Gadis manis berkulit kuning langsat itu meletakkan nampan dengan secangkir kopi panas dan beberapa potong pastel dan donat tabur gula putih di atas meja. Sambil melontarkan senyum manis, ia menoleh ke arah Tantra yang tampaknya tak terganggu sedikit pun dengan kehadirannya.
"Silakan."
"Ya, terima kasih."
Gadis itu kecewa karena Tantra hanya menoleh sebentar. Tetapi, ia belum putus asa dan duduk di kursi yang berada di samping Tantra.
"Harus selesai jam berapa, Pak?"
"Secepatnya, "sahut Tantra sambil membuka file.
"Jadinya menginap di kantor, ya? Istri Pak Tantra pasti kesepian."
Tantra merasa tak perlu menjawab, jadi dia diam saja.
"Oh ya, bagaimana kalau saya panggil Mas saja? Rasanya usia kita tidak terpaut terlalu jauh."
"Silakan."
Suasana kembali hening. Tantra mulai sibuk dengan tugasnya. Gadis yang duduk di sampingnya pun menahan napas kesal. Ingin rasanya ia beranjak meninggalkan laki-laki angkuh ini. Tetapi, tidak, jangan cepat menyerah, sebab kakaknya telah menjanjikan sesuatu yang menggiurkan.
"Saya pernah lihat istri Mas."
"Oh ya?"
"Iya, apa Mas bahagia punya istri dia?"
"Tentu saja."
Meyra, gadis itu merasa mendapat harapan. Meskipun tak acuh, Tantra masih mau menjawab pertanyaannya. Meskipun, meskipun lagi, hanya sepatah dua patah kata. Menurut Herman, sang Kakak, ini berarti lampu hijau. "Kau harus lebih berani, "begitu pesannya.
"Apa sih enaknya menikah muda?"
Tantra tersentak, ia pun bergegas berdiri. Bukan pertanyaan Meyra yang mengejutkannya, tetapi karena tangan gadis itu tiba-tiba saja sudah hinggap di pundaknya.
Malam menggelapkan angkasa. Taburan jutaan bintang belum mampu mencerahkan langit yang kelam.
Saat hendak menutup pintu, betapa terkejutnya Nada melihat Danar duduk dengan santai di ruang tengah.
"Hai, apa kabar?"sapanya sambil menyeringai. Kedua kakinya ditumpangkan di atas meja dan kepulan asap keluar dari bulatan mulutnya.
Pucat pasi seketika wajah Nada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar