Kamis, 10 Maret 2011

Di Arung Jeram Cinta

Terlalu cepat Danar melajukan motornya. Dia tak terkejar. Orang-orang yang sedang tugas ronda menyatakan permintaan maaf mereka dengan tulus. Banu sangat berterima kasih atas bantuan mereka. Sebab meskipun gagal, mereka telah menjalankan tugas sebaik-baiknya.
Banu menutup pintu. Kemudian ia menoleh ke arah Nada yang masih terduduk di sudut dengan wajah pucat pasi.
"Kau tidak perlu takut lagi, Mbak, "ujarnya sambil memeluk pundak kakaknya. "Dia tidak akan mengganggumu lagi. Maafkan aku, seharusnya aku bisa datang lebih cepat, tapi, aku jadi ketua panitia, jadi tak mungkin meninggalkan tempat sebelum acara selesai."
"Tidak apa-apa, aku mengerti."
"Kenapa dia kembali lagi?"
"Dia ingin menghancurkan kami, aku dan Tantra...."
Banu sangat geram. "Benar-benar berhati iblis. Ditariknya tangan kakaknya supaya berdiri. "Kau tidak apa-apa, kan? Ada yang luka?"
"Sedikit, "Nada menunjuk pergelangan kanannya yang memar karena cengkeraman Danar.
Banu menuntun kakaknya ke kamar. "Sebaiknya kau istirahat, "ujarnya sambil tak habis pikir bahwa ada manusia sekeji Danar.


Satu jam terlalu lama untuk mandi, apalagi sekadar cuci muka. Tadi sebelum Meyra meraih tangan Tantra, laki-laki itu mendadak minta izin muka di kamar mandi karena wastafel tidak ada di ruangan itu.
Meyra mengira Tantra berubah pikiran dan ingin mandi supaya lebih segar, maka ia menunggu dengan sabar. Sementara itu ia pun bersiap-siap dengan penampilan yang lebih mengundang minat.
Tetapi satu jam telah berlalu. Kamar mandi itu belum juga terbuka. Meyra yang sudah menyiapkan diri sedemikian rupa mendadak merasa gerah. Ia pun memberanikan diri menggedor pintu.
"Sudah belum, Mas? Kok lama sekali?!"
Tidak ada jawaban. Yang ada suara air dari kran yang masuk ke dalam bak.
Meyra terkejut. Mendadak kakinya basah. Baru ia sadari bahwa air dari bak telah meluber.


Lewat tengah malam. Banu tercengang mendengar cerita yang dituturkan Tantra. Jadi semua telah dirancang manusia berhati iblis itu!
"Jadi, dia juga menggunakan perempuan untuk menjebakmu?"
"Ya."
"Cantik?"
"Sangat."
Banu memicingkan mata. "Jadi, maksudmu, kau juga tertarik?"
"Aku tahu yang namanya cantik atau tidak."
"Oh, Tantra, jangan katakan kalau kau sudah...."
Tantra mengibaskan tangannya. "Jujur...hampir saja aku percaya ocehan perempuan itu. Ia menunjukkan foto kakakmu dan mantan tunangannya berpose di kolam renang. Tahu kan, baju renang model bikini."
"Berpose seperti apa?"
"Macam-macam. Ada yang pose mereka berciuman."
"Dan kamu percaya? Tantra, Mbak Nada tidak seperti itu. Dia sangat pemalu dan begitu menjaga kehormatannya."
"Ya, "Tantra mengangguk. Aku hampir saja mengiyakan ajakan perempuan itu. Tapi...syukurlah pikiranku masih waras. Waktu itu aku sempat berpikir bagaimanapun Nada, akulah yang memutuskan menjadi pendamping hidupku dan seharusnnya aku menjadi yang terbaik baginya."
Banu tersenyum. "Mbak Nada adalah kakak yang sangat baik. Bagiku ia kakak terbaik di dunia. Ia telah melakukan segalanya untukku. Waktu kami masih kecil, ia sering melindungiku. Tak pernah ia menolak setiap aku minta tolong, dibuatkan kue, dibelikan mainan, walaupun dia sedang lelah, banyak tugas, PR, atau hujan deras sekalipun."
Tantra terdiam.
"Jadi, "Banu menatap kakak iparnya lekat-lekat. "Aku tak rela siapapun menyakitinya."
Tantra tersenyum. "Aku juga tidak, "tukasnya sambil beranjak. "Aku ingin tahu keadaannya."
"Dia tidur."
"Hatiku lebih tenang kalau sudah melihatnya."
Banu tak berkata-kata lagi.

Nada berbaring dengan mata terbelalak. Ia tersentak saat mendengar pintu dibuka.
"Tantra?"
Tantra tersenyum sambil menutup pintu.
"Kau belum tidur, Mbak?"
"Aku masih takut."
"Jangan takut, sudah aman."
"Tapi...dia bisa datang lagi."
"Akan kupastikan dia tidak berani berbuat hal yang sama kepada kita."
"Mudah-mudahan, "bisik Nada sambil meletakkan tangannya di atas perut. "Tapi...aku berharap anak kita baik-baik saja."
"Besok pagi kita periksakan kandunganmu ke dokter."
"Mas...."
"Ya?"
"Kalau tidak ada Banu dan orang-orang itu mungkin aku sudah...."
Tantra menggeleng dan memberi tanda supaya istrinya tidak lagi melanjutkan ucapannya. "Kau sudah makan?"
Nada menggeleng. "Aku menunggumu."

Tidak ada komentar: