkan bantuan ayahnya. Beliau sibuk mengurus bisnis di luar kota. Banu? Apalagi dia. Adik satu-satunya itu paling-paling akan berkata, "Sabar, Mbak. Tantra kan masih muda." Membayangkan hal itu, Nada menyerah, lebih ia pulang.
"Aku pulang saja, Bu."
"Besok saja, Nada, sekarang sudah malam."
Nada menggeleng. "Mestinya aku tetap di rumah, Bu, menunggu suami pulang."
Tia melotot. "Eh, apa-apaan kamu ini? Kalau dia boleh seenaknya keluar rumah, masa kamu tidak? Suami macam apa itu?"
"Bu, Nada yakin sebenarnya Ibu juga tidak mau kalau aku sampai jadi janda...."
"Tunggu, "Tia mengerutkan dahi. "Maksudmu, dia mau ceraikan kamu?"
Lagi-lagi Nada mendesah.
Cakra dan Afan berpandangan. Si Sulung memang keras kepala. Tantra menolak untuk menjemput istrinya.
"Yang kamu lihat itu belum tentu benar, "ujar Afna. "Ibu yakin istrimu hanya gembira bertemu teman lamanya."
Ya, dan kelihatannya itu cinta pertamanya, tukas Tantra dalam hati. Lihat saja, sampai pegang tangan segala!
"Kamu harus jemput istrimu lalu ajak dia pulang, "Cakra menimpali.
"Memang dia belum tahu jalan pulang?"tukas Tantra.
Afna menarik napas panjang. "Kamu suaminya. Sudah seharusnya kamu melindungi istrimu dan menjaga perasaannya. Bukan malah sebaliknya. Apalagi istrimu sedang hamil tua."
"Ibumu benar, Tantra. Sebentar lagi kamu akan jadi ayah. Apa kamu tidak merasa sayang dan kasihan membayangkan istrimu berdiri di tepi jalan menghentikan angkot, sementara berjalan saja sudah kepayahan karena perutnya yang besar?"
"Kan dia yang hamil, kenapa aku harus ikut susah?"
Afna melotot. Cakra menghela napas.
"Yang hamil memang istrimu, "sahut Cakra menahan jengkel. "Tapi siapa penanam sahamnya?"
"Sudahlah, Ayah, Ibu, "tukas Tantra. "Kalau Nada sampai hamil itu maunya sendiri. Dulu dia tidak menolak. Jadi, kenapa Ayah juga Ibu malah salahkan aku?"
Untuk kesekian kalinya sepasang orang tua itu berpandangan.
Tantra tidak mau ambil pusing. Ia beranjak dari sofa.
Tetapi....
"Mas, ada Mbak Nada, "ujar Rafa yang muncul sambil menggandeng kakak iparnya.
"Do...yang mau kangen-kangenan, "celetuk Cakra iseng. "Rafa, cepat masuk kamar! Bu, ayo kita tidur. Besok Ayah kan harus ke kantor pagi-pagi."
Afna beranjak sambil menerima uluran tangan suaminya. "Iya, Yah, kebetulan Ibu juga mau cepat-cepat istirahat."
Tantra menatap jengkel kedua orang tua dan adiknya yang meninggalkannya berdua dengan Nada di ruang tamu secara serentak.
"Mas...."
Tantra menoleh. Nada berdiri di hadapannya sambil melempar senyum. "Kita pulang, Mas, "ujarnya.
"Laki-laki itu yang mengantarmu?" Tantra malah balik bertanya. "Mana dia sekarang?"
"Randy maksud Mas?" Nada masih tersenyum. "Kami tidak ada hubungan apa-apa, percayalah."
Tantra tidak menjawab. Ia malah membalikkan badan hendak menuju kamar tidur.
Nada meraih tangannya. "Mas, maafkan aku karena sudah membuatmu marah dan kecewa. Mungkin Randy punya perasaan lain, aku tidak tahu. Tapi, yang jelas aku tidak."
"Tapi, kalian saling pegang tangan."
"Dia yang memegang tanganku ...tapi lalu kulepaskan."
Tantra hanya membisu.
"Baiklah, "Nada mencoba bersabar. "Tidak apa-apa kalau masih marah, tapi kita pulang sekarang, ya?"
"Kamu pulang saja sendiri, "Tantra melepaskan tangan istrinya.
"Tunggu sebentar!"
Tantra mematung.
"Aku tidak akan pulang sebelum Mas mau pulang. Kita harus pulang sama-sama, "ujar wanita itu kembali meraih tangan suaminya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu marah...."
Tiba-tiba Tantra merasakan genggaman Nada begitu hangat. Ia memutar tubuhnya dan melihat air mata menetes satu-satu di wajah wanita itu.
"Mbak, maafkan aku, "bisik pemuda itu balas menggenggam tangan istrinya.
"Alhamdulillah..., "bisik Nada lirih dengan perasaan lega bercampur bahagia.
Minggu, 24 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Nada semakin resah. Ibu bukannya memberikan jalan keluar atau paling tidak semangat, malah menjelek-jelekkan Tantra menantunya itu,
"Nah, apa kata Ibu, Nada?"ujarnya begitu putri sulungnya selesai bercerita. "Itulah susahnya punya suami lebih muda. Jangan-jangan itu cuma alasan dia."
"Maksud Ibu?"
"Iya, menuduhmu selingkuh, padahal dia sendiri yang sudah bosan."
Nada terdiam.
"Kamu tidak percaya? Coba ingat-ingat lagi, berapa kali dia merayumu, menyebutmu cantik?"
Mau tak mau Nada tersenyum. Hm...berapa kali, ya? Ah, Tantra suami yang romantis. Soal rayu-merayu, dia ahlinya.
Tia sewot melihat putrinya yang mirip orang tidak waras. "Nada, kok malah senyum-senyum sendiri?!"
Nada tersentak. "Eh, i...iya, Bu...."
"Dasar ini anak, "gerutu wanita itu. "Berapa kali dia memujimu cantik?"
"Mm...sering, Bu...."
"Aah, pasti kalau ada maunya. Iya, kan?"
"Maksud Ibu?"
"Ya...kalau ada maunya, "sahut Tia melirik perut anaknya. "Kalau tidak, mana mungkin perutmu buncit begitu."
Nada mendesah.
Cakra tercengang. Malam itu Tantra datang sambil membawa ransel. Ayahnya tentu saja heran, sejak kapan putra sulungnya itu hobi naik gunung?
"Mana istrimu?"
Tantra meletakkan ranselnya di atas sofa. "Tidak tahu."
"Hah?"Cakra tercengang. "Istrimu pergi, dan kamu tidak tahu ke mana?"
"Apa perduliku?"tukas Tantra menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Pria setengah baya itu merasa ada yang tidak beres. Dengan tenang ia duduk di samping anaknya.
"Kalian bertengkar?"
"Tidak."
"Lalu kenapa tidak temani istrimu?"
"Untuk apa? Dia sudah punya supir pribadi."
Cakra mengerutkan kening. "Maksudmu...kamu menuduh istrimu selingkuh, begitu?"
"Itu bukan tuduhan, Ayah. Itu kenyataan. Aku melihatnya sendiri."
"Mas, itu tidak mungkin, "sela Rafa yang tiba-tiba keluar kamar. Rupanya gadis iseng itu menguping pembicaraan ayah dan kakaknya sejak tadi.
"Apanya yang tidak mungkin?"
"Mas, Mbak Nada itu istri yang sangat setia."
"Setia? Sejak kapan kamu jadi pembela perempuan itu, Rafa?"
"Mas!"Rafa kaget mendengar sebutan kakaknya untuk Nada. "Dia itu istrimu."
"Tantra, kamu menyesal menikah dengan Nada?"
Tantra mengerutkan kening.
"Menyesal, karena dia lebih tua? Ingat, Tantra...dia istrimu dan sedang mengandung anakmu."
Tantra terdiam sejenak. "Ayah, bukannya dia yang menyesal? Jangan-jangan laki-laki itu lebih jago merayu dibanding aku."
Cakra menarik napas panjang. Rafa menoleh ke arah ayahnya.
"Nah, apa kata Ibu, Nada?"ujarnya begitu putri sulungnya selesai bercerita. "Itulah susahnya punya suami lebih muda. Jangan-jangan itu cuma alasan dia."
"Maksud Ibu?"
"Iya, menuduhmu selingkuh, padahal dia sendiri yang sudah bosan."
Nada terdiam.
"Kamu tidak percaya? Coba ingat-ingat lagi, berapa kali dia merayumu, menyebutmu cantik?"
Mau tak mau Nada tersenyum. Hm...berapa kali, ya? Ah, Tantra suami yang romantis. Soal rayu-merayu, dia ahlinya.
Tia sewot melihat putrinya yang mirip orang tidak waras. "Nada, kok malah senyum-senyum sendiri?!"
Nada tersentak. "Eh, i...iya, Bu...."
"Dasar ini anak, "gerutu wanita itu. "Berapa kali dia memujimu cantik?"
"Mm...sering, Bu...."
"Aah, pasti kalau ada maunya. Iya, kan?"
"Maksud Ibu?"
"Ya...kalau ada maunya, "sahut Tia melirik perut anaknya. "Kalau tidak, mana mungkin perutmu buncit begitu."
Nada mendesah.
Cakra tercengang. Malam itu Tantra datang sambil membawa ransel. Ayahnya tentu saja heran, sejak kapan putra sulungnya itu hobi naik gunung?
"Mana istrimu?"
Tantra meletakkan ranselnya di atas sofa. "Tidak tahu."
"Hah?"Cakra tercengang. "Istrimu pergi, dan kamu tidak tahu ke mana?"
"Apa perduliku?"tukas Tantra menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Pria setengah baya itu merasa ada yang tidak beres. Dengan tenang ia duduk di samping anaknya.
"Kalian bertengkar?"
"Tidak."
"Lalu kenapa tidak temani istrimu?"
"Untuk apa? Dia sudah punya supir pribadi."
Cakra mengerutkan kening. "Maksudmu...kamu menuduh istrimu selingkuh, begitu?"
"Itu bukan tuduhan, Ayah. Itu kenyataan. Aku melihatnya sendiri."
"Mas, itu tidak mungkin, "sela Rafa yang tiba-tiba keluar kamar. Rupanya gadis iseng itu menguping pembicaraan ayah dan kakaknya sejak tadi.
"Apanya yang tidak mungkin?"
"Mas, Mbak Nada itu istri yang sangat setia."
"Setia? Sejak kapan kamu jadi pembela perempuan itu, Rafa?"
"Mas!"Rafa kaget mendengar sebutan kakaknya untuk Nada. "Dia itu istrimu."
"Tantra, kamu menyesal menikah dengan Nada?"
Tantra mengerutkan kening.
"Menyesal, karena dia lebih tua? Ingat, Tantra...dia istrimu dan sedang mengandung anakmu."
Tantra terdiam sejenak. "Ayah, bukannya dia yang menyesal? Jangan-jangan laki-laki itu lebih jago merayu dibanding aku."
Cakra menarik napas panjang. Rafa menoleh ke arah ayahnya.
Di Arung Jeram Cinta (Bab IX)
Ini sungguh-sungguh tidak terduga. Waktu memang berlalu tanpa terasa dan terjadilah pertemuan yang tidak direncanakan sedikitpun ini. Masa remaja meskipun telah lama berlalu, tetapi tetap saja mampu menyimpan kenangan tersendiri. Apalagi kalau itu berwujud cinta pertama.
"Sudah berapa bulan?"tanya Randy sambil pandangannya melirik ke arah perut Nada yang membuncit. Ia bertanya-tanya siapa gerangan suami adik kelas semasa SMA ini.
"Delapan bulan, "Nada tersenyum. Dadanya berdegup kencang. Kembali wanita itu teringat kala pertama ia mengenal cinta.
Tetapi, cinta itu kandas di tengah jalan. Randy, kakak kelas Nada notabene ketua OSIS itu ternyata adalah the most wanted di SMA mereka. Jelas saja, Nada yang bertampang biasa-biasa saja ditambah kulitnya yang gelap untuk ukuran Indonesia itu langsung tereliminasi. Ya, Nada kalah bersaing dengan gadis-gadis cantik dan agresif yang juga menaruh hati kepada sang Ketua OSIS.
Memang, akhirnya Randy mengetahui bahwa sebenarnya adik kelas dua tahun di bawahnya itu mempunyai perasaan tertentu kepadanya, tetapi ia tidak mungkin membohongi diri sendiri.Ia tidak memiliki perasaan apa-apa.
Tetapi, masyaAllah. Ada apa ini? Mengapa Randy merasa detak jantungnya begitu kencang? Padahal, belasan tahun yang lalu, ia tidak pernah merasakan hal ini ketika bertemu atau berbicara dengan Nada. Tetapi, mengapa sekarang...?
Banu terkejut. Pemuda itu dapat membaca perubahan di raut wajah Tantra. Kakak iparnya itu melempar bungkus permen ke tong sampah dengan kasar.
"Tantra, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
"Tidak ada apa-apa, tapi wajahmu merah padam begitu?"
Tantra menoleh ke arah adik iparnya dengan gusar. "Kau ini kenapa, Banu? Sore ini cerewetmu melebihi kakatua."
Banu memilih diam.
Nada benar-benar tidak mengerti. Sejak kembali dari membeli oleh-oleh untuk Lisa sampai pulang dari rumah sakit, Tantra diam saja. Suaminya itu hanya berbicara seperlunya.
"Ini minumnya, Mas, "Nada meletakkan secangkir teh hangat di meja ruang tengah.
Tantra melempar koran yang dibacanya dan beranjak meninggalkan istrinya.
"Mas!"
Tantra menghentikan langkah. "Aku mau tidur, "katanya tanpa menoleh.
Nada bergegas mengejar. "Mas, kenapa? Mas marah?"
Laki-laki itu menatap istrinya tajam. "Aku mau tidur. Jelas?"
Wanita itu mundur selangkah.
"Sudah berapa bulan?"tanya Randy sambil pandangannya melirik ke arah perut Nada yang membuncit. Ia bertanya-tanya siapa gerangan suami adik kelas semasa SMA ini.
"Delapan bulan, "Nada tersenyum. Dadanya berdegup kencang. Kembali wanita itu teringat kala pertama ia mengenal cinta.
Tetapi, cinta itu kandas di tengah jalan. Randy, kakak kelas Nada notabene ketua OSIS itu ternyata adalah the most wanted di SMA mereka. Jelas saja, Nada yang bertampang biasa-biasa saja ditambah kulitnya yang gelap untuk ukuran Indonesia itu langsung tereliminasi. Ya, Nada kalah bersaing dengan gadis-gadis cantik dan agresif yang juga menaruh hati kepada sang Ketua OSIS.
Memang, akhirnya Randy mengetahui bahwa sebenarnya adik kelas dua tahun di bawahnya itu mempunyai perasaan tertentu kepadanya, tetapi ia tidak mungkin membohongi diri sendiri.Ia tidak memiliki perasaan apa-apa.
Tetapi, masyaAllah. Ada apa ini? Mengapa Randy merasa detak jantungnya begitu kencang? Padahal, belasan tahun yang lalu, ia tidak pernah merasakan hal ini ketika bertemu atau berbicara dengan Nada. Tetapi, mengapa sekarang...?
Banu terkejut. Pemuda itu dapat membaca perubahan di raut wajah Tantra. Kakak iparnya itu melempar bungkus permen ke tong sampah dengan kasar.
"Tantra, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
"Tidak ada apa-apa, tapi wajahmu merah padam begitu?"
Tantra menoleh ke arah adik iparnya dengan gusar. "Kau ini kenapa, Banu? Sore ini cerewetmu melebihi kakatua."
Banu memilih diam.
Nada benar-benar tidak mengerti. Sejak kembali dari membeli oleh-oleh untuk Lisa sampai pulang dari rumah sakit, Tantra diam saja. Suaminya itu hanya berbicara seperlunya.
"Ini minumnya, Mas, "Nada meletakkan secangkir teh hangat di meja ruang tengah.
Tantra melempar koran yang dibacanya dan beranjak meninggalkan istrinya.
"Mas!"
Tantra menghentikan langkah. "Aku mau tidur, "katanya tanpa menoleh.
Nada bergegas mengejar. "Mas, kenapa? Mas marah?"
Laki-laki itu menatap istrinya tajam. "Aku mau tidur. Jelas?"
Wanita itu mundur selangkah.
Rabu, 20 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
"Berikan Mbak Nada, "ujar Tantra menyerahkan sehelai handuk ungu muda.
Rafa menerima handuk itu seraya tercengang. "Kok, bukan Mas saja?"
"Dia ada di kamar mandi, "jawab kakaknya meletakkan tas besar di sofa ruang tengah.
"Lalu kenapa?"
"Hm..., "si Kakak tampak berpikir, mungkin berusaha mencari-cari jawaban yang bisa membungkam rasa penasaran adiknya. "Ya, tahulah sendiri, kalau orang sedang mandi itu, bagaimana, "sahutnya meninggalkan si Adik yang bengong.
Rafa mengangkat bahu.
Meskipun tidak pernah membicarakan kejadian tragis yang menimpa dirinya, tetapi Asri tahu benar bahwa sebenarnya luka yang diderita Meyra belum terobati. Bahkan mungkin luka semacam itu tidak akan pernah dapat disembuhkan. Wanita itu benar-benar prihatin akan perasaan dan nasib adik iparnya.
"Sudah selesai cuci sayurannya?"
Meyra tersentak. Tanpa sengaja ia menjatuhkan basi plastik berisi sayuran ke bak cucian.
Asri meletakkan sebungkus bakso di meja dapur lalu bergegas menghampiri gadis itu.
"Pasti melamun lagi."
"Maaf, Mbak, "Meyra mengembalikan sayuran yang tumpah ke dalam basi.
"Dik, kamu tidak boleh mengingat-ingat, "ujar Asri lembut. "Kamu mesti tabah menghadapi musibah ini. Siapa tahu ini ujian Allah untuk mengangkat derajatmu."
Meyra menoleh, menatap kakak iparnya dengan pandang sedih. "Apa harus dengan cara seperti ini Allah mengujiku, Mbak?"tukasnya lirih. "Berat sekali rasanya. Tadi, baru saja terlintas kembali di kepalaku... kejadian malam itu. Semua perlawananku sia-sia... aku tak bisa mempertahankan..., "Meyra menghentikan kata-katanya. Ia merasa tidak sanggup menyelesaikannya.
Asri menuntun gadis yang malang itu duduk di kursi. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Ada ide cemerlang melintas di benaknya. Tetapi, sebaiknya ia menunggu Herman pulang dari kantornya yang baru. Masih jam tiga lebih dua puluh menit. Tidak apa-apa menunggu sekitar tiga jam lagi.
Rafa menerima handuk itu seraya tercengang. "Kok, bukan Mas saja?"
"Dia ada di kamar mandi, "jawab kakaknya meletakkan tas besar di sofa ruang tengah.
"Lalu kenapa?"
"Hm..., "si Kakak tampak berpikir, mungkin berusaha mencari-cari jawaban yang bisa membungkam rasa penasaran adiknya. "Ya, tahulah sendiri, kalau orang sedang mandi itu, bagaimana, "sahutnya meninggalkan si Adik yang bengong.
Rafa mengangkat bahu.
Meskipun tidak pernah membicarakan kejadian tragis yang menimpa dirinya, tetapi Asri tahu benar bahwa sebenarnya luka yang diderita Meyra belum terobati. Bahkan mungkin luka semacam itu tidak akan pernah dapat disembuhkan. Wanita itu benar-benar prihatin akan perasaan dan nasib adik iparnya.
"Sudah selesai cuci sayurannya?"
Meyra tersentak. Tanpa sengaja ia menjatuhkan basi plastik berisi sayuran ke bak cucian.
Asri meletakkan sebungkus bakso di meja dapur lalu bergegas menghampiri gadis itu.
"Pasti melamun lagi."
"Maaf, Mbak, "Meyra mengembalikan sayuran yang tumpah ke dalam basi.
"Dik, kamu tidak boleh mengingat-ingat, "ujar Asri lembut. "Kamu mesti tabah menghadapi musibah ini. Siapa tahu ini ujian Allah untuk mengangkat derajatmu."
Meyra menoleh, menatap kakak iparnya dengan pandang sedih. "Apa harus dengan cara seperti ini Allah mengujiku, Mbak?"tukasnya lirih. "Berat sekali rasanya. Tadi, baru saja terlintas kembali di kepalaku... kejadian malam itu. Semua perlawananku sia-sia... aku tak bisa mempertahankan..., "Meyra menghentikan kata-katanya. Ia merasa tidak sanggup menyelesaikannya.
Asri menuntun gadis yang malang itu duduk di kursi. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Ada ide cemerlang melintas di benaknya. Tetapi, sebaiknya ia menunggu Herman pulang dari kantornya yang baru. Masih jam tiga lebih dua puluh menit. Tidak apa-apa menunggu sekitar tiga jam lagi.
Selasa, 19 April 2011
Taburan Melati
Aku melihat taburan melati
berserak di sepanjang liku hati
Untaian itu mekar mewangi
melilit di akar sanubari
Aku melihat jalinan putih berseri
mengelilingi lingkar kalbu diri
berserak di sepanjang liku hati
Untaian itu mekar mewangi
melilit di akar sanubari
Aku melihat jalinan putih berseri
mengelilingi lingkar kalbu diri
Rabu, 13 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Ara tersenyum geli mendengar cerita Tantra dan Nada tentang dua gadis remaja yang salah menduga itu. Wanita itu tidak heran sedikit pun kalau banyak orang yang salah menerka status sepasang suami istri itu.
"Aneh juga, kenapa mereka kira kamu janda, Mbak?"Tantra memandang Nada dengan wajah terheran-heran. Malam itu istrinya mengenakan daster putih tulang berhias sulaman berbentuk rerumputan di bagian dada. Rambutnya yang sepundak diikat satu dengan jepit berwarna keemasan.
"Tentu saja, "sahut Nada. Wajahku kan kelihatan jauh lebih tua, ditambah lagi perutku yang besar ini."
"Anak seusia mereka memang masih punya pikiran kalau jodoh itu usianya pasti sebaya, "sela Ara. "Oh ya, omong-omong kapan kamu melahirkan, Nada?"
"InsyaAllah, bulan depan, Tante."
"Sudah beli keperluan untuk bayi kalian?"
"Sudah, Tante, "kali ini Tantra yang menjawab. "Menurut Tante, kelambu boksnya warna apa, ya?"
Ara tersenyum. "Kamu menyindir, ya?"tukasnya dengan nada bercanda. "Tante kan belum pernah punya anak."
Tantra jadi merasa tidak enak. Ia meraih tangan bibinya. "Maaf, Tantra tidak bermaksud menyindir apalagi menyinggung perasaan Tante, "katanya.
"Benar, Tante, "Nada menimpali. "Mas Tantra percaya kalau Tante bisa memilihkan warna kelambu boks yang tepat."
"Sudahlah, Tante tidak apa-apa, "Ara menepuk punggung tangan kemenakannya. "Tante cuma bercanda." Wanita itu menghela napas perlahan. "Selama ini Tante selalu berusaha mensyukuri apapun yang Allah berikan."
Rupanya benar kata-kata Ayah dulu, ujar Tantra dalam hati. Tante Ara adik Ayah yang paling berat cobaannya, tetapi justru paling tabah di antara saudara-saudaranya.
Nada membuka tutup saji kecil. Tampak sepiring lumpia semarang lengkap dengan saus dan daun bawang berjejer di piring bundar putih di atas meja ruang tengah itu. "Mas, ini buatan Tante, lho. Lumpia semarang kan kesukaan Mas."
"Kenapa bukan buatan Mbak?"Tantra pura-pura merajuk. "Kalau buatan Tante sudah pasti enak."
"Sabar, yang ini buatanku, "Nada membuka tisu yang menutupi piring kecil. Ternyata isinya lima potong lumpia dan para pendampingnya. Hanya saja bentuknya terlihat lain.
"Kok beda?"Tantra tercengang melihat bentuk lima sekawan lumpia imut yang persegi.
"Aku salah ambil, itu kulit pangsit."
"Ha? Kenapa digoreng juga?"
"Kan baru coba-coba. Ayo, dimakan, kalau tidak aku marah."
"Lho, kok jadinya ngancam?"
Kembali Ara mengulum senyum geli melihat canda suami istri itu. Sayang, besok ia sudah harus pulang padahal sebenarnya ia masih betah berlama-lama dengan kemenakan dan istrinya.
"Kau benar-benar tidak memikirkan perasaan orang, "geram Randy menahan marah. Saat itu keduanya duduk di depan paviliyun tempat Lisa dirawat. "Rupanya tidak cukup kamu sakiti adikku, istrimu sendiri, lalu masih juga cari korban lain."
Danar menunduk. "Waktu itu aku memang dikuasai nafsu amarah yang luar biasa, "ujarnya lirih. "Aku menyesal."
"Aku yakin kau tidak segera menyesal setelah melakukannya, "tukas Randy sinis. "Bahkan bisa jadi kau punya pikiran akan mengulanginya lagi."
"Tapi aku tidak melakukannya."
"Ya, karena kamu kaget dengan kemunculan istrimu yang tiba-tiba. Jadi, kamu tak sempat lagi mengurusi gadis itu."
"Aneh juga, kenapa mereka kira kamu janda, Mbak?"Tantra memandang Nada dengan wajah terheran-heran. Malam itu istrinya mengenakan daster putih tulang berhias sulaman berbentuk rerumputan di bagian dada. Rambutnya yang sepundak diikat satu dengan jepit berwarna keemasan.
"Tentu saja, "sahut Nada. Wajahku kan kelihatan jauh lebih tua, ditambah lagi perutku yang besar ini."
"Anak seusia mereka memang masih punya pikiran kalau jodoh itu usianya pasti sebaya, "sela Ara. "Oh ya, omong-omong kapan kamu melahirkan, Nada?"
"InsyaAllah, bulan depan, Tante."
"Sudah beli keperluan untuk bayi kalian?"
"Sudah, Tante, "kali ini Tantra yang menjawab. "Menurut Tante, kelambu boksnya warna apa, ya?"
Ara tersenyum. "Kamu menyindir, ya?"tukasnya dengan nada bercanda. "Tante kan belum pernah punya anak."
Tantra jadi merasa tidak enak. Ia meraih tangan bibinya. "Maaf, Tantra tidak bermaksud menyindir apalagi menyinggung perasaan Tante, "katanya.
"Benar, Tante, "Nada menimpali. "Mas Tantra percaya kalau Tante bisa memilihkan warna kelambu boks yang tepat."
"Sudahlah, Tante tidak apa-apa, "Ara menepuk punggung tangan kemenakannya. "Tante cuma bercanda." Wanita itu menghela napas perlahan. "Selama ini Tante selalu berusaha mensyukuri apapun yang Allah berikan."
Rupanya benar kata-kata Ayah dulu, ujar Tantra dalam hati. Tante Ara adik Ayah yang paling berat cobaannya, tetapi justru paling tabah di antara saudara-saudaranya.
Nada membuka tutup saji kecil. Tampak sepiring lumpia semarang lengkap dengan saus dan daun bawang berjejer di piring bundar putih di atas meja ruang tengah itu. "Mas, ini buatan Tante, lho. Lumpia semarang kan kesukaan Mas."
"Kenapa bukan buatan Mbak?"Tantra pura-pura merajuk. "Kalau buatan Tante sudah pasti enak."
"Sabar, yang ini buatanku, "Nada membuka tisu yang menutupi piring kecil. Ternyata isinya lima potong lumpia dan para pendampingnya. Hanya saja bentuknya terlihat lain.
"Kok beda?"Tantra tercengang melihat bentuk lima sekawan lumpia imut yang persegi.
"Aku salah ambil, itu kulit pangsit."
"Ha? Kenapa digoreng juga?"
"Kan baru coba-coba. Ayo, dimakan, kalau tidak aku marah."
"Lho, kok jadinya ngancam?"
Kembali Ara mengulum senyum geli melihat canda suami istri itu. Sayang, besok ia sudah harus pulang padahal sebenarnya ia masih betah berlama-lama dengan kemenakan dan istrinya.
"Kau benar-benar tidak memikirkan perasaan orang, "geram Randy menahan marah. Saat itu keduanya duduk di depan paviliyun tempat Lisa dirawat. "Rupanya tidak cukup kamu sakiti adikku, istrimu sendiri, lalu masih juga cari korban lain."
Danar menunduk. "Waktu itu aku memang dikuasai nafsu amarah yang luar biasa, "ujarnya lirih. "Aku menyesal."
"Aku yakin kau tidak segera menyesal setelah melakukannya, "tukas Randy sinis. "Bahkan bisa jadi kau punya pikiran akan mengulanginya lagi."
"Tapi aku tidak melakukannya."
"Ya, karena kamu kaget dengan kemunculan istrimu yang tiba-tiba. Jadi, kamu tak sempat lagi mengurusi gadis itu."
Selasa, 12 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Semua telah terjadi. Herman hanya berharap adiknya tetap tegar dan melupakan kejadian yang merusak masa depannya itu. Apalagi Meyra melarang kakaknya untuk balas dendam sebab gadis itu sudah tak mau lagi melihat Danar.
"Mau Mas antar?"tanya Herman melihat Meyra menghitung uang di dompetnya.
"Mas kan harus jaga depot?"
"Kan bukanya jam delapan, masih satu jam lagi."
"Iya, biar saja masmu yang antar, Dik, "sela Asri yang baru membeli sayuran dari warung sebelah.
Meyra mengangguk. "Iya, Mbak."
Saat mengambil kunci motor dari laci meja di ruang tengah, mendadak Herman teringat sesuatu. Ia berpaling ke arah adiknya. "Meyra..., "panggilnya. Wajah pria itu tampak ragu-ragu.
"Iya, Mas?"
"Mas pikir sebaiknya kamu periksa ke dokter."
Meyra mengerutkan kening. "Untuk apa, Mas?"
"Ya... biar tahu apa kamu...."Herman terdiam. Jelas sekali adiknya menatapnya dengan pandang marah dan sorot terluka.
"Tidak perlu!"jerit gadis itu murka. "Tidak usah ke dokter! Aku tahu, Mas! Aku tahu kalau aku sudah kotor! Apa Mas malu punya adik seperti aku? Mas menyesal kenapa aku tidak bunuh diri saja sekalian waktu itu?!"
Asri meraih tangan iparnya lembut. "Dik, bukan itu maksud Mas Herman."
"Lalu apa, Mbak?"Meyra memasang tampang kacau balau. "Mana ada saudara yang bangga dengan saudaranya yang seperti aku? Bahkan Mas Herman yang selama ini begitu sayang padaku ternyata...."
"Maafkan Mas, Dik, "Herman meraih adiknya ke dalam pelukan. "Maafkan, "bisiknya parau berselimut haru.
Meyra menyandarkan kepalanya ke dada kakaknya dan memejamkan matanya. Ia merasa nyaman di sana.
Herman merasa kemejanya basah oleh air mata. Sementara Asri menyaksikan semuanya dengan air mata berlinang-linang.
"Mau Mas antar?"tanya Herman melihat Meyra menghitung uang di dompetnya.
"Mas kan harus jaga depot?"
"Kan bukanya jam delapan, masih satu jam lagi."
"Iya, biar saja masmu yang antar, Dik, "sela Asri yang baru membeli sayuran dari warung sebelah.
Meyra mengangguk. "Iya, Mbak."
Saat mengambil kunci motor dari laci meja di ruang tengah, mendadak Herman teringat sesuatu. Ia berpaling ke arah adiknya. "Meyra..., "panggilnya. Wajah pria itu tampak ragu-ragu.
"Iya, Mas?"
"Mas pikir sebaiknya kamu periksa ke dokter."
Meyra mengerutkan kening. "Untuk apa, Mas?"
"Ya... biar tahu apa kamu...."Herman terdiam. Jelas sekali adiknya menatapnya dengan pandang marah dan sorot terluka.
"Tidak perlu!"jerit gadis itu murka. "Tidak usah ke dokter! Aku tahu, Mas! Aku tahu kalau aku sudah kotor! Apa Mas malu punya adik seperti aku? Mas menyesal kenapa aku tidak bunuh diri saja sekalian waktu itu?!"
Asri meraih tangan iparnya lembut. "Dik, bukan itu maksud Mas Herman."
"Lalu apa, Mbak?"Meyra memasang tampang kacau balau. "Mana ada saudara yang bangga dengan saudaranya yang seperti aku? Bahkan Mas Herman yang selama ini begitu sayang padaku ternyata...."
"Maafkan Mas, Dik, "Herman meraih adiknya ke dalam pelukan. "Maafkan, "bisiknya parau berselimut haru.
Meyra menyandarkan kepalanya ke dada kakaknya dan memejamkan matanya. Ia merasa nyaman di sana.
Herman merasa kemejanya basah oleh air mata. Sementara Asri menyaksikan semuanya dengan air mata berlinang-linang.
Minggu, 10 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Tampaknya kedua gadis remaja itu belum melupakan wajah sepasang suami istri yang menimbulkan tanda tanya itu: Tantra dan Nada. Setelah beberapa bulan, pagi ini mereka kembali melihat keduanya di tempat yang sama.
"Kasihan, ya? Tugasnya cuma antar kakaknya."
"Kakaknya?"
"Iya, yang perempuan. Pasti suaminya sedang sibuk atau ke luar kota."
"Atau jangan-jangan malah janda."
"Eh, kok malah omongin kakaknya? Yang penting kan adiknya."
"Iya, ya. Kalau begitu tunggu apalagi?"
"Iya, gak boleh batal lagi seperti dulu."
Danar terperangah. Ia tidak menyangka kalau Lisa mengetahui semuanya. Rasanya ia telah menyakiti banyak orang.
"Jadi...?"
"Ya, aku tahu semuanya. Bahkan...aku melihatmu menarik tangan Meyra..., "begitu halus ucapan Lisa membuat Danar merasa tak punya muka lagi. "Meyra sempat mencakar wajahmu sampai berdarah dan kamu balas dengan mengunci tangannya...."
"Aku...aku...."
"Aku tahu sebenarnya kau tak pernah mencintaiku. Menikah bagimu cuma untuk bersenang-senang...jadi...aku tak heran kalau kau sanggup melakukannya pada adik teman dekatmu sendiri."
Danar semakin menunduk.
"Tapi, aku juga salah. Seharusnya aku berusaha mencegahmu, sayangnya waktu itu kondisiku masih sangat lemah dan aku juga belum punya keberanian menentangmu."
"Maafkan aku, Lisa. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
"Aku ingin kita menebus kesalahan kita pada Meyra."
"Oh, kalau aku bisa, tentu akan kulakukan."
"Kau pasti bisa. Tawarkan dirimu untuk menikahinya."
Kini Danar menjadi terbelalak. "Apa?"
Belum sempat Lisa menjawab, pintu paviliyun terbuka.
"Danar, aku ingin bicara denganmu, di luar, "ujar Randy dengan nada datar yang disertai wajah merah padam.
"Kasihan, ya? Tugasnya cuma antar kakaknya."
"Kakaknya?"
"Iya, yang perempuan. Pasti suaminya sedang sibuk atau ke luar kota."
"Atau jangan-jangan malah janda."
"Eh, kok malah omongin kakaknya? Yang penting kan adiknya."
"Iya, ya. Kalau begitu tunggu apalagi?"
"Iya, gak boleh batal lagi seperti dulu."
Danar terperangah. Ia tidak menyangka kalau Lisa mengetahui semuanya. Rasanya ia telah menyakiti banyak orang.
"Jadi...?"
"Ya, aku tahu semuanya. Bahkan...aku melihatmu menarik tangan Meyra..., "begitu halus ucapan Lisa membuat Danar merasa tak punya muka lagi. "Meyra sempat mencakar wajahmu sampai berdarah dan kamu balas dengan mengunci tangannya...."
"Aku...aku...."
"Aku tahu sebenarnya kau tak pernah mencintaiku. Menikah bagimu cuma untuk bersenang-senang...jadi...aku tak heran kalau kau sanggup melakukannya pada adik teman dekatmu sendiri."
Danar semakin menunduk.
"Tapi, aku juga salah. Seharusnya aku berusaha mencegahmu, sayangnya waktu itu kondisiku masih sangat lemah dan aku juga belum punya keberanian menentangmu."
"Maafkan aku, Lisa. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
"Aku ingin kita menebus kesalahan kita pada Meyra."
"Oh, kalau aku bisa, tentu akan kulakukan."
"Kau pasti bisa. Tawarkan dirimu untuk menikahinya."
Kini Danar menjadi terbelalak. "Apa?"
Belum sempat Lisa menjawab, pintu paviliyun terbuka.
"Danar, aku ingin bicara denganmu, di luar, "ujar Randy dengan nada datar yang disertai wajah merah padam.
Sabtu, 09 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
"Kamu cantik, "puji Ara saat melihat foto-foto Nada di situs. Wanita itu benar-benar terpesona melihat istri kemenakannya yang sebenarnya begitu sederhana.
Nada tersenyum geli. "Biasa saja, Tante, "tukasnya. "Mas Tantra ada-ada saja, masa dia memaksa saya pose seperti itu? Memangnya saya model?"
Ara mengangkat wajahnya lalu menatap wanita yang sedang hamil itu dengan senyum lembut. "Di situ, kamu kelihatan sangat cantik, Nada, "tukasnya. "Pantas saja suamimu punya gagasan sebagus ini."
Nada menatap Ara dengan heran. Ternyata bibi sama kemenakan setali tiga uang, menyukai hal-hal yang unik.
"Bukan unik, "sela Tantra yang muncul di kamar tamu sambil membawa dua kantung belanja. Rafa mengikuti di belakang sambil menjinjing satu kantung belanja.
"Sudah pulang?"Nada langsung beranjak dari duduk menyambut suami dan adik iparnya.
Suasana tegang meliputi keluarga Herman. Asri berusaha menenangkan suaminya agar berpikir dengan tenang. Wanita itu mengingatkan bahwa Meyra hanyalah korban. Perasaannya sudah sangat tertekan, jangan menambah bebannya lagi dengan menyalahkan gadis itu.
Herman menutup wajah dengan kedua tangan. Perasaannya benar-benar kalut. Ia bahkan tidak tahu yang harus dilakukannya untuk menyelesaikan masalah adiknya.
"Meyra...."
Meyra menoleh ragu-ragu. "Iya, Mas....?
"Kenapa Mas harus tahu dari orang lain, Meyra? Dia memang teman Mas, tapi itu dulu. Sekarang Mas tak ma Mas harus tahu dari orang lain, Meyra? Dia memang teman Mas, tapi itu dulu. Sekarang Mas tak mau melihat tampangnya lagi. Ia sudah menghancurkan masa depanmu."
Meyra menunduk. "Maafkan Meyra, Mas."
"Pa, mungkin Dik Meyra punya alasan yang kuat kenapa ia tidak mau menceritakannya kepada kita, "sela Asri lembut.
"Mungkin kau benar, Ma, tapi...benar-benar sangat menyakitkan bagi Papa...."
"Mas, Meyra cuma tidak mau menyusahkan Mas...dan juga Mbak Asri, "gadis itu berpaling ke arah kakak iparnya.
Asri mengusap pundak adik iparnya lembut. "Tentu saja Mbak tahu, Dik. Sebenarnya Mas juga paham kalau kau tidak mau cerita."
"Apa dia memaksamu?" Herman seakan-akan tidak mendengar perkataan istrinya.
Meyra menunduk.
"Katakan saja, Meyra, "bujuk Asri.
Meyra menarik napas panjang. "Baiklah, aku akan menceritakan kejadian malam itu. Tapi... Mas jangan marah...."
Herman mencoba tersenyum menenangkan adiknya. "InsyaAllah, Mas tidak akan marah."
Nada tersenyum geli. "Biasa saja, Tante, "tukasnya. "Mas Tantra ada-ada saja, masa dia memaksa saya pose seperti itu? Memangnya saya model?"
Ara mengangkat wajahnya lalu menatap wanita yang sedang hamil itu dengan senyum lembut. "Di situ, kamu kelihatan sangat cantik, Nada, "tukasnya. "Pantas saja suamimu punya gagasan sebagus ini."
Nada menatap Ara dengan heran. Ternyata bibi sama kemenakan setali tiga uang, menyukai hal-hal yang unik.
"Bukan unik, "sela Tantra yang muncul di kamar tamu sambil membawa dua kantung belanja. Rafa mengikuti di belakang sambil menjinjing satu kantung belanja.
"Sudah pulang?"Nada langsung beranjak dari duduk menyambut suami dan adik iparnya.
Suasana tegang meliputi keluarga Herman. Asri berusaha menenangkan suaminya agar berpikir dengan tenang. Wanita itu mengingatkan bahwa Meyra hanyalah korban. Perasaannya sudah sangat tertekan, jangan menambah bebannya lagi dengan menyalahkan gadis itu.
Herman menutup wajah dengan kedua tangan. Perasaannya benar-benar kalut. Ia bahkan tidak tahu yang harus dilakukannya untuk menyelesaikan masalah adiknya.
"Meyra...."
Meyra menoleh ragu-ragu. "Iya, Mas....?
"Kenapa Mas harus tahu dari orang lain, Meyra? Dia memang teman Mas, tapi itu dulu. Sekarang Mas tak ma Mas harus tahu dari orang lain, Meyra? Dia memang teman Mas, tapi itu dulu. Sekarang Mas tak mau melihat tampangnya lagi. Ia sudah menghancurkan masa depanmu."
Meyra menunduk. "Maafkan Meyra, Mas."
"Pa, mungkin Dik Meyra punya alasan yang kuat kenapa ia tidak mau menceritakannya kepada kita, "sela Asri lembut.
"Mungkin kau benar, Ma, tapi...benar-benar sangat menyakitkan bagi Papa...."
"Mas, Meyra cuma tidak mau menyusahkan Mas...dan juga Mbak Asri, "gadis itu berpaling ke arah kakak iparnya.
Asri mengusap pundak adik iparnya lembut. "Tentu saja Mbak tahu, Dik. Sebenarnya Mas juga paham kalau kau tidak mau cerita."
"Apa dia memaksamu?" Herman seakan-akan tidak mendengar perkataan istrinya.
Meyra menunduk.
"Katakan saja, Meyra, "bujuk Asri.
Meyra menarik napas panjang. "Baiklah, aku akan menceritakan kejadian malam itu. Tapi... Mas jangan marah...."
Herman mencoba tersenyum menenangkan adiknya. "InsyaAllah, Mas tidak akan marah."
Melodi Rinduku
Masih lekat benar
bayang riang tergambar
menari-nari sampaikan rindu
akan hangat sentuhmu
Segores luka kecilku
torehkan pedih bagimu
sekilas senyum yang kuhadirkan
datanglah di hatimu kebahagiaan
Ingin kusinggah
di taman hatimu yang indah
berharap kan saksikan
semarak bunga bermekaran
Izinkan aku memetik
sekuntum yang masih putik
dari tangkai lembut melambai
berkisah kilau taburan damba gemulai
Kini, biarkan aku terbang
berkelana di negeri bayang-bayang
mencari harum semerbak mewangi
yang menghiasi ambang surgawi
bayang riang tergambar
menari-nari sampaikan rindu
akan hangat sentuhmu
Segores luka kecilku
torehkan pedih bagimu
sekilas senyum yang kuhadirkan
datanglah di hatimu kebahagiaan
Ingin kusinggah
di taman hatimu yang indah
berharap kan saksikan
semarak bunga bermekaran
Izinkan aku memetik
sekuntum yang masih putik
dari tangkai lembut melambai
berkisah kilau taburan damba gemulai
Kini, biarkan aku terbang
berkelana di negeri bayang-bayang
mencari harum semerbak mewangi
yang menghiasi ambang surgawi
Kamis, 07 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Sebenarnya sudah berminggu-minggu Meyra gelisah. Ada sesuatu yang dipendamnya. Tentu saja ia ingin sekali mengungkapkan kegalauannya itu kepada kakak atau kakak iparnya tetapi ia harus berpikir seribu kali untuk melakukannya. Gadis itu menyadari benar bahwa ia akan menyampaikan sesuatu yang dapat saja menimbulkan korban. Bagaimana kalau kakaknya mendapat serangan jantung mendadak? Ia tidak menginginkan kakak iparnya menjadi janda dan ketiga kemenakan menjadi yatim dengan tragis. Tidak, ia tidak mau membuat kakaknya bersedih. Biarlah, ia menanggung semuanya seorang diri. Tidak seorang pun boleh tahu yang telah menimpanya, apalagi kakaknya.
Gadis itu beranjak dari meja belajarnya dengan malas. Pukul 08.00, waktunya ia pergi ke kampus.
Herman mengerutkan kening. Jelas, pria itu tidak memercayai pengakuan dosa laki-laki yang duduk di hadapannya ini. Tetapi, tampaknya Danar tidak main-main, ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Ma...maksudmu kamu...."
"Maafkan aku, aku khilaf...."
Kedua tangan Herman mengepal gemetar menahan amarah yang membara.
"Aku tahu kau marah sekali kepadaku."
"Ya, aku bahkan ingin kau segera membusuk di neraka!"seru Herman menuding Danar dengan geram. "Aku tidak sangka sedikitpun kamu tega melakukannya!"
Danar tidak membalas tatapan tajam dan tudingan temannya. Ia memilih diam karena tahu bahwa ia memang bersalah.
Gadis itu beranjak dari meja belajarnya dengan malas. Pukul 08.00, waktunya ia pergi ke kampus.
Herman mengerutkan kening. Jelas, pria itu tidak memercayai pengakuan dosa laki-laki yang duduk di hadapannya ini. Tetapi, tampaknya Danar tidak main-main, ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Ma...maksudmu kamu...."
"Maafkan aku, aku khilaf...."
Kedua tangan Herman mengepal gemetar menahan amarah yang membara.
"Aku tahu kau marah sekali kepadaku."
"Ya, aku bahkan ingin kau segera membusuk di neraka!"seru Herman menuding Danar dengan geram. "Aku tidak sangka sedikitpun kamu tega melakukannya!"
Danar tidak membalas tatapan tajam dan tudingan temannya. Ia memilih diam karena tahu bahwa ia memang bersalah.
Rabu, 06 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Mengingat awal masa pernikahan tentu mengesankan bagi setiap yang pernah mengalaminya. Dengan catatan, pernikahan itu berlangsung atas kemauan kedua belah pihak dan kehidupan mereka selanjutnya cukup atau bahkan sangat bahagia. Lihat saja, wajah orang-orang itu. Memang tidak jarang ada rona memerah terpancar di raut muka mereka tetapi sinar kebahagiaan pun tampak jelas dan tidak bisa ditutup-tutupi.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Nada. Bukannya bahagia, dia malah malu bercampur jengkel setiap teringat peristiwa yang hanya sekali terjadi pada awal pernikahan itu.Wanita itu mengakui Tantra suami yang begitu penyabar. Bayangkan saja ia tidak pernah marah karena istrinya selalu menunda-nunda. Bukannya berpura-pura, Nada memang sangat trauma dengan sikap mantan tunangannya yang sering melecehkan dirinya.
Hanya saja wanita itu lupa dengan satu sifat menonjol suaminya yang lumayan menjengkelkan, yaitu gemar melakukan sesuatu tanpa permisi yang membuat sang Istri terkejut, lalu akhirnya gondok berat.
Nada teringat keesokan paginya ia menyiapkan sarapan pagi dengan wajah keruh. Ia benar-benar jengkel dengan yang dilakukan Tantra semalam.
"Kalau cemberut tambah cantik, kok, "Tantra malah cengar-cengir. Ia sudah duduk manis menghadapi nasi dan sayur lodeh di meja makan.
Pakai coba-coba merayu segala, gerutu Nada dalam hati. Ia meletakkan sepiring telur dadar dan teri putih goreng. Tak lupa semangkuk kecil sambal terasi telah menunggu untuk dijadikan teman bersantap.
"Mbak, masih marah, ya?" tanya Tantra menerima piring yang disodorkan istrinya.
Nada diam saja. Pakai tanya lagi. Sudah gak pakai permisi, eh lagaknya itu santai sekali. Tapi...kenapa aku jadi marah, ya? Kan aku juga diam saja? Ah, sudahlah, bingung.
Melihat istrinya diam saja, Tantra tersenyum. "Ya sudah, aku minta maaf. Aku janji yang berikutnya kita ada kesepakatan."
"Aku tidak percaya karena suamiku punya hobi slonong boy."
Tantra memasang tampang iseng. "Kalau begitu, nanti malam kita ulangi lagi. Aku janji pakai permisi dulu."
Nada mengerutkan kening. Ia mencoba mencerna ucapan suaminya barusan. Tunggu, apa yang mau diulangi? Rasanya kurang jelas. "Tunggu, apanya yang mau diulangi?"tanyanya mencari ketegasan.
"Yang tadi malam..., "Tantra tidak sempat menyelesaikan jawabannya karena Nada sudah mencubit lengannya tanpa ampun. Tetapi bibir istrinya menyembunyikan senyum tertahan.
Ah, Nada tersentak dari lamunan. Ia memperhatikan Tantra yang sibuk dengan laptopnya. Suaminya itu memang tipe pekerja yang workholic. Sudah sampai di rumah masih saja sibuk dengan pekerjaan di kantor.
"Kok, ditutup?" tanya Nada melihat suaminya mentup laptopnya.
"Aku baru ingat, "wajah Tantra tampak serius.
"Ingat apa?"
"Foto-foto itu."
"Foto-foto yang mana?"
"Foto-foto kita waktu mau pergi ke rumah Pak Wiryo?"
"Oh, "Nada baru teringat. "Iya, aku ingat sekarang, lalu?"
"Kita lanjutkan."
Nada tercengang. Suaminya ini memang ada-ada saja. Yang benar saja, masa malam-malam dia harus berdandan? Ini kan waktunya orang tidur? Ia menoleh ke arah suaminya hendak menyatakan penolakan, tetapi ia melihat dari sorot mata itu menandakan pantang ditolak.
Nada mengalah. Ia turun dari tempat tidur dan menuju lemari pakaian.
"Lisa, maafkan aku, "ujar Danar menggenggam tangan Lisa lembut. Ia sangat bersyukur keadaan istrinya membaik pagi itu.
"Aku senang Mas menjengukku."
"Iya, aku juga senang kau semakin sehat."
"Kau harus makan, "sela Randy mengangkat sesendok nasi sup makaroni.
"Biar aku saja, "ujar Danar menyambut sendok itu. "Biar aku yang menyuapi istriku."
"Baiklah, "Randy tersenyum.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Nada. Bukannya bahagia, dia malah malu bercampur jengkel setiap teringat peristiwa yang hanya sekali terjadi pada awal pernikahan itu.Wanita itu mengakui Tantra suami yang begitu penyabar. Bayangkan saja ia tidak pernah marah karena istrinya selalu menunda-nunda. Bukannya berpura-pura, Nada memang sangat trauma dengan sikap mantan tunangannya yang sering melecehkan dirinya.
Hanya saja wanita itu lupa dengan satu sifat menonjol suaminya yang lumayan menjengkelkan, yaitu gemar melakukan sesuatu tanpa permisi yang membuat sang Istri terkejut, lalu akhirnya gondok berat.
Nada teringat keesokan paginya ia menyiapkan sarapan pagi dengan wajah keruh. Ia benar-benar jengkel dengan yang dilakukan Tantra semalam.
"Kalau cemberut tambah cantik, kok, "Tantra malah cengar-cengir. Ia sudah duduk manis menghadapi nasi dan sayur lodeh di meja makan.
Pakai coba-coba merayu segala, gerutu Nada dalam hati. Ia meletakkan sepiring telur dadar dan teri putih goreng. Tak lupa semangkuk kecil sambal terasi telah menunggu untuk dijadikan teman bersantap.
"Mbak, masih marah, ya?" tanya Tantra menerima piring yang disodorkan istrinya.
Nada diam saja. Pakai tanya lagi. Sudah gak pakai permisi, eh lagaknya itu santai sekali. Tapi...kenapa aku jadi marah, ya? Kan aku juga diam saja? Ah, sudahlah, bingung.
Melihat istrinya diam saja, Tantra tersenyum. "Ya sudah, aku minta maaf. Aku janji yang berikutnya kita ada kesepakatan."
"Aku tidak percaya karena suamiku punya hobi slonong boy."
Tantra memasang tampang iseng. "Kalau begitu, nanti malam kita ulangi lagi. Aku janji pakai permisi dulu."
Nada mengerutkan kening. Ia mencoba mencerna ucapan suaminya barusan. Tunggu, apa yang mau diulangi? Rasanya kurang jelas. "Tunggu, apanya yang mau diulangi?"tanyanya mencari ketegasan.
"Yang tadi malam..., "Tantra tidak sempat menyelesaikan jawabannya karena Nada sudah mencubit lengannya tanpa ampun. Tetapi bibir istrinya menyembunyikan senyum tertahan.
Ah, Nada tersentak dari lamunan. Ia memperhatikan Tantra yang sibuk dengan laptopnya. Suaminya itu memang tipe pekerja yang workholic. Sudah sampai di rumah masih saja sibuk dengan pekerjaan di kantor.
"Kok, ditutup?" tanya Nada melihat suaminya mentup laptopnya.
"Aku baru ingat, "wajah Tantra tampak serius.
"Ingat apa?"
"Foto-foto itu."
"Foto-foto yang mana?"
"Foto-foto kita waktu mau pergi ke rumah Pak Wiryo?"
"Oh, "Nada baru teringat. "Iya, aku ingat sekarang, lalu?"
"Kita lanjutkan."
Nada tercengang. Suaminya ini memang ada-ada saja. Yang benar saja, masa malam-malam dia harus berdandan? Ini kan waktunya orang tidur? Ia menoleh ke arah suaminya hendak menyatakan penolakan, tetapi ia melihat dari sorot mata itu menandakan pantang ditolak.
Nada mengalah. Ia turun dari tempat tidur dan menuju lemari pakaian.
"Lisa, maafkan aku, "ujar Danar menggenggam tangan Lisa lembut. Ia sangat bersyukur keadaan istrinya membaik pagi itu.
"Aku senang Mas menjengukku."
"Iya, aku juga senang kau semakin sehat."
"Kau harus makan, "sela Randy mengangkat sesendok nasi sup makaroni.
"Biar aku saja, "ujar Danar menyambut sendok itu. "Biar aku yang menyuapi istriku."
"Baiklah, "Randy tersenyum.
Senin, 04 April 2011
Cahaya Pelangi
Ada ruang di jiwaku
Yang memancarkan cahaya pelangi
Meliuk-liuk menelusuri
Labirin lorong mentari berlagu
Dalam anganku setiap waktu
Pijaran tujuh rupa mewarnai
Menari-nari lincah namun gemulai
Mengintai asa yang menderu
Tarian jemari pelangiku
Lincah menyentuh jauh ke dasar hati
Mengusap-usapkannya di dinding nurani
Seribu lukisan mengembara di kalbu
Yang memancarkan cahaya pelangi
Meliuk-liuk menelusuri
Labirin lorong mentari berlagu
Dalam anganku setiap waktu
Pijaran tujuh rupa mewarnai
Menari-nari lincah namun gemulai
Mengintai asa yang menderu
Tarian jemari pelangiku
Lincah menyentuh jauh ke dasar hati
Mengusap-usapkannya di dinding nurani
Seribu lukisan mengembara di kalbu
Minggu, 03 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Operasi berhasil. Tetapi, Lisa belum dapat ditemui karena kondisinya masih belum stabil. Wanita itu masih belum melewati masa kritisnya.
Pagi itu Randy terduduk lemas di bangku tunggu. Tidak henti-hentinya ia menyesali diri. Bukankah lebih baik seandainya waktu itu dia lebih berusaha membujuk adiknya? Lisa memang keras kepala dan selalu saja membela suaminya meskipun jelas-jelas laki-laki itu telah membuatnya menderita.
"Tunggu, "Randy mengangkat dagu adiknya. Ia mengamati luka koyak di bibir wanita itu dengan pandangan menyelidik. "Kalau tidak ada apa-apa, lalu kenapa bibirmu sampai seperti ini?"
Nada mengalihkan bola matanya ke lantai beranda, berusaha menghindari pandangan kakaknya. "Tergigit, "jawabnya lirih.
"Hah, "Randy mendengus sinis. "Kaupikir aku percaya? Apa saja yang dilakukan Danar sehari-hari? Menghajarmu? Aku yakin sebentar lagi dia tidak akan ragu-ragu mencabik-cabik tubuhmu!"
"Tidak!"seru Lisa. "Mas Danar memang pemarah tapi sebenarnya dia baik!"
"Baik? Apanya yang baik, Lisa?! Menjadikan istri partner tinju, itu yang kamu sebut baik?!"
"Mas, suami istri bertengkar itu sudah biasa."
"Ya, tapi bukan berarti suami lantas jadi preman."
Pertengkaran itu terjadi seminggu sebelum Lisa memutuskan untuk bersembunyi. Randy tak kunjung mengerti jalan pikiran adiknya. Lisa lebih memilih risiko bagi diri sendiri daripada mencari jalan aman.
"Randy...."
Randy menoleh. Danar duduk di sampingnya.
"Maafkan aku, Ran....Aku benar-benar menyesal."
Randy tak menyahut. Ia masih malas berbicara dengan adik iparnya ini.
"Aku sering sekali menyakitinya, "ujar Danar lirih. "Padahal dia selalu berusaha menyenangkan hatiku."
Randy menatap adik iparnya tajam. "Dengarkan aku baik-baik, Danar, "desisnya. Aku tidak berani menjamin istrimu akan memaafkanmu. Dan satu hal lagi, selama ini dia memang tidak pernah membalas kekejaman yang telah kamu lakukan kepadanya. Bukan karena dia tidak bisa, tapi karena dia tidak mau. Kamu tahu sebabnya? Karena kau adalah suaminya, dan dia sangat mencintaimu."
Danar membuka mulut, hendak menjawab. Tetapi, kakak iparnya mengangkat sebelah tangan memberi tanda bahwa ia tidak mau melanjutkan pembicaraan. Danar terdiam.
Pagi itu Randy terduduk lemas di bangku tunggu. Tidak henti-hentinya ia menyesali diri. Bukankah lebih baik seandainya waktu itu dia lebih berusaha membujuk adiknya? Lisa memang keras kepala dan selalu saja membela suaminya meskipun jelas-jelas laki-laki itu telah membuatnya menderita.
"Tunggu, "Randy mengangkat dagu adiknya. Ia mengamati luka koyak di bibir wanita itu dengan pandangan menyelidik. "Kalau tidak ada apa-apa, lalu kenapa bibirmu sampai seperti ini?"
Nada mengalihkan bola matanya ke lantai beranda, berusaha menghindari pandangan kakaknya. "Tergigit, "jawabnya lirih.
"Hah, "Randy mendengus sinis. "Kaupikir aku percaya? Apa saja yang dilakukan Danar sehari-hari? Menghajarmu? Aku yakin sebentar lagi dia tidak akan ragu-ragu mencabik-cabik tubuhmu!"
"Tidak!"seru Lisa. "Mas Danar memang pemarah tapi sebenarnya dia baik!"
"Baik? Apanya yang baik, Lisa?! Menjadikan istri partner tinju, itu yang kamu sebut baik?!"
"Mas, suami istri bertengkar itu sudah biasa."
"Ya, tapi bukan berarti suami lantas jadi preman."
Pertengkaran itu terjadi seminggu sebelum Lisa memutuskan untuk bersembunyi. Randy tak kunjung mengerti jalan pikiran adiknya. Lisa lebih memilih risiko bagi diri sendiri daripada mencari jalan aman.
"Randy...."
Randy menoleh. Danar duduk di sampingnya.
"Maafkan aku, Ran....Aku benar-benar menyesal."
Randy tak menyahut. Ia masih malas berbicara dengan adik iparnya ini.
"Aku sering sekali menyakitinya, "ujar Danar lirih. "Padahal dia selalu berusaha menyenangkan hatiku."
Randy menatap adik iparnya tajam. "Dengarkan aku baik-baik, Danar, "desisnya. Aku tidak berani menjamin istrimu akan memaafkanmu. Dan satu hal lagi, selama ini dia memang tidak pernah membalas kekejaman yang telah kamu lakukan kepadanya. Bukan karena dia tidak bisa, tapi karena dia tidak mau. Kamu tahu sebabnya? Karena kau adalah suaminya, dan dia sangat mencintaimu."
Danar membuka mulut, hendak menjawab. Tetapi, kakak iparnya mengangkat sebelah tangan memberi tanda bahwa ia tidak mau melanjutkan pembicaraan. Danar terdiam.
Sabtu, 02 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Ara wanita anggun namun cekatan. Beberapa tahun lagi usianya genap empat puluh. Cakra benar-benar prihatin akan nasib adiknya yang satu ini. Bagaimana tidak, dari enam bersaudara, empat sudah menikah, tinggal Ara dan si Bungsu yang baru diwisuda dua bulan yang lalu. Sebagai kakak sulung, laki-laki pula, ia bertanggung jawab atas adik-adiknya, terutama yang perempuan dan belum berkeluarga.
Sudah dua hari Ara bermalam di rumah kakaknya. Maklum sudah hampir setahun tidak bertemu, tentu saja kakak beradik itu ingin melepas rindu.
"Mas, ini roti kukus buatanku, "ujar Ara meletakkan sepiring roti kukus yang masih hangat di meja ruang tengah.
"Dik Ara ternyata jago masak, "sela Afna yang mengikuti di belakangnya. Ia membawa nampan berisi tiga cangkir kopi susu panas.
"Wah, kemajuan kalau begitu. Dulu bisanya cuma buat telur mata sapi. Itu juga sering gosong, "Cakra menimpali dengan iseng.
Ara pura-pura membelalak marah. Afna tersenyum simpul.
Pagi, pukul 07.00 di depan kamar.
Tantra terdiam. Ia memaklumi istrinya yang sedang marah.
"Kau tidak pernah menceritakannya kepadaku."
"Apakah itu perlu?"
Nada menatap suaminya tajam. "Jadi kauanggap itu tidak perlu?"
"Apa yang harus kuceritakan? Tentang aku yang nyaris berciuman dengan seorang gadis, sementara istriku tercinta menunggu di rumah dengan setia? Begitu?"
"Maaf..., "suara Nada melunak.
"Mbak, aku tak ingin menyakiti hatimu."
Nada mendongak berusaha mengamati wajah suaminya dengan saksama. Sampai detik ini ia masih tak habis pikir mengapa Tantra lebih memilih dirinya dibanding puluhan gadis cantik dan seksi yang mengantri untuk mendapatkan cintanya. Jujur, tak jarang pula ada rasa takut menyelimuti hatinya.
"Meyra cantik."
Tantra terkejut. Apa maksud istrinya berkata seperti itu?
"Dia juga baik, "Nada melanjutkan ucapannya. "Aku tidak keberatan kalau dia jadi teman kita dan tinggal bersama ki...."
"Cukup!"
Nada terlonjak. Terkejut bukan kepalang dengan hardikan suaminya yang menggelegar. Tubuhnya yang mungil nyaris terlempar.
Tantra meraih istrinya dengan perasaan bersalah. "Maafkan aku, Mbak."
"Mas, kalau...."
Tantra meletakkan telunjuknya di bibir istrinya. Wanita itu mengurungkan niatnya untuk berkata-kata lagi.
Sudah dua hari Ara bermalam di rumah kakaknya. Maklum sudah hampir setahun tidak bertemu, tentu saja kakak beradik itu ingin melepas rindu.
"Mas, ini roti kukus buatanku, "ujar Ara meletakkan sepiring roti kukus yang masih hangat di meja ruang tengah.
"Dik Ara ternyata jago masak, "sela Afna yang mengikuti di belakangnya. Ia membawa nampan berisi tiga cangkir kopi susu panas.
"Wah, kemajuan kalau begitu. Dulu bisanya cuma buat telur mata sapi. Itu juga sering gosong, "Cakra menimpali dengan iseng.
Ara pura-pura membelalak marah. Afna tersenyum simpul.
Pagi, pukul 07.00 di depan kamar.
Tantra terdiam. Ia memaklumi istrinya yang sedang marah.
"Kau tidak pernah menceritakannya kepadaku."
"Apakah itu perlu?"
Nada menatap suaminya tajam. "Jadi kauanggap itu tidak perlu?"
"Apa yang harus kuceritakan? Tentang aku yang nyaris berciuman dengan seorang gadis, sementara istriku tercinta menunggu di rumah dengan setia? Begitu?"
"Maaf..., "suara Nada melunak.
"Mbak, aku tak ingin menyakiti hatimu."
Nada mendongak berusaha mengamati wajah suaminya dengan saksama. Sampai detik ini ia masih tak habis pikir mengapa Tantra lebih memilih dirinya dibanding puluhan gadis cantik dan seksi yang mengantri untuk mendapatkan cintanya. Jujur, tak jarang pula ada rasa takut menyelimuti hatinya.
"Meyra cantik."
Tantra terkejut. Apa maksud istrinya berkata seperti itu?
"Dia juga baik, "Nada melanjutkan ucapannya. "Aku tidak keberatan kalau dia jadi teman kita dan tinggal bersama ki...."
"Cukup!"
Nada terlonjak. Terkejut bukan kepalang dengan hardikan suaminya yang menggelegar. Tubuhnya yang mungil nyaris terlempar.
Tantra meraih istrinya dengan perasaan bersalah. "Maafkan aku, Mbak."
"Mas, kalau...."
Tantra meletakkan telunjuknya di bibir istrinya. Wanita itu mengurungkan niatnya untuk berkata-kata lagi.
Jumat, 01 April 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kejutan. Herman datang bersama istri dan adiknya. Lebih mengejutkan lagi, Meyra membuat pengakuan. Pengakuan yang sangat mengejutkan Nada.
Wanita yang sedang mengandung tujuh bulan itu hanya bisa menahan napas saat gadis cantik berkulit kuning langsat menceritakan peristiwa malam itu. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah suaminya telah melakukan hal yang begitu jauh? Seandainya benar, rasanya hal itu tidak terlalu mengherankan. Mana ada suami muda belia bisa bertahan setia kalau mendapat istri yang beberapa tahun lagi akan keriput, sementara sang suami masih tampan dan gagah?
"Mbak sungguh beruntung, "ujar Meyra setelah diam beberapa saat.
"Maksud Dik Meyra?"
"Suami Mbak begitu mencintaimu dan sangat setia."
Nada mengerutkan kening tak mengerti.
Herman mendehem. "Sebenarnya kedatangan kami memang ingin menjelaskan duduk perkara yang saya yakin pernah mengusik kalian, "laki-laki itu berpaling ke arah Asri, istrinya.
"Benar, Mbak Nada, "sahutnya. "Beberapa hari ini Dik Meyra sangat gelisah. Ia merasa bersalah telah ikut andil dalam masalah yang begitu memalukan."
Nada masih mendengarkan.
Tantra terpaku. Ia hanya balas menatap.
"Maukah kaumaafkan aku?"Danar mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan nada penuh permohonan.
"Danar, "Tantra menatap dalam-dalam pria yang berusia tiga belas tahun lebih tua daripadanya itu. "Sejak dulu aku tak pernah menaruh dendam kepadamu. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Aku tak tahu bagaimana dengan istriku. Maaf, aku tak bisa menjamin kau akan mendapatkannya, "tanpa menunggu jawaban Danar, pemuda itu bergegas meninggalkan ruang tunggu keluarga pasien.
Danar terpaku. Ia menyadari bahwa sebenarnya pemuda itu sulit memaafkan dirinya.
Wanita yang sedang mengandung tujuh bulan itu hanya bisa menahan napas saat gadis cantik berkulit kuning langsat menceritakan peristiwa malam itu. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah suaminya telah melakukan hal yang begitu jauh? Seandainya benar, rasanya hal itu tidak terlalu mengherankan. Mana ada suami muda belia bisa bertahan setia kalau mendapat istri yang beberapa tahun lagi akan keriput, sementara sang suami masih tampan dan gagah?
"Mbak sungguh beruntung, "ujar Meyra setelah diam beberapa saat.
"Maksud Dik Meyra?"
"Suami Mbak begitu mencintaimu dan sangat setia."
Nada mengerutkan kening tak mengerti.
Herman mendehem. "Sebenarnya kedatangan kami memang ingin menjelaskan duduk perkara yang saya yakin pernah mengusik kalian, "laki-laki itu berpaling ke arah Asri, istrinya.
"Benar, Mbak Nada, "sahutnya. "Beberapa hari ini Dik Meyra sangat gelisah. Ia merasa bersalah telah ikut andil dalam masalah yang begitu memalukan."
Nada masih mendengarkan.
Tantra terpaku. Ia hanya balas menatap.
"Maukah kaumaafkan aku?"Danar mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan nada penuh permohonan.
"Danar, "Tantra menatap dalam-dalam pria yang berusia tiga belas tahun lebih tua daripadanya itu. "Sejak dulu aku tak pernah menaruh dendam kepadamu. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Aku tak tahu bagaimana dengan istriku. Maaf, aku tak bisa menjamin kau akan mendapatkannya, "tanpa menunggu jawaban Danar, pemuda itu bergegas meninggalkan ruang tunggu keluarga pasien.
Danar terpaku. Ia menyadari bahwa sebenarnya pemuda itu sulit memaafkan dirinya.
Langganan:
Postingan (Atom)