Senin, 28 Maret 2011

Di Arung Jeram Cinta

Hidup ini penuh misteri. Begitulah pendapat Randy setelah mendengar keputusan Lisa. Betapa pemberani wanita selembut adiknya yang memutuskan untuk tetap bersama suaminya sampai batas yang tidak sanggup dihadapinya lagi. Meskipun tidak setuju, tetapi pria itu tetap menghargai keputusan si Adik.
Malam itu juga seusai melepas kepulangan kakaknya, Lisa bergegas menuju dapur.
"Mau ke mana kamu?"
"Aku mau menyiapkan makan malam, "Lisa membalikkan tubuh.
"Aku tidak lapar!"Danar yang tadi tampak bermanis-manis sekarang menjelma kembali menjadi Dasamuka. "Kaupikir semuanya akan selesai semudah ini?!"
Lisa terdiam.
"Kau harus menerima hukuman!"
Ternyata Danar hanya berpura-pura karena segan terhadap kakak iparnya. Sekarang ia sedang mengelus-elus ikat pinggangnya.


"Kopi buatan Ibu enak sekali, "puji Pak Wiryo sambil meletakkan cangkir yang telah kosong ke atas meja ruang tengah.
Istrinya tersenyum tanda berterima kasih. Baru sekali ini suami memujinya.
"Bapak belajar banyak dari pasangan muda itu, Bu."
"Ibu juga, Pak. Ibu malah malu sempat mengata-ngatai Jeng Nada. Waktu itu suaminya juga sempat mendengar dan kelihatan marah, tapi Jeng Nada membujuk, jadi tenang lagi."
"Mas Tantra memang kelihatan sangat menyayangi istrinya. Bapak jadi heran padahal Jeng Nada itu kan wajahnya biasa-biasa saja dan sepertinya cocok jadi kakaknya."
"Memang cocoknya jadi kakak, orang Jeng Nada lebih tua tujuh tahun."
"Oh ya? Pak Wiryo bengong. "Anak sekarang seleranya memang aneh-aneh, "Laki-laki setengah abad itu menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, Bapak heran juga kenapa malah mereka dulu yang minta maaf, ya?"
"Sebenarnya Ibu juga malu, Pak."
"Syukurlah mereka lapang dada."
Suasana hening. Tetapi, dalam hati Pak Wiryo berjanji detik itu juga meninggalkan semua kebiasaan buruknya. Ada contoh di depan matanya. Apalagi saat melihat foto istrinya semasa gadis dan pernikahan mereka yang tergantung di dinding, barulah laki-laki itu menyadari betapa cantik wajah istrinya. Seharusnya ia bersyukur.



Jam berapa sekarang? Lisa terbangun dari tidurnya yang samasekali tidak nyenyak. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Ternyata ia kembali harus mengalami peristiwa-peristiwa yang dulu. Bilur-bilur di sekujur tubuhnya terasa amat nyeri.
Pukul dua dini hari. Biasanya Lisa terbangun setiap pukul tiga. Ada apa ini? Wanita mungil itu membuka pintu kamar.
Lisa terkejut sekaligus ketakutan. Dilihatnya tiga orang bertopeng sedang menghajar Danar sampai jungkir balik. Danar yang sebenarnya tidak pandai bela diri tentu saja tidak bisa membalas.
"Masih bungkam juga?!"
"Kita beri dia pelajaran, Bos!"
"Benar, Bos! Biar tahu rasa!"
"Kalian benar!"
Danar yang tertelungkup itu mendongak. Ia dapat melihat mata si kepala perampok berkilat-kilat penuh nafsu ingin mengulitinya hidup-hidup. Benar saja sebilah parang dari balik jaketnya tiba-tiba berkelebat.
"Jangaan...aaaaa!!!"
Kepala perampok terkejut. Begitu pula kedua anak buahnya. Danar apalagi. Kepala perampok melihat parangnya ternoda oleh darah. Terbelalak mereka melihat seorang wanita terkapar di lantai bersimbah darah.
"Lari!"
Danar menoleh kepada Lisa yang sedang melambai lemah ke arahnya. Bergegas ia mendekati istrinya sambil mengusap pipi. Ada air mata di sana.

Tidak ada komentar: