Serasa tak percaya Herman memperhatikan gadis berbusana muslim dengan jilbab biru laut itu. Ia sudah mengetahui bahwa Tantra salah satu orang kepercayaannya mempunyai seorang adik perempuan, tetapi sungguh jauh dari yang ia bayangkan. Selama ini ia mengira adik Tantra seorang gadis cantik jelita, berkulit putih, dan lemah lembut. Jadi, wajar saja, kalau atasan Tantra itu terheran-heran.
"Asalamualaikum, "sapa Rafa tanpa ragu saat melihat seseorang duduk di ruang tamu.
"Waalaikumussalam, "jawab Herman seraya beranjak dari duduknya. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa saya bertemu dengan Pak Tantra?"
"Maaf, Adik siapa?"
"Saya, adiknya."
"Adiknya?"Herman mengerutkan kening. "Tapi...."
"Apa maksud Bapak dengan 'tapi'? Bapak tidak percaya kalau saya adik kandung Pak Tantra?"
Herman semakin tercengang. "Bukan begitu, Dik. Soalnya sering orang mengaku-aku saudaranya Pak A atau Bu B."
"Nah, kalau begitu kenapa tidak Bapak panggil saja Pak Tantra? Nanti kan tahu, saya bohong atau tidak."
Jujur, tak sanggup lagi Herman berkata-kata. Ia jadi teringat Meyra, adiknya. Gadis di hadapannya jelas memiliki sifat bertolak belakang dengan Meyra. Adiknya itu terlalu lembut dan sangat rendah diri. Tidak seperti gadis yang satu ini. Tegas, penuh keyakinan.
Herman tersenyum memandang gadis sebaya adiknya itu. "Baik, akan saya panggilkan Pak Tantra, "ujarnya sambil menekan sebuah tombol di meja resepsionis.
Hari ini Danar sengaja tidak masuk kerja. Ada rencana lain yang menurutnya jauh lebih penting. Bukan, bukan mencari istrinya yang mendadak raib ditelan bumi, melainkan..., laki-laki itu tersenyum sendiri.
Bersama Herman, ia telah mengatur semuanya dengan baik. Dengan kekuasaannya, ia menjadikan teman semasa remaja itu sebagai kerbau yang dicocok hidungnya. Herman pun menugaskan supaya Tantra pulang larut malam alias lembur.
Nada menutup ponsel dengan kecewa. Suaminya baru saja telepon bahwa hari ini akan pulang terlambat. Padahal, tidak enak rasanya makan sendiri. Ia sempat protes karena sudah menyiapkan makan malam lebih awal.
"Jadi, Mas pulang jam berapa?"
"Tergantung, kalau sudah selesai, insyaAllah, aku langsung pulang."
"Kira-kira jam berapa?"
Suasana hening. Tampaknya suaminya sedang berpikir.
"Jam berapa, Mas?"
"InsyaAllah, di atas jam sembilan."
"Aapaa?"
"Mbak...."
"Iya... tapi, benar, ya, langsung pulang."
"Ya, doakan sukses."
"Iya, amin, amin."
"Mbak...."
"Hm?"
"Aku sayang kamu."
Nada dapat merasakan semburat merah bersemu di pipinya. "Aku juga, "sahutnya lembut.
Danar tidak sabar lagi untuk melaksanakan rencananya. Sudah lama dendam ini berkobar seakan-akan menghanguskan jiwa dan seluruh tubuhnya. Sambil menyulut sebatang kretek, ia pun menyambar kunci kontak sedan dari meja makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar