Senandung lagu mengingatkanku
pada masa lalu
yang telah kuhapus dari ingatan
kulepaskan dari angan-angan
Sederet syair mengantarku
pada bayangan saat itu
yang telah kucampakkan dari perasaan
kuhempaskan dari buai kerinduan
Kini alunan lagu itu
yang membuat hatiku pilu
datang dan merobek jantungku
Cukup sudah bagiku
senandung lagi itu
tak ingin aku mendengar
karena jiwaku bagaikan terbakar
Karena lagu itu aku berlalu
tinggalkan kota kelahiranku
dengan hati beku
Haruskah kutinggalkan tempat ini
saat kudengar syair yang menyakitkan hati
atau haruskah kusumbat telingaku
agar tak kudengar alunan itu
Rabu, 30 Maret 2011
Selasa, 29 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta (BAB VIII)
Randy datang ke rumah sakit dengan langkah membabi buta. Kalau saja Tantra dan Banu tidak mencegah pasti akan terjadi keributan di sana dan Danar yang sudah babak belur itu akan semakin hancur.
"Duduklah, Mas, "ujar Banu sambil menunjuk bangku panjang. "Lebih baik kita berdoa sambil menunggu tim dokter yang sedang berusaha."
Tanpa berkata sepatah pun, Randy menurut. Tetapi, matanya masih menatap tajam ke arah Danar yang bersandar lunglai di dinding. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan adikku, aku bersumpah akan mencincangmu hidup-hidup!
Sementara itu Danar masih merasa gemetar. Sedikit pun ia tak menyangka sekarang ini Lisa sedang bertarung nyawa. Dan semua itu demi membela dirinya! Barulah laki-laki itu menyadari betapa mulia hati istrinya. Entah mengapa harus dengan cara seperti ini. Entah mengapa harus dengan cara seperti ini untuk mengetahui bahwa tidak ada dendam secuil pun di hati istrinya setelah perlakuan suaminya yang sangat sering menyakitinya.
Randy menerima sekotak nasi campur dan satu botol air mineral yang disodorkan Tantra. "Terima kasih, "katanya.
Tantra mengangguk.
"Tantra, sebaiknya kamu pulang, "Banu mengingatkan. "Sudah pagi, kasihan Mbak Nada. Kalau ada apa-apa, kau akan tidak sanggup memaafkan dirimu."
"Ya, kau benar. Baiklah, aku pulang, setelah berkata demikian, pemuda itu menoleh ke arah Randy yang tengah memandangi kotak nasinya. "Mas, aku pulang dulu."
Randy tersentak. Ia mendongak. "Ya, Tantra. Terima kasih."
"Sama-sama, "Tantra tersenyum. "Kau harus makan, Mas. Lisa pasti juga tidak senang melihatmu jadi kurus kering."
"Aku akan mencoba."
Ketika Tantra akan membalikkan tubuh, tiba-tiba seseorang mengiringi langkahnya.
"Tantra...."
Tantra menghentikan langkah seraya menoleh. Ternyata Danar.
"Tantra, maukah kamu maafkan aku?"
"Duduklah, Mas, "ujar Banu sambil menunjuk bangku panjang. "Lebih baik kita berdoa sambil menunggu tim dokter yang sedang berusaha."
Tanpa berkata sepatah pun, Randy menurut. Tetapi, matanya masih menatap tajam ke arah Danar yang bersandar lunglai di dinding. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan adikku, aku bersumpah akan mencincangmu hidup-hidup!
Sementara itu Danar masih merasa gemetar. Sedikit pun ia tak menyangka sekarang ini Lisa sedang bertarung nyawa. Dan semua itu demi membela dirinya! Barulah laki-laki itu menyadari betapa mulia hati istrinya. Entah mengapa harus dengan cara seperti ini. Entah mengapa harus dengan cara seperti ini untuk mengetahui bahwa tidak ada dendam secuil pun di hati istrinya setelah perlakuan suaminya yang sangat sering menyakitinya.
Randy menerima sekotak nasi campur dan satu botol air mineral yang disodorkan Tantra. "Terima kasih, "katanya.
Tantra mengangguk.
"Tantra, sebaiknya kamu pulang, "Banu mengingatkan. "Sudah pagi, kasihan Mbak Nada. Kalau ada apa-apa, kau akan tidak sanggup memaafkan dirimu."
"Ya, kau benar. Baiklah, aku pulang, setelah berkata demikian, pemuda itu menoleh ke arah Randy yang tengah memandangi kotak nasinya. "Mas, aku pulang dulu."
Randy tersentak. Ia mendongak. "Ya, Tantra. Terima kasih."
"Sama-sama, "Tantra tersenyum. "Kau harus makan, Mas. Lisa pasti juga tidak senang melihatmu jadi kurus kering."
"Aku akan mencoba."
Ketika Tantra akan membalikkan tubuh, tiba-tiba seseorang mengiringi langkahnya.
"Tantra...."
Tantra menghentikan langkah seraya menoleh. Ternyata Danar.
"Tantra, maukah kamu maafkan aku?"
Senin, 28 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta
Hidup ini penuh misteri. Begitulah pendapat Randy setelah mendengar keputusan Lisa. Betapa pemberani wanita selembut adiknya yang memutuskan untuk tetap bersama suaminya sampai batas yang tidak sanggup dihadapinya lagi. Meskipun tidak setuju, tetapi pria itu tetap menghargai keputusan si Adik.
Malam itu juga seusai melepas kepulangan kakaknya, Lisa bergegas menuju dapur.
"Mau ke mana kamu?"
"Aku mau menyiapkan makan malam, "Lisa membalikkan tubuh.
"Aku tidak lapar!"Danar yang tadi tampak bermanis-manis sekarang menjelma kembali menjadi Dasamuka. "Kaupikir semuanya akan selesai semudah ini?!"
Lisa terdiam.
"Kau harus menerima hukuman!"
Ternyata Danar hanya berpura-pura karena segan terhadap kakak iparnya. Sekarang ia sedang mengelus-elus ikat pinggangnya.
"Kopi buatan Ibu enak sekali, "puji Pak Wiryo sambil meletakkan cangkir yang telah kosong ke atas meja ruang tengah.
Istrinya tersenyum tanda berterima kasih. Baru sekali ini suami memujinya.
"Bapak belajar banyak dari pasangan muda itu, Bu."
"Ibu juga, Pak. Ibu malah malu sempat mengata-ngatai Jeng Nada. Waktu itu suaminya juga sempat mendengar dan kelihatan marah, tapi Jeng Nada membujuk, jadi tenang lagi."
"Mas Tantra memang kelihatan sangat menyayangi istrinya. Bapak jadi heran padahal Jeng Nada itu kan wajahnya biasa-biasa saja dan sepertinya cocok jadi kakaknya."
"Memang cocoknya jadi kakak, orang Jeng Nada lebih tua tujuh tahun."
"Oh ya? Pak Wiryo bengong. "Anak sekarang seleranya memang aneh-aneh, "Laki-laki setengah abad itu menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, Bapak heran juga kenapa malah mereka dulu yang minta maaf, ya?"
"Sebenarnya Ibu juga malu, Pak."
"Syukurlah mereka lapang dada."
Suasana hening. Tetapi, dalam hati Pak Wiryo berjanji detik itu juga meninggalkan semua kebiasaan buruknya. Ada contoh di depan matanya. Apalagi saat melihat foto istrinya semasa gadis dan pernikahan mereka yang tergantung di dinding, barulah laki-laki itu menyadari betapa cantik wajah istrinya. Seharusnya ia bersyukur.
Jam berapa sekarang? Lisa terbangun dari tidurnya yang samasekali tidak nyenyak. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Ternyata ia kembali harus mengalami peristiwa-peristiwa yang dulu. Bilur-bilur di sekujur tubuhnya terasa amat nyeri.
Pukul dua dini hari. Biasanya Lisa terbangun setiap pukul tiga. Ada apa ini? Wanita mungil itu membuka pintu kamar.
Lisa terkejut sekaligus ketakutan. Dilihatnya tiga orang bertopeng sedang menghajar Danar sampai jungkir balik. Danar yang sebenarnya tidak pandai bela diri tentu saja tidak bisa membalas.
"Masih bungkam juga?!"
"Kita beri dia pelajaran, Bos!"
"Benar, Bos! Biar tahu rasa!"
"Kalian benar!"
Danar yang tertelungkup itu mendongak. Ia dapat melihat mata si kepala perampok berkilat-kilat penuh nafsu ingin mengulitinya hidup-hidup. Benar saja sebilah parang dari balik jaketnya tiba-tiba berkelebat.
"Jangaan...aaaaa!!!"
Kepala perampok terkejut. Begitu pula kedua anak buahnya. Danar apalagi. Kepala perampok melihat parangnya ternoda oleh darah. Terbelalak mereka melihat seorang wanita terkapar di lantai bersimbah darah.
"Lari!"
Danar menoleh kepada Lisa yang sedang melambai lemah ke arahnya. Bergegas ia mendekati istrinya sambil mengusap pipi. Ada air mata di sana.
Malam itu juga seusai melepas kepulangan kakaknya, Lisa bergegas menuju dapur.
"Mau ke mana kamu?"
"Aku mau menyiapkan makan malam, "Lisa membalikkan tubuh.
"Aku tidak lapar!"Danar yang tadi tampak bermanis-manis sekarang menjelma kembali menjadi Dasamuka. "Kaupikir semuanya akan selesai semudah ini?!"
Lisa terdiam.
"Kau harus menerima hukuman!"
Ternyata Danar hanya berpura-pura karena segan terhadap kakak iparnya. Sekarang ia sedang mengelus-elus ikat pinggangnya.
"Kopi buatan Ibu enak sekali, "puji Pak Wiryo sambil meletakkan cangkir yang telah kosong ke atas meja ruang tengah.
Istrinya tersenyum tanda berterima kasih. Baru sekali ini suami memujinya.
"Bapak belajar banyak dari pasangan muda itu, Bu."
"Ibu juga, Pak. Ibu malah malu sempat mengata-ngatai Jeng Nada. Waktu itu suaminya juga sempat mendengar dan kelihatan marah, tapi Jeng Nada membujuk, jadi tenang lagi."
"Mas Tantra memang kelihatan sangat menyayangi istrinya. Bapak jadi heran padahal Jeng Nada itu kan wajahnya biasa-biasa saja dan sepertinya cocok jadi kakaknya."
"Memang cocoknya jadi kakak, orang Jeng Nada lebih tua tujuh tahun."
"Oh ya? Pak Wiryo bengong. "Anak sekarang seleranya memang aneh-aneh, "Laki-laki setengah abad itu menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, Bapak heran juga kenapa malah mereka dulu yang minta maaf, ya?"
"Sebenarnya Ibu juga malu, Pak."
"Syukurlah mereka lapang dada."
Suasana hening. Tetapi, dalam hati Pak Wiryo berjanji detik itu juga meninggalkan semua kebiasaan buruknya. Ada contoh di depan matanya. Apalagi saat melihat foto istrinya semasa gadis dan pernikahan mereka yang tergantung di dinding, barulah laki-laki itu menyadari betapa cantik wajah istrinya. Seharusnya ia bersyukur.
Jam berapa sekarang? Lisa terbangun dari tidurnya yang samasekali tidak nyenyak. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Ternyata ia kembali harus mengalami peristiwa-peristiwa yang dulu. Bilur-bilur di sekujur tubuhnya terasa amat nyeri.
Pukul dua dini hari. Biasanya Lisa terbangun setiap pukul tiga. Ada apa ini? Wanita mungil itu membuka pintu kamar.
Lisa terkejut sekaligus ketakutan. Dilihatnya tiga orang bertopeng sedang menghajar Danar sampai jungkir balik. Danar yang sebenarnya tidak pandai bela diri tentu saja tidak bisa membalas.
"Masih bungkam juga?!"
"Kita beri dia pelajaran, Bos!"
"Benar, Bos! Biar tahu rasa!"
"Kalian benar!"
Danar yang tertelungkup itu mendongak. Ia dapat melihat mata si kepala perampok berkilat-kilat penuh nafsu ingin mengulitinya hidup-hidup. Benar saja sebilah parang dari balik jaketnya tiba-tiba berkelebat.
"Jangaan...aaaaa!!!"
Kepala perampok terkejut. Begitu pula kedua anak buahnya. Danar apalagi. Kepala perampok melihat parangnya ternoda oleh darah. Terbelalak mereka melihat seorang wanita terkapar di lantai bersimbah darah.
"Lari!"
Danar menoleh kepada Lisa yang sedang melambai lemah ke arahnya. Bergegas ia mendekati istrinya sambil mengusap pipi. Ada air mata di sana.
Sabtu, 26 Maret 2011
Di Arung Jeram
Tetapi, bukan Danar namanya kalau tidak berani menerima tantangan. Menurutnya bukan laki-laki namanya kalau menolak tantangan, apalagi penantangnya cuma perempuan, dan perempuan yang hanya bisa menangis dan berteriak minta tolong kalau dipukul.
"Berani kau menantangku, hah?!"serunya dengan bengis. Tangannya terulur hendak menyeret Lisa. Tetapi, sebelum niatnya itu terlaksana....
"Tidak ada yang boleh menyakiti adikku!"
Bukan main terkejut Danar. Tangannya urung terulur. Begitu pula Lisa, ia pun tak kalah tercengang. "Mas Randy?"
Pria yang dipanggil Mas Randy itu tersenyum penuh kasih. "Iya, aku Randy, "katanya.
Tanpa memperdulikan suaminya, Lisa langsung memeluk pria gagah itu dengan perasaan rindu dan lega berbaur satu.
"Mas, kenapa baru pulang?"
"Maafkan, Mas terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak sempat memperhatikan adikku semata wayang ini, "Randy memeluk pundak adiknya. Kemudian ia menatap tajam ke arah Danar, adik iparnya.
Danar meneguk ludah yang tiba-tiba terasa pahit.
Tantra semakin mengagumi Nada. Pagi ini istrinya itu merencanakan untuk menemui Bu Wiryo, tetangga yang sudah mengata-ngatai dirinya tempo hari.
"Kamu yakin?"Tantra memperhatikan istrinya yang tengah memasang peniti hias pada jilbabnya.
Nada mengangguk. "Kenapa? Mas tidak setuju?"
"Bukan begitu, Mbak. Tapi aku tidak mau mendengarmu dihina seperti itu lagi."
Nada menatap suaminya sambil tersenyum lembut. "Sebenarnya bukan itu maksudnya. Tapi, dia tak tahu harus bereaksi bagaimana mendengar kata-kataku. Jadi, rasanya aku juga salah...walaupun tidak sengaja aku tetap menyinggung perasaannya."
Hening. Tantra hanya menatap istrinya lekat-lekat tanpa kata.
"Bisa kita berangkat sekarang?"
Tetanggaku itu memang buta. Istri secantik ini dia katakan jelek? Apanya yang jelek? Rasanya sudah waktunya ia memeriksakan matanya!
"Mas?"Nada melambaikan tangannya di wajah suaminya.
Tantra tersentak.
Nada tersenyum. "Pasti melamun."
"Tidak, "Tantra berusaha mengelak. "Aku cuma berpikir...."
"Berpikir? Tentang apa?"
"Pagi-pagi begini, melihatmu begini cantik, rasanya aku ingin...."
"Ingin apa?"Nada penasaran. Tiba-tiba ia teringat kalau belum membuatkan suaminya minum. Teh atau ...."
"Bukan minuman."
"Lalu?"
Tantra mengulum senyum. Melihat senyuman itu, Nada jadi curiga. Bisa-bisa rencana pagi ini tertunda. "Mas mau apa?"
Sehelai kertas itu masih disimpan baik-baik oleh Meyra. Isinya mengingatkan dirinya bagaimana seharusnya menjadi wanita yang dihormati pria. Betapa Meyra malu karena yang mengingatkan hal itu justru lawan jenisnya dan orang lain pula!
Gadis itu duduk di depan meja belajar sambil memegang kertas keramat itu. Alangkah beruntung wanita yang menjadi istrinya, siapa pun wanita itu.
Merah padam seketika wajah Nada. Sementara tanpa perduli Tantra menatapnya sambil tersenyum menggoda.
"Sudah, ah. Nanti kesiangan."
"Boleh, tapi bersambung, "sahut Tantra sambil melangkah keluar kamar.
Nada menahan senyum. Jadi yang tadi itu belum selesai? Ah, ada-ada saja! Tidak jarang Nada berpikir Tantra memang terlalu muda untuknya. Wanita itu mematut di depan cermin untuk memastikan dirinya telah rapi.
"Berani kau menantangku, hah?!"serunya dengan bengis. Tangannya terulur hendak menyeret Lisa. Tetapi, sebelum niatnya itu terlaksana....
"Tidak ada yang boleh menyakiti adikku!"
Bukan main terkejut Danar. Tangannya urung terulur. Begitu pula Lisa, ia pun tak kalah tercengang. "Mas Randy?"
Pria yang dipanggil Mas Randy itu tersenyum penuh kasih. "Iya, aku Randy, "katanya.
Tanpa memperdulikan suaminya, Lisa langsung memeluk pria gagah itu dengan perasaan rindu dan lega berbaur satu.
"Mas, kenapa baru pulang?"
"Maafkan, Mas terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak sempat memperhatikan adikku semata wayang ini, "Randy memeluk pundak adiknya. Kemudian ia menatap tajam ke arah Danar, adik iparnya.
Danar meneguk ludah yang tiba-tiba terasa pahit.
Tantra semakin mengagumi Nada. Pagi ini istrinya itu merencanakan untuk menemui Bu Wiryo, tetangga yang sudah mengata-ngatai dirinya tempo hari.
"Kamu yakin?"Tantra memperhatikan istrinya yang tengah memasang peniti hias pada jilbabnya.
Nada mengangguk. "Kenapa? Mas tidak setuju?"
"Bukan begitu, Mbak. Tapi aku tidak mau mendengarmu dihina seperti itu lagi."
Nada menatap suaminya sambil tersenyum lembut. "Sebenarnya bukan itu maksudnya. Tapi, dia tak tahu harus bereaksi bagaimana mendengar kata-kataku. Jadi, rasanya aku juga salah...walaupun tidak sengaja aku tetap menyinggung perasaannya."
Hening. Tantra hanya menatap istrinya lekat-lekat tanpa kata.
"Bisa kita berangkat sekarang?"
Tetanggaku itu memang buta. Istri secantik ini dia katakan jelek? Apanya yang jelek? Rasanya sudah waktunya ia memeriksakan matanya!
"Mas?"Nada melambaikan tangannya di wajah suaminya.
Tantra tersentak.
Nada tersenyum. "Pasti melamun."
"Tidak, "Tantra berusaha mengelak. "Aku cuma berpikir...."
"Berpikir? Tentang apa?"
"Pagi-pagi begini, melihatmu begini cantik, rasanya aku ingin...."
"Ingin apa?"Nada penasaran. Tiba-tiba ia teringat kalau belum membuatkan suaminya minum. Teh atau ...."
"Bukan minuman."
"Lalu?"
Tantra mengulum senyum. Melihat senyuman itu, Nada jadi curiga. Bisa-bisa rencana pagi ini tertunda. "Mas mau apa?"
Sehelai kertas itu masih disimpan baik-baik oleh Meyra. Isinya mengingatkan dirinya bagaimana seharusnya menjadi wanita yang dihormati pria. Betapa Meyra malu karena yang mengingatkan hal itu justru lawan jenisnya dan orang lain pula!
Gadis itu duduk di depan meja belajar sambil memegang kertas keramat itu. Alangkah beruntung wanita yang menjadi istrinya, siapa pun wanita itu.
Merah padam seketika wajah Nada. Sementara tanpa perduli Tantra menatapnya sambil tersenyum menggoda.
"Sudah, ah. Nanti kesiangan."
"Boleh, tapi bersambung, "sahut Tantra sambil melangkah keluar kamar.
Nada menahan senyum. Jadi yang tadi itu belum selesai? Ah, ada-ada saja! Tidak jarang Nada berpikir Tantra memang terlalu muda untuknya. Wanita itu mematut di depan cermin untuk memastikan dirinya telah rapi.
Kamis, 24 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kalau disuruh memilih, tidak ada wanita yang ingin menjadi perawan tua. Tetapi, sering orang salah menduga dan mengira perawan tua karena suka memilih-milih pasangan. Banyak orang yang menjatuhkan vonis begitu saja tanpa bertanya lebih sebab-sebabnya. Bahkan bukan hanya orang lain, orang tua dan kerabat pun kadang-kadang berpendapat demikian.
Entah bagaimana, tiba-tiba Tantra memutuskan mampir ke tempat kos Tante Ara sepulang kerja. Tante Ara adalah adik kandung Ayah. Beliau ahli dekorasi rumah.
Tantra sangat menyayangi bibinya itu walaupun sejak pernikahannya belum berjumpa karena beliau sangat sibuk dan nomaden.
Sore itu Tante Ara tampak anggun dengan jilbab putih tulang, blouse bermotif bunga beraneka warna dan dipadu dengan rok hitam polos. Menurut Tantra, bibinya ini semakin cantik saja. Sering ia tidak habis pikir mengapa belum pernah sekali pun melihat Tante Ara dekat dengan pria.
Betapa senangnya Tante Ara melihat kedatangan kemenakan tercinta. Ia semakin terheran-heran setelah mengetahui bahwa pemuda itu beberapa bulan lagi akan menjadi ayah. "Wah, kalah Tante, "ucapnya sambil meletakkan secangkir teh hangat.
"Ah, biasa saja, Tante."
"Kok, sendirian? Istri tidak diajak?"
"Saya dari kantor, Tante, langsung ke sini."
"Oh, begitu. Eh, dari mana kamu tahu alamat Tante?"
"Dari ayah. Sebenarnya sudah lama, tapi baru sekarang sempat."
Setelah berpikir panjang, akhirnya Lisa memutuskan menampakkan diri. Ia keluar dari gua persembunyiannya. Tetapi, Lisa yang sekarang bukanlah Lisa yang dulu. Lisa yang sekarang sudah menjelma mandiri dan percaya diri.
Justru Danar yang shock, tidak siap dengan kenyataan yang terjadi. Ternyata Lisa tidak lagi gentar dengan kekasaran bahkan ancamannya.
"Jadi, ke mana saja kamu selama ini?"tanya Danar melayangkan tangannya ke wajah Lisa. Ia terkejut karena istrinya itu tidak menangis, bahkan tampak kesakitan pun tidak.
"Apakah kaumencariku? Sepertinya kamu malah kegirangan."
"Sialan! Apa kamu sudah lupa bagaimana aku menghajarmu dulu?!"
Lisa masih bergeming.
"Kamu akan merasakan sabetanku ini!"dengan kasar Danar melepas ikat pinggangnya.
Yang terjadi sungguh di luar dugaan, karena istrinya itu justru mendekat.
"Apa hanya seperti ini keberanianmu, Suamiku? Hanya berani memukuli istri sendiri, yang seharusnya kaulindungi. Tapi kalau itu maumu, silakan! Pukul saja aku! Toh, aku sudah terbiasa!"
Danar terpaku. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu.
Entah bagaimana, tiba-tiba Tantra memutuskan mampir ke tempat kos Tante Ara sepulang kerja. Tante Ara adalah adik kandung Ayah. Beliau ahli dekorasi rumah.
Tantra sangat menyayangi bibinya itu walaupun sejak pernikahannya belum berjumpa karena beliau sangat sibuk dan nomaden.
Sore itu Tante Ara tampak anggun dengan jilbab putih tulang, blouse bermotif bunga beraneka warna dan dipadu dengan rok hitam polos. Menurut Tantra, bibinya ini semakin cantik saja. Sering ia tidak habis pikir mengapa belum pernah sekali pun melihat Tante Ara dekat dengan pria.
Betapa senangnya Tante Ara melihat kedatangan kemenakan tercinta. Ia semakin terheran-heran setelah mengetahui bahwa pemuda itu beberapa bulan lagi akan menjadi ayah. "Wah, kalah Tante, "ucapnya sambil meletakkan secangkir teh hangat.
"Ah, biasa saja, Tante."
"Kok, sendirian? Istri tidak diajak?"
"Saya dari kantor, Tante, langsung ke sini."
"Oh, begitu. Eh, dari mana kamu tahu alamat Tante?"
"Dari ayah. Sebenarnya sudah lama, tapi baru sekarang sempat."
Setelah berpikir panjang, akhirnya Lisa memutuskan menampakkan diri. Ia keluar dari gua persembunyiannya. Tetapi, Lisa yang sekarang bukanlah Lisa yang dulu. Lisa yang sekarang sudah menjelma mandiri dan percaya diri.
Justru Danar yang shock, tidak siap dengan kenyataan yang terjadi. Ternyata Lisa tidak lagi gentar dengan kekasaran bahkan ancamannya.
"Jadi, ke mana saja kamu selama ini?"tanya Danar melayangkan tangannya ke wajah Lisa. Ia terkejut karena istrinya itu tidak menangis, bahkan tampak kesakitan pun tidak.
"Apakah kaumencariku? Sepertinya kamu malah kegirangan."
"Sialan! Apa kamu sudah lupa bagaimana aku menghajarmu dulu?!"
Lisa masih bergeming.
"Kamu akan merasakan sabetanku ini!"dengan kasar Danar melepas ikat pinggangnya.
Yang terjadi sungguh di luar dugaan, karena istrinya itu justru mendekat.
"Apa hanya seperti ini keberanianmu, Suamiku? Hanya berani memukuli istri sendiri, yang seharusnya kaulindungi. Tapi kalau itu maumu, silakan! Pukul saja aku! Toh, aku sudah terbiasa!"
Danar terpaku. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu.
Selasa, 22 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kalau tidak memperhatikan dengan teliti, jarang orang tahu kalau Nada sedang mengandung. Selain, postur tubuhnya yang kecil dan ramping, wanita itu gemar mengenakan jaket.
Sore ini, Nada baru saja selesai mandi dan berpakaian. Satu jam lagi Tantra pulang. Sambil menunggu kedatangan suaminya, wanita itu mengambil majalah dari lemari buku dan duduk di beranda.
"Tunggu suami, Jeng?"sapa seorang ibu yang kebetulan lewat. Beliau tinggal di kompleks yang sama hanya berjarak empat rumah.
"Iya, Bu."
"Sudah berapa bulan, Jeng?" Ibu itu menghampiri.
Nada berdiri. "Oh, masih empat bulan lagi, Bu. Mari, silakan duduk."
"Nanti mengganggu?"
"Ah, tidak. Saya malah senang punya teman."
"Terima kasih, ya, Jeng."
"Sama-sama, Bu."
Herman mengerutkan kening membaca surat Tantra. Ia sangat menyayangkan keputusan yang diambil karyawan yang menjadi harapan perusahaan itu.
"Anda ingin mengundurkan diri."
"Ya, Pak."
"Apakah ini alasan pribadi?"
"Maafkan saya, sejujurnya memang alasan pribadi."
Herman terdiam. Ia dapat mengira-ngira alasan pemuda itu tidak lain adalah menghindari Meyra. Padahal, justru adiknya itu sedang terbuai cinta. Surat yang ditulis Tantra malah membuat gadis itu semakin kagum.
Nada tersenyum ketika ibu itu menyatakan keheranannya karena Tantra terlihat sangat muda.
"Saya memang lebih tua, Bu."
"Maksud Jeng, daripada suami Jeng?" si Ibu terbelalak. Sepertinya kejutan.
Nada mengangguk ramah.
"Berapa tahun?"
"Tujuh tahun."
Ibu itu semakin terbelalak. "Maaf, ya, kok Jeng mau sama anak kemarin sore? Kalau nanti dia selingkuh, Jeng sakit hati."
"Yang suaminya lebih tua juga ada yang selingkuh." Sebenarnya Nada tidak bermaksud menyindir, tetapi rupanya kata-kata itu tepat menampar wajah si Ibu. Lihat saja, wajahnya mendadak merah padam bercampur ungu. Ia pun berdiri.
"Jeng tidak usah menyindir saya, ya? Memang suami saya suka pulang malam dan selalu bersama perempuan yang berganti-ganti, tapi dia tetap setia!" omelnya sambil menuding-nuding Nada.
Nada merasa tidak perlu menjawab. Jadi, ia diam saja.
"Situ sendiri, apa tidak sadar kalau suka daun muda? Senang yang segar-segar, ya? Eh, kalau jadi suaminya situ pasti pikir-pikir kok mau nikah sama situ. Memangnya situ cantik? Ngaca!"
Nada hanya menatap tetangganya yang sedang berbuih-buih itu dengan tenang.
Sore ini, Nada baru saja selesai mandi dan berpakaian. Satu jam lagi Tantra pulang. Sambil menunggu kedatangan suaminya, wanita itu mengambil majalah dari lemari buku dan duduk di beranda.
"Tunggu suami, Jeng?"sapa seorang ibu yang kebetulan lewat. Beliau tinggal di kompleks yang sama hanya berjarak empat rumah.
"Iya, Bu."
"Sudah berapa bulan, Jeng?" Ibu itu menghampiri.
Nada berdiri. "Oh, masih empat bulan lagi, Bu. Mari, silakan duduk."
"Nanti mengganggu?"
"Ah, tidak. Saya malah senang punya teman."
"Terima kasih, ya, Jeng."
"Sama-sama, Bu."
Herman mengerutkan kening membaca surat Tantra. Ia sangat menyayangkan keputusan yang diambil karyawan yang menjadi harapan perusahaan itu.
"Anda ingin mengundurkan diri."
"Ya, Pak."
"Apakah ini alasan pribadi?"
"Maafkan saya, sejujurnya memang alasan pribadi."
Herman terdiam. Ia dapat mengira-ngira alasan pemuda itu tidak lain adalah menghindari Meyra. Padahal, justru adiknya itu sedang terbuai cinta. Surat yang ditulis Tantra malah membuat gadis itu semakin kagum.
Nada tersenyum ketika ibu itu menyatakan keheranannya karena Tantra terlihat sangat muda.
"Saya memang lebih tua, Bu."
"Maksud Jeng, daripada suami Jeng?" si Ibu terbelalak. Sepertinya kejutan.
Nada mengangguk ramah.
"Berapa tahun?"
"Tujuh tahun."
Ibu itu semakin terbelalak. "Maaf, ya, kok Jeng mau sama anak kemarin sore? Kalau nanti dia selingkuh, Jeng sakit hati."
"Yang suaminya lebih tua juga ada yang selingkuh." Sebenarnya Nada tidak bermaksud menyindir, tetapi rupanya kata-kata itu tepat menampar wajah si Ibu. Lihat saja, wajahnya mendadak merah padam bercampur ungu. Ia pun berdiri.
"Jeng tidak usah menyindir saya, ya? Memang suami saya suka pulang malam dan selalu bersama perempuan yang berganti-ganti, tapi dia tetap setia!" omelnya sambil menuding-nuding Nada.
Nada merasa tidak perlu menjawab. Jadi, ia diam saja.
"Situ sendiri, apa tidak sadar kalau suka daun muda? Senang yang segar-segar, ya? Eh, kalau jadi suaminya situ pasti pikir-pikir kok mau nikah sama situ. Memangnya situ cantik? Ngaca!"
Nada hanya menatap tetangganya yang sedang berbuih-buih itu dengan tenang.
Senin, 21 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta
Meskipun masih lima bulan lagi melahirkan, tetapi sepasang suami istri itu tidak dapat menahan keinginan mereka untuk membeli perlengkapan bayi. Pagi itu Tantra dan Nada sepakat mengunjungi hipermarket.
"Bagus, ya?" Nada menunjuk selimut merah muda.
Tantra mengerutkan kening. "Memangnya perempuan?"
"Ya, maunya begitu."
"Kalau lahirnya laki-laki, bagaimana?"
Nada mencibir. "Pokoknya yang ini bagus."
"Terserah. Oh, ya, sudah ambil anggur belum?"
"Eh, belum."
"Biar, aku yang ambil."
"Yang hijau, ya."
Tantra mengangguk. Ia sengaja meninggalkan troli dan menuju bagian buah-buahan.
"Uaah, keren abis...."
"Mana? Mana?"
"Itu...."
"Ha? Itu sih super kueereen!"
"Kita ikuti, yuk."
"Iya, sepertinya dia masih sendiri."
"Bagus, ya?" Nada menunjuk selimut merah muda.
Tantra mengerutkan kening. "Memangnya perempuan?"
"Ya, maunya begitu."
"Kalau lahirnya laki-laki, bagaimana?"
Nada mencibir. "Pokoknya yang ini bagus."
"Terserah. Oh, ya, sudah ambil anggur belum?"
"Eh, belum."
"Biar, aku yang ambil."
"Yang hijau, ya."
Tantra mengangguk. Ia sengaja meninggalkan troli dan menuju bagian buah-buahan.
"Uaah, keren abis...."
"Mana? Mana?"
"Itu...."
"Ha? Itu sih super kueereen!"
"Kita ikuti, yuk."
"Iya, sepertinya dia masih sendiri."
Jumat, 18 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta
Tantra hanya nyengir kuda dikeroyok orang tua dan adiknya. Nada mengulum senyum melihatnya. Dalam hati tak henti ia bersyukur mendapat suami sebaik Tantra. Bukan hanya baik, dia pun selalu bersikap dan bertutur lembut dan santun. Kelebihan lainnya, setia dan penuh perhatian. Semua itu semakin tampak sempurna karena ditunjang penampilan di atas rata-rata. Jadi, kurang apalagi?
"Kalian tidak lapor polisi?"tanya Afna yang benar-benar cemas keselamatan anak dan menantunya.
"Benar, Tantra, "sela Cakra. "Itu bukan perkara yang bisa kamu pandang sebelah mata. Kalau sekarang istrimu atau kau bisa selamat, tapi bagaimana kalau lain kali?"
Tantra dan Nada berpandangan.
Rupanya malam yang hampir menjadi petaka bagi Nada merupakan hikmah tersendiri bagi Meyra. Ia memutuskan untuk menyudahi semua kegilaan yang telah ia lakukan. Selembar kertas yang bertuliskan pesan dari Tantra di dinding kamar mandi kantor benar-benar telah menyentak akal sehatnya.
"Mas, jangan ganggu Meyra lagi, "begitu kata gadis itu saat kakaknya meminta untuk mencoba merayu Tantra lagi.
"Kenapa kamu menyerah?"tanya Herman terheran-heran melihat perubahan sikap adiknya yang begitu drastis.
"Aku ingin tenang, Mas. Itu saja."
Herman menghela napas berat. Urusan jadi semakin gawat. Tetapi mana mungkin ia menceritakan ancaman Danar?
"Kalau kau tak bisa membujuk adikmu, akan kusulap kalian supaya tidur di kolong jembatan, "ujar Danar dua minggu yang lalu. "Dan adikmu, terlalu cantik untuk dibiarkan...."
Ah! Herman menatap adik semata wayangnya penuh sayang. Siapa yang sanggup menghadapi kenyataan bahwa saudara tersayangnya berada dalam bahaya?
Sementara Meyra mendongak. Pemandangan langit malam itu hanya dihiasi bulan paruh.
"Kalian tidak lapor polisi?"tanya Afna yang benar-benar cemas keselamatan anak dan menantunya.
"Benar, Tantra, "sela Cakra. "Itu bukan perkara yang bisa kamu pandang sebelah mata. Kalau sekarang istrimu atau kau bisa selamat, tapi bagaimana kalau lain kali?"
Tantra dan Nada berpandangan.
Rupanya malam yang hampir menjadi petaka bagi Nada merupakan hikmah tersendiri bagi Meyra. Ia memutuskan untuk menyudahi semua kegilaan yang telah ia lakukan. Selembar kertas yang bertuliskan pesan dari Tantra di dinding kamar mandi kantor benar-benar telah menyentak akal sehatnya.
"Mas, jangan ganggu Meyra lagi, "begitu kata gadis itu saat kakaknya meminta untuk mencoba merayu Tantra lagi.
"Kenapa kamu menyerah?"tanya Herman terheran-heran melihat perubahan sikap adiknya yang begitu drastis.
"Aku ingin tenang, Mas. Itu saja."
Herman menghela napas berat. Urusan jadi semakin gawat. Tetapi mana mungkin ia menceritakan ancaman Danar?
"Kalau kau tak bisa membujuk adikmu, akan kusulap kalian supaya tidur di kolong jembatan, "ujar Danar dua minggu yang lalu. "Dan adikmu, terlalu cantik untuk dibiarkan...."
Ah! Herman menatap adik semata wayangnya penuh sayang. Siapa yang sanggup menghadapi kenyataan bahwa saudara tersayangnya berada dalam bahaya?
Sementara Meyra mendongak. Pemandangan langit malam itu hanya dihiasi bulan paruh.
Kamis, 17 Maret 2011
Sapa Kalbu
Apakah kau yang terpilih untukku
itulah sapa kalbu seorang wanita bergaun biru
matanya berkilat sendu
Engkaukah calon pendampingku
tanya hatinya pada setiap lelaki yang berlalu
tatapnya lembut namun setajam sembilu
Konon, ia gadis yang sangat cantik
tak heran banyak pemuda yang tertarik
apalagi senyumnya manis simpatik
Tahun demi tahun berlalu
tiada sampai di depan penghulu
takdir Tuhan siapa yang tahu
Maaf, apakah engkau jodohku
wanita itu bertanya lewat kalbu
pada setiap laki-laki yang berlalu
Malam ini dia berdandan cantik sekali
gaun bersulam benang keemasan menemani
mimpi indahnya menjadi bidadari
Seorang pria tampan menghampiri
ikutlah bersamaku, permata hati
alangkah bahagia wanita itu tiada terperi
Suatu pagi di tepi jalan
ramai orang membentuk kerumunan
wanita itu terpejam dalam kedamaian
itulah sapa kalbu seorang wanita bergaun biru
matanya berkilat sendu
Engkaukah calon pendampingku
tanya hatinya pada setiap lelaki yang berlalu
tatapnya lembut namun setajam sembilu
Konon, ia gadis yang sangat cantik
tak heran banyak pemuda yang tertarik
apalagi senyumnya manis simpatik
Tahun demi tahun berlalu
tiada sampai di depan penghulu
takdir Tuhan siapa yang tahu
Maaf, apakah engkau jodohku
wanita itu bertanya lewat kalbu
pada setiap laki-laki yang berlalu
Malam ini dia berdandan cantik sekali
gaun bersulam benang keemasan menemani
mimpi indahnya menjadi bidadari
Seorang pria tampan menghampiri
ikutlah bersamaku, permata hati
alangkah bahagia wanita itu tiada terperi
Suatu pagi di tepi jalan
ramai orang membentuk kerumunan
wanita itu terpejam dalam kedamaian
Rabu, 16 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kabar penyerangan yang dilakukan Danar terhadap Nada, sampai di telinga para orang tua. Sudah pasti mereka panik bukan main, takut terjadi sesuatu pada wanita yang sedang mengandung itu.
"Kalian tinggal di sini saja, "usul Afna ketika keduanya berkunjung sepulang dari dokter, malam itu.
"Nanti merepotkan, Bu, "tukas Tantra tersenyum. "Lagipula Mbak Nada tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa, bagaimana maksudmu, Tantra?"sela Cakra tidak sabar. "Ayah dengar dari Banu, pergelangan tangannya ada yang memar?"
"Sudah baikan, Ayah, "kali ini Nada yang menjawab.
Rafa diam saja sejak tadi. Ia benar-benar menyesal tidak bisa menemani kakak iparnya seperti permintaan Tantra. Hari itu ia harus menyelesaikan tugas kuliahnya yang harus segera dikumpulkan keesokan pagi.
"Maafkan Rafa, kalau saja waktu itu...."
Tantra mengusap kepala adiknya lembut. "Hei, kau tidak perlu minta maaf, Dik, "tukasnya. "Dengan kejadian itu kami belajar untuk lebih hati-hati."
"Mbak Nada sampai memar tangannya, memangnya tidak melawan waktu diserang? Memukul atau menendang, misalnya?"Rafa mengerutkan kening.
Keempat manusia yang berada di ruang keluarga itu saling melempar pandang sambil mengulum senyum. Dasar Rafa! Mana dia ingat kalau Nada sangat bertolak belakang dengan dirinya. Rafa memang bukan gadis tomboi, tetapi dengan dua ilmu bela diri yang dikuasainya sampai detik ini, ia bukan gadis yang lemah. Berbeda dengan Nada, yang sungguh-sungguh wanita sejati.
"Memangnya kamu?"Tantra menekan hidung adiknya.
Rafa menepis tangan kakaknya sambil melotot.
"Mbak melawan, kok, "sela Nada tersenyum. "Tapi, tidak bisa seperti Dik Rafa? Kalau tidak melawan, mana mungkin tangan Mbak sampai memar?"
Rafa mengangguk-angguk. Benar juga, pikirnya. "Tapi, enaknya Mbak belajar bela diri saja."
"Apa...masih bisa, Dik? Mbak kan sudah bukan gadis muda lagi."
"Lebih baik tidak usah, "sela Tantra membuat orang tua dan adiknya tercengang.
"Kenapa tidak boleh, Mas?"Rafa penasaran.
"Iya, kalau istrimu punya ilmu bela diri, kamu tidak akan terlalu cemas lagi, "ujar Cakra. Afna pun mengangguk.
"Buat apa punya suami jago bela diri, kalau masih ikut bela diri...."
Rafa langsung memukul lengan kakaknya sambil tersenyum geli.
"Oh, jadi maksudmu biar masih bisa jadi pahlawan, begitu?"tanya Afna.
"Begitulah...."
"Huu...."
"Kalian tinggal di sini saja, "usul Afna ketika keduanya berkunjung sepulang dari dokter, malam itu.
"Nanti merepotkan, Bu, "tukas Tantra tersenyum. "Lagipula Mbak Nada tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa, bagaimana maksudmu, Tantra?"sela Cakra tidak sabar. "Ayah dengar dari Banu, pergelangan tangannya ada yang memar?"
"Sudah baikan, Ayah, "kali ini Nada yang menjawab.
Rafa diam saja sejak tadi. Ia benar-benar menyesal tidak bisa menemani kakak iparnya seperti permintaan Tantra. Hari itu ia harus menyelesaikan tugas kuliahnya yang harus segera dikumpulkan keesokan pagi.
"Maafkan Rafa, kalau saja waktu itu...."
Tantra mengusap kepala adiknya lembut. "Hei, kau tidak perlu minta maaf, Dik, "tukasnya. "Dengan kejadian itu kami belajar untuk lebih hati-hati."
"Mbak Nada sampai memar tangannya, memangnya tidak melawan waktu diserang? Memukul atau menendang, misalnya?"Rafa mengerutkan kening.
Keempat manusia yang berada di ruang keluarga itu saling melempar pandang sambil mengulum senyum. Dasar Rafa! Mana dia ingat kalau Nada sangat bertolak belakang dengan dirinya. Rafa memang bukan gadis tomboi, tetapi dengan dua ilmu bela diri yang dikuasainya sampai detik ini, ia bukan gadis yang lemah. Berbeda dengan Nada, yang sungguh-sungguh wanita sejati.
"Memangnya kamu?"Tantra menekan hidung adiknya.
Rafa menepis tangan kakaknya sambil melotot.
"Mbak melawan, kok, "sela Nada tersenyum. "Tapi, tidak bisa seperti Dik Rafa? Kalau tidak melawan, mana mungkin tangan Mbak sampai memar?"
Rafa mengangguk-angguk. Benar juga, pikirnya. "Tapi, enaknya Mbak belajar bela diri saja."
"Apa...masih bisa, Dik? Mbak kan sudah bukan gadis muda lagi."
"Lebih baik tidak usah, "sela Tantra membuat orang tua dan adiknya tercengang.
"Kenapa tidak boleh, Mas?"Rafa penasaran.
"Iya, kalau istrimu punya ilmu bela diri, kamu tidak akan terlalu cemas lagi, "ujar Cakra. Afna pun mengangguk.
"Buat apa punya suami jago bela diri, kalau masih ikut bela diri...."
Rafa langsung memukul lengan kakaknya sambil tersenyum geli.
"Oh, jadi maksudmu biar masih bisa jadi pahlawan, begitu?"tanya Afna.
"Begitulah...."
"Huu...."
Kamis, 10 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta
Terlalu cepat Danar melajukan motornya. Dia tak terkejar. Orang-orang yang sedang tugas ronda menyatakan permintaan maaf mereka dengan tulus. Banu sangat berterima kasih atas bantuan mereka. Sebab meskipun gagal, mereka telah menjalankan tugas sebaik-baiknya.
Banu menutup pintu. Kemudian ia menoleh ke arah Nada yang masih terduduk di sudut dengan wajah pucat pasi.
"Kau tidak perlu takut lagi, Mbak, "ujarnya sambil memeluk pundak kakaknya. "Dia tidak akan mengganggumu lagi. Maafkan aku, seharusnya aku bisa datang lebih cepat, tapi, aku jadi ketua panitia, jadi tak mungkin meninggalkan tempat sebelum acara selesai."
"Tidak apa-apa, aku mengerti."
"Kenapa dia kembali lagi?"
"Dia ingin menghancurkan kami, aku dan Tantra...."
Banu sangat geram. "Benar-benar berhati iblis. Ditariknya tangan kakaknya supaya berdiri. "Kau tidak apa-apa, kan? Ada yang luka?"
"Sedikit, "Nada menunjuk pergelangan kanannya yang memar karena cengkeraman Danar.
Banu menuntun kakaknya ke kamar. "Sebaiknya kau istirahat, "ujarnya sambil tak habis pikir bahwa ada manusia sekeji Danar.
Satu jam terlalu lama untuk mandi, apalagi sekadar cuci muka. Tadi sebelum Meyra meraih tangan Tantra, laki-laki itu mendadak minta izin muka di kamar mandi karena wastafel tidak ada di ruangan itu.
Meyra mengira Tantra berubah pikiran dan ingin mandi supaya lebih segar, maka ia menunggu dengan sabar. Sementara itu ia pun bersiap-siap dengan penampilan yang lebih mengundang minat.
Tetapi satu jam telah berlalu. Kamar mandi itu belum juga terbuka. Meyra yang sudah menyiapkan diri sedemikian rupa mendadak merasa gerah. Ia pun memberanikan diri menggedor pintu.
"Sudah belum, Mas? Kok lama sekali?!"
Tidak ada jawaban. Yang ada suara air dari kran yang masuk ke dalam bak.
Meyra terkejut. Mendadak kakinya basah. Baru ia sadari bahwa air dari bak telah meluber.
Lewat tengah malam. Banu tercengang mendengar cerita yang dituturkan Tantra. Jadi semua telah dirancang manusia berhati iblis itu!
"Jadi, dia juga menggunakan perempuan untuk menjebakmu?"
"Ya."
"Cantik?"
"Sangat."
Banu memicingkan mata. "Jadi, maksudmu, kau juga tertarik?"
"Aku tahu yang namanya cantik atau tidak."
"Oh, Tantra, jangan katakan kalau kau sudah...."
Tantra mengibaskan tangannya. "Jujur...hampir saja aku percaya ocehan perempuan itu. Ia menunjukkan foto kakakmu dan mantan tunangannya berpose di kolam renang. Tahu kan, baju renang model bikini."
"Berpose seperti apa?"
"Macam-macam. Ada yang pose mereka berciuman."
"Dan kamu percaya? Tantra, Mbak Nada tidak seperti itu. Dia sangat pemalu dan begitu menjaga kehormatannya."
"Ya, "Tantra mengangguk. Aku hampir saja mengiyakan ajakan perempuan itu. Tapi...syukurlah pikiranku masih waras. Waktu itu aku sempat berpikir bagaimanapun Nada, akulah yang memutuskan menjadi pendamping hidupku dan seharusnnya aku menjadi yang terbaik baginya."
Banu tersenyum. "Mbak Nada adalah kakak yang sangat baik. Bagiku ia kakak terbaik di dunia. Ia telah melakukan segalanya untukku. Waktu kami masih kecil, ia sering melindungiku. Tak pernah ia menolak setiap aku minta tolong, dibuatkan kue, dibelikan mainan, walaupun dia sedang lelah, banyak tugas, PR, atau hujan deras sekalipun."
Tantra terdiam.
"Jadi, "Banu menatap kakak iparnya lekat-lekat. "Aku tak rela siapapun menyakitinya."
Tantra tersenyum. "Aku juga tidak, "tukasnya sambil beranjak. "Aku ingin tahu keadaannya."
"Dia tidur."
"Hatiku lebih tenang kalau sudah melihatnya."
Banu tak berkata-kata lagi.
Nada berbaring dengan mata terbelalak. Ia tersentak saat mendengar pintu dibuka.
"Tantra?"
Tantra tersenyum sambil menutup pintu.
"Kau belum tidur, Mbak?"
"Aku masih takut."
"Jangan takut, sudah aman."
"Tapi...dia bisa datang lagi."
"Akan kupastikan dia tidak berani berbuat hal yang sama kepada kita."
"Mudah-mudahan, "bisik Nada sambil meletakkan tangannya di atas perut. "Tapi...aku berharap anak kita baik-baik saja."
"Besok pagi kita periksakan kandunganmu ke dokter."
"Mas...."
"Ya?"
"Kalau tidak ada Banu dan orang-orang itu mungkin aku sudah...."
Tantra menggeleng dan memberi tanda supaya istrinya tidak lagi melanjutkan ucapannya. "Kau sudah makan?"
Nada menggeleng. "Aku menunggumu."
Banu menutup pintu. Kemudian ia menoleh ke arah Nada yang masih terduduk di sudut dengan wajah pucat pasi.
"Kau tidak perlu takut lagi, Mbak, "ujarnya sambil memeluk pundak kakaknya. "Dia tidak akan mengganggumu lagi. Maafkan aku, seharusnya aku bisa datang lebih cepat, tapi, aku jadi ketua panitia, jadi tak mungkin meninggalkan tempat sebelum acara selesai."
"Tidak apa-apa, aku mengerti."
"Kenapa dia kembali lagi?"
"Dia ingin menghancurkan kami, aku dan Tantra...."
Banu sangat geram. "Benar-benar berhati iblis. Ditariknya tangan kakaknya supaya berdiri. "Kau tidak apa-apa, kan? Ada yang luka?"
"Sedikit, "Nada menunjuk pergelangan kanannya yang memar karena cengkeraman Danar.
Banu menuntun kakaknya ke kamar. "Sebaiknya kau istirahat, "ujarnya sambil tak habis pikir bahwa ada manusia sekeji Danar.
Satu jam terlalu lama untuk mandi, apalagi sekadar cuci muka. Tadi sebelum Meyra meraih tangan Tantra, laki-laki itu mendadak minta izin muka di kamar mandi karena wastafel tidak ada di ruangan itu.
Meyra mengira Tantra berubah pikiran dan ingin mandi supaya lebih segar, maka ia menunggu dengan sabar. Sementara itu ia pun bersiap-siap dengan penampilan yang lebih mengundang minat.
Tetapi satu jam telah berlalu. Kamar mandi itu belum juga terbuka. Meyra yang sudah menyiapkan diri sedemikian rupa mendadak merasa gerah. Ia pun memberanikan diri menggedor pintu.
"Sudah belum, Mas? Kok lama sekali?!"
Tidak ada jawaban. Yang ada suara air dari kran yang masuk ke dalam bak.
Meyra terkejut. Mendadak kakinya basah. Baru ia sadari bahwa air dari bak telah meluber.
Lewat tengah malam. Banu tercengang mendengar cerita yang dituturkan Tantra. Jadi semua telah dirancang manusia berhati iblis itu!
"Jadi, dia juga menggunakan perempuan untuk menjebakmu?"
"Ya."
"Cantik?"
"Sangat."
Banu memicingkan mata. "Jadi, maksudmu, kau juga tertarik?"
"Aku tahu yang namanya cantik atau tidak."
"Oh, Tantra, jangan katakan kalau kau sudah...."
Tantra mengibaskan tangannya. "Jujur...hampir saja aku percaya ocehan perempuan itu. Ia menunjukkan foto kakakmu dan mantan tunangannya berpose di kolam renang. Tahu kan, baju renang model bikini."
"Berpose seperti apa?"
"Macam-macam. Ada yang pose mereka berciuman."
"Dan kamu percaya? Tantra, Mbak Nada tidak seperti itu. Dia sangat pemalu dan begitu menjaga kehormatannya."
"Ya, "Tantra mengangguk. Aku hampir saja mengiyakan ajakan perempuan itu. Tapi...syukurlah pikiranku masih waras. Waktu itu aku sempat berpikir bagaimanapun Nada, akulah yang memutuskan menjadi pendamping hidupku dan seharusnnya aku menjadi yang terbaik baginya."
Banu tersenyum. "Mbak Nada adalah kakak yang sangat baik. Bagiku ia kakak terbaik di dunia. Ia telah melakukan segalanya untukku. Waktu kami masih kecil, ia sering melindungiku. Tak pernah ia menolak setiap aku minta tolong, dibuatkan kue, dibelikan mainan, walaupun dia sedang lelah, banyak tugas, PR, atau hujan deras sekalipun."
Tantra terdiam.
"Jadi, "Banu menatap kakak iparnya lekat-lekat. "Aku tak rela siapapun menyakitinya."
Tantra tersenyum. "Aku juga tidak, "tukasnya sambil beranjak. "Aku ingin tahu keadaannya."
"Dia tidur."
"Hatiku lebih tenang kalau sudah melihatnya."
Banu tak berkata-kata lagi.
Nada berbaring dengan mata terbelalak. Ia tersentak saat mendengar pintu dibuka.
"Tantra?"
Tantra tersenyum sambil menutup pintu.
"Kau belum tidur, Mbak?"
"Aku masih takut."
"Jangan takut, sudah aman."
"Tapi...dia bisa datang lagi."
"Akan kupastikan dia tidak berani berbuat hal yang sama kepada kita."
"Mudah-mudahan, "bisik Nada sambil meletakkan tangannya di atas perut. "Tapi...aku berharap anak kita baik-baik saja."
"Besok pagi kita periksakan kandunganmu ke dokter."
"Mas...."
"Ya?"
"Kalau tidak ada Banu dan orang-orang itu mungkin aku sudah...."
Tantra menggeleng dan memberi tanda supaya istrinya tidak lagi melanjutkan ucapannya. "Kau sudah makan?"
Nada menggeleng. "Aku menunggumu."
Rabu, 09 Maret 2011
Tangga Menuju Surgawi
Tuhan, kalau ini bukan mimpi
semoga ini tangga menuju istana surgawi
Hanya semarak jingga kulihat di sana sini
beserta indahnya percikan api
Tadinya aku ingin berteriak ngeri
tapi kupikir lebih baik aku berdiam diri
Kuputuskan aku tak lagi berlari-lari
saat gelegar dan percikan menghantam silih berganti
Tuhan telah mengirimkan roket pribadi
menjemputku terbang ke langit firdausi
semoga ini tangga menuju istana surgawi
Hanya semarak jingga kulihat di sana sini
beserta indahnya percikan api
Tadinya aku ingin berteriak ngeri
tapi kupikir lebih baik aku berdiam diri
Kuputuskan aku tak lagi berlari-lari
saat gelegar dan percikan menghantam silih berganti
Tuhan telah mengirimkan roket pribadi
menjemputku terbang ke langit firdausi
Di Arung Jeram Cinta
Ingat kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha? Mungkin peristiwa yang dialami Tantra hampir mirip dengan kisah yang sangat terkenal dari masa ke masa itu. Meskipun, ujian yang didapat Nabi Yusuf jauh lebih berat.
Nabi Yusuf dengan ketampanannya yang luar biasa, tentu dengan mudah akan menggaet berapa pun wanita sesuka hatinya. Tetapi, dia tidak pernah melakukannya, bahkan memilih penjara daripada harus berbuat maksiat.
Melihat Tantra hendak membuka pintu, Meyra buru-buru mendekat.
"Kalau kamu berani membuka pintu, aku akan berteriak, "gadis itu mulai mengancam. Kemudian ia memutar bola matanya sambil tersenyum licik, "Orang-orang akan berdatangan dan bertanya apa yang terjadi? Dan aku akan menjawab kalau kamu mencoba mengambilku kehormatanku dengan paksa, bagaimana?"
Tantra menatap gadis di hadapannya dengan geram.
"Pastinya kamu tahu dalam soal seperti ini, umumnya wanita lebih dipercaya. Bagaimana, Mas Tantra?"
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia berdiri terpaku. Dalam bayangannya terlintas wajah orang-orang yang ia sayangi. Kalau ia menuruti kemauan gadis ini, berarti ia akan menyakiti mereka. Tetapi, kalau...."
"Sebenarnya sudah lama aku jatuh hati kepadamu...."
Tantra mengerutkan kening. "Kau gila, aku sudah menikah."
"Itulah cinta, memang gila. Tapi, aku masih cukup waras untuk tidak menghancurkan rumah tangga orang lain."
"Apa maksudmu?"
"Silakan buka pintu...."
"Terima kasih...."
"Tunggu, aku belum selesai bicara. Silakan buka pintu...setelah kita ber..., "gadis itu memberikan kode yang membuat Tantra terbelalak.
"Kalau aku tidak mau?"
"Kalau kamu menolak? Ah, lebih baik jangan, karena kalau kamu tahu yang sudah dilakukan istri tercintamu selama suaminya tidak ada di rumah, kamu akan menyesal karena telah menolakku."
"Maksudmu?"
Sambil tersenyum misterius, gadis itu melangkah menuju lap top yang masih menyala. Meskipun bingung, Tantra hanya mengikuti.
Banu baru dapat memenuhi janjinya kepada Tantra untuk menemani Nada, pukul sepuluh malam. Maklumlah, ia harus menghadiri reuni SMP dan acara itu baru berakhir sekitar jam sembilan lebih.
Pemuda itu mengerutkan kening melihat motor asing yang diparkir di halaman. Perasaannya mendadak cemas.
"Sulit sekali menundukkan suamimu, "ujar Danar melangkah maju mendekat ke arah Nada yang terus mundur ketakutan. "Aku sampai sempat bertanya-tanya dia itu laki-laki asli atau imitasi? Bayangkan, Meyra yang begitu cantik dan seksi tidak sanggup membuatnya berkedip."
Nada menoleh ke belakang dengan cemas. Beberapa langkah lagi, dinding ruang tengah akan menghalangi maksudnya melepaskan diri dari makhluk buas dan mengerikan ini.
"Tapi, aku memang pandai, "Danar masih mengoceh. "Aku sudah merekayasa semua foto-foto saat kita masih bertunangan dan kalau ditambah yang satu ini...hm...aku jamin ia tidak akan sudi jadi suami idaman lagi...."
Nada menjerit.
Tiba-tiba... braak!!!
Meyra tersenyum puas melihat perubahan raut muka Tantra yang tampak sedih, kecewa, dan juga marah setelah menyaksikan foto-foto di email yang dibuka gadis itu. Sedikitpun ia tak menyangka bahwa Nada mampu melakukan semua itu.
"Jadi bagaimana? Masih menganggap istrimu juga setia?"
Tantra menarik napas panjang.
"Jangan takut, di sini cukup aman. Aku bisa memastikan tidak akan ada yang mengganggu kita."
Tantra menatap Meyra yang berdiri di hadapannya. Ia tidak pernah menampik kenyataan bahwa Meyra gadis yang sangat cantik. Apalagi kalau dibandingkan Nada, istrinya yang lebih cocok menjadi kakaknya. Hm....
"Bagaimana?"
Tantra mengangguk perlahan. "Baiklah...."
Nabi Yusuf dengan ketampanannya yang luar biasa, tentu dengan mudah akan menggaet berapa pun wanita sesuka hatinya. Tetapi, dia tidak pernah melakukannya, bahkan memilih penjara daripada harus berbuat maksiat.
Melihat Tantra hendak membuka pintu, Meyra buru-buru mendekat.
"Kalau kamu berani membuka pintu, aku akan berteriak, "gadis itu mulai mengancam. Kemudian ia memutar bola matanya sambil tersenyum licik, "Orang-orang akan berdatangan dan bertanya apa yang terjadi? Dan aku akan menjawab kalau kamu mencoba mengambilku kehormatanku dengan paksa, bagaimana?"
Tantra menatap gadis di hadapannya dengan geram.
"Pastinya kamu tahu dalam soal seperti ini, umumnya wanita lebih dipercaya. Bagaimana, Mas Tantra?"
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia berdiri terpaku. Dalam bayangannya terlintas wajah orang-orang yang ia sayangi. Kalau ia menuruti kemauan gadis ini, berarti ia akan menyakiti mereka. Tetapi, kalau...."
"Sebenarnya sudah lama aku jatuh hati kepadamu...."
Tantra mengerutkan kening. "Kau gila, aku sudah menikah."
"Itulah cinta, memang gila. Tapi, aku masih cukup waras untuk tidak menghancurkan rumah tangga orang lain."
"Apa maksudmu?"
"Silakan buka pintu...."
"Terima kasih...."
"Tunggu, aku belum selesai bicara. Silakan buka pintu...setelah kita ber..., "gadis itu memberikan kode yang membuat Tantra terbelalak.
"Kalau aku tidak mau?"
"Kalau kamu menolak? Ah, lebih baik jangan, karena kalau kamu tahu yang sudah dilakukan istri tercintamu selama suaminya tidak ada di rumah, kamu akan menyesal karena telah menolakku."
"Maksudmu?"
Sambil tersenyum misterius, gadis itu melangkah menuju lap top yang masih menyala. Meskipun bingung, Tantra hanya mengikuti.
Banu baru dapat memenuhi janjinya kepada Tantra untuk menemani Nada, pukul sepuluh malam. Maklumlah, ia harus menghadiri reuni SMP dan acara itu baru berakhir sekitar jam sembilan lebih.
Pemuda itu mengerutkan kening melihat motor asing yang diparkir di halaman. Perasaannya mendadak cemas.
"Sulit sekali menundukkan suamimu, "ujar Danar melangkah maju mendekat ke arah Nada yang terus mundur ketakutan. "Aku sampai sempat bertanya-tanya dia itu laki-laki asli atau imitasi? Bayangkan, Meyra yang begitu cantik dan seksi tidak sanggup membuatnya berkedip."
Nada menoleh ke belakang dengan cemas. Beberapa langkah lagi, dinding ruang tengah akan menghalangi maksudnya melepaskan diri dari makhluk buas dan mengerikan ini.
"Tapi, aku memang pandai, "Danar masih mengoceh. "Aku sudah merekayasa semua foto-foto saat kita masih bertunangan dan kalau ditambah yang satu ini...hm...aku jamin ia tidak akan sudi jadi suami idaman lagi...."
Nada menjerit.
Tiba-tiba... braak!!!
Meyra tersenyum puas melihat perubahan raut muka Tantra yang tampak sedih, kecewa, dan juga marah setelah menyaksikan foto-foto di email yang dibuka gadis itu. Sedikitpun ia tak menyangka bahwa Nada mampu melakukan semua itu.
"Jadi bagaimana? Masih menganggap istrimu juga setia?"
Tantra menarik napas panjang.
"Jangan takut, di sini cukup aman. Aku bisa memastikan tidak akan ada yang mengganggu kita."
Tantra menatap Meyra yang berdiri di hadapannya. Ia tidak pernah menampik kenyataan bahwa Meyra gadis yang sangat cantik. Apalagi kalau dibandingkan Nada, istrinya yang lebih cocok menjadi kakaknya. Hm....
"Bagaimana?"
Tantra mengangguk perlahan. "Baiklah...."
Senin, 07 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta
Gadis manis berkulit kuning langsat itu meletakkan nampan dengan secangkir kopi panas dan beberapa potong pastel dan donat tabur gula putih di atas meja. Sambil melontarkan senyum manis, ia menoleh ke arah Tantra yang tampaknya tak terganggu sedikit pun dengan kehadirannya.
"Silakan."
"Ya, terima kasih."
Gadis itu kecewa karena Tantra hanya menoleh sebentar. Tetapi, ia belum putus asa dan duduk di kursi yang berada di samping Tantra.
"Harus selesai jam berapa, Pak?"
"Secepatnya, "sahut Tantra sambil membuka file.
"Jadinya menginap di kantor, ya? Istri Pak Tantra pasti kesepian."
Tantra merasa tak perlu menjawab, jadi dia diam saja.
"Oh ya, bagaimana kalau saya panggil Mas saja? Rasanya usia kita tidak terpaut terlalu jauh."
"Silakan."
Suasana kembali hening. Tantra mulai sibuk dengan tugasnya. Gadis yang duduk di sampingnya pun menahan napas kesal. Ingin rasanya ia beranjak meninggalkan laki-laki angkuh ini. Tetapi, tidak, jangan cepat menyerah, sebab kakaknya telah menjanjikan sesuatu yang menggiurkan.
"Saya pernah lihat istri Mas."
"Oh ya?"
"Iya, apa Mas bahagia punya istri dia?"
"Tentu saja."
Meyra, gadis itu merasa mendapat harapan. Meskipun tak acuh, Tantra masih mau menjawab pertanyaannya. Meskipun, meskipun lagi, hanya sepatah dua patah kata. Menurut Herman, sang Kakak, ini berarti lampu hijau. "Kau harus lebih berani, "begitu pesannya.
"Apa sih enaknya menikah muda?"
Tantra tersentak, ia pun bergegas berdiri. Bukan pertanyaan Meyra yang mengejutkannya, tetapi karena tangan gadis itu tiba-tiba saja sudah hinggap di pundaknya.
Malam menggelapkan angkasa. Taburan jutaan bintang belum mampu mencerahkan langit yang kelam.
Saat hendak menutup pintu, betapa terkejutnya Nada melihat Danar duduk dengan santai di ruang tengah.
"Hai, apa kabar?"sapanya sambil menyeringai. Kedua kakinya ditumpangkan di atas meja dan kepulan asap keluar dari bulatan mulutnya.
Pucat pasi seketika wajah Nada.
"Silakan."
"Ya, terima kasih."
Gadis itu kecewa karena Tantra hanya menoleh sebentar. Tetapi, ia belum putus asa dan duduk di kursi yang berada di samping Tantra.
"Harus selesai jam berapa, Pak?"
"Secepatnya, "sahut Tantra sambil membuka file.
"Jadinya menginap di kantor, ya? Istri Pak Tantra pasti kesepian."
Tantra merasa tak perlu menjawab, jadi dia diam saja.
"Oh ya, bagaimana kalau saya panggil Mas saja? Rasanya usia kita tidak terpaut terlalu jauh."
"Silakan."
Suasana kembali hening. Tantra mulai sibuk dengan tugasnya. Gadis yang duduk di sampingnya pun menahan napas kesal. Ingin rasanya ia beranjak meninggalkan laki-laki angkuh ini. Tetapi, tidak, jangan cepat menyerah, sebab kakaknya telah menjanjikan sesuatu yang menggiurkan.
"Saya pernah lihat istri Mas."
"Oh ya?"
"Iya, apa Mas bahagia punya istri dia?"
"Tentu saja."
Meyra, gadis itu merasa mendapat harapan. Meskipun tak acuh, Tantra masih mau menjawab pertanyaannya. Meskipun, meskipun lagi, hanya sepatah dua patah kata. Menurut Herman, sang Kakak, ini berarti lampu hijau. "Kau harus lebih berani, "begitu pesannya.
"Apa sih enaknya menikah muda?"
Tantra tersentak, ia pun bergegas berdiri. Bukan pertanyaan Meyra yang mengejutkannya, tetapi karena tangan gadis itu tiba-tiba saja sudah hinggap di pundaknya.
Malam menggelapkan angkasa. Taburan jutaan bintang belum mampu mencerahkan langit yang kelam.
Saat hendak menutup pintu, betapa terkejutnya Nada melihat Danar duduk dengan santai di ruang tengah.
"Hai, apa kabar?"sapanya sambil menyeringai. Kedua kakinya ditumpangkan di atas meja dan kepulan asap keluar dari bulatan mulutnya.
Pucat pasi seketika wajah Nada.
Jumat, 04 Maret 2011
Di Arung Jeram Cinta (Bab VII)
Serasa tak percaya Herman memperhatikan gadis berbusana muslim dengan jilbab biru laut itu. Ia sudah mengetahui bahwa Tantra salah satu orang kepercayaannya mempunyai seorang adik perempuan, tetapi sungguh jauh dari yang ia bayangkan. Selama ini ia mengira adik Tantra seorang gadis cantik jelita, berkulit putih, dan lemah lembut. Jadi, wajar saja, kalau atasan Tantra itu terheran-heran.
"Asalamualaikum, "sapa Rafa tanpa ragu saat melihat seseorang duduk di ruang tamu.
"Waalaikumussalam, "jawab Herman seraya beranjak dari duduknya. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa saya bertemu dengan Pak Tantra?"
"Maaf, Adik siapa?"
"Saya, adiknya."
"Adiknya?"Herman mengerutkan kening. "Tapi...."
"Apa maksud Bapak dengan 'tapi'? Bapak tidak percaya kalau saya adik kandung Pak Tantra?"
Herman semakin tercengang. "Bukan begitu, Dik. Soalnya sering orang mengaku-aku saudaranya Pak A atau Bu B."
"Nah, kalau begitu kenapa tidak Bapak panggil saja Pak Tantra? Nanti kan tahu, saya bohong atau tidak."
Jujur, tak sanggup lagi Herman berkata-kata. Ia jadi teringat Meyra, adiknya. Gadis di hadapannya jelas memiliki sifat bertolak belakang dengan Meyra. Adiknya itu terlalu lembut dan sangat rendah diri. Tidak seperti gadis yang satu ini. Tegas, penuh keyakinan.
Herman tersenyum memandang gadis sebaya adiknya itu. "Baik, akan saya panggilkan Pak Tantra, "ujarnya sambil menekan sebuah tombol di meja resepsionis.
Hari ini Danar sengaja tidak masuk kerja. Ada rencana lain yang menurutnya jauh lebih penting. Bukan, bukan mencari istrinya yang mendadak raib ditelan bumi, melainkan..., laki-laki itu tersenyum sendiri.
Bersama Herman, ia telah mengatur semuanya dengan baik. Dengan kekuasaannya, ia menjadikan teman semasa remaja itu sebagai kerbau yang dicocok hidungnya. Herman pun menugaskan supaya Tantra pulang larut malam alias lembur.
Nada menutup ponsel dengan kecewa. Suaminya baru saja telepon bahwa hari ini akan pulang terlambat. Padahal, tidak enak rasanya makan sendiri. Ia sempat protes karena sudah menyiapkan makan malam lebih awal.
"Jadi, Mas pulang jam berapa?"
"Tergantung, kalau sudah selesai, insyaAllah, aku langsung pulang."
"Kira-kira jam berapa?"
Suasana hening. Tampaknya suaminya sedang berpikir.
"Jam berapa, Mas?"
"InsyaAllah, di atas jam sembilan."
"Aapaa?"
"Mbak...."
"Iya... tapi, benar, ya, langsung pulang."
"Ya, doakan sukses."
"Iya, amin, amin."
"Mbak...."
"Hm?"
"Aku sayang kamu."
Nada dapat merasakan semburat merah bersemu di pipinya. "Aku juga, "sahutnya lembut.
Danar tidak sabar lagi untuk melaksanakan rencananya. Sudah lama dendam ini berkobar seakan-akan menghanguskan jiwa dan seluruh tubuhnya. Sambil menyulut sebatang kretek, ia pun menyambar kunci kontak sedan dari meja makan.
"Asalamualaikum, "sapa Rafa tanpa ragu saat melihat seseorang duduk di ruang tamu.
"Waalaikumussalam, "jawab Herman seraya beranjak dari duduknya. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa saya bertemu dengan Pak Tantra?"
"Maaf, Adik siapa?"
"Saya, adiknya."
"Adiknya?"Herman mengerutkan kening. "Tapi...."
"Apa maksud Bapak dengan 'tapi'? Bapak tidak percaya kalau saya adik kandung Pak Tantra?"
Herman semakin tercengang. "Bukan begitu, Dik. Soalnya sering orang mengaku-aku saudaranya Pak A atau Bu B."
"Nah, kalau begitu kenapa tidak Bapak panggil saja Pak Tantra? Nanti kan tahu, saya bohong atau tidak."
Jujur, tak sanggup lagi Herman berkata-kata. Ia jadi teringat Meyra, adiknya. Gadis di hadapannya jelas memiliki sifat bertolak belakang dengan Meyra. Adiknya itu terlalu lembut dan sangat rendah diri. Tidak seperti gadis yang satu ini. Tegas, penuh keyakinan.
Herman tersenyum memandang gadis sebaya adiknya itu. "Baik, akan saya panggilkan Pak Tantra, "ujarnya sambil menekan sebuah tombol di meja resepsionis.
Hari ini Danar sengaja tidak masuk kerja. Ada rencana lain yang menurutnya jauh lebih penting. Bukan, bukan mencari istrinya yang mendadak raib ditelan bumi, melainkan..., laki-laki itu tersenyum sendiri.
Bersama Herman, ia telah mengatur semuanya dengan baik. Dengan kekuasaannya, ia menjadikan teman semasa remaja itu sebagai kerbau yang dicocok hidungnya. Herman pun menugaskan supaya Tantra pulang larut malam alias lembur.
Nada menutup ponsel dengan kecewa. Suaminya baru saja telepon bahwa hari ini akan pulang terlambat. Padahal, tidak enak rasanya makan sendiri. Ia sempat protes karena sudah menyiapkan makan malam lebih awal.
"Jadi, Mas pulang jam berapa?"
"Tergantung, kalau sudah selesai, insyaAllah, aku langsung pulang."
"Kira-kira jam berapa?"
Suasana hening. Tampaknya suaminya sedang berpikir.
"Jam berapa, Mas?"
"InsyaAllah, di atas jam sembilan."
"Aapaa?"
"Mbak...."
"Iya... tapi, benar, ya, langsung pulang."
"Ya, doakan sukses."
"Iya, amin, amin."
"Mbak...."
"Hm?"
"Aku sayang kamu."
Nada dapat merasakan semburat merah bersemu di pipinya. "Aku juga, "sahutnya lembut.
Danar tidak sabar lagi untuk melaksanakan rencananya. Sudah lama dendam ini berkobar seakan-akan menghanguskan jiwa dan seluruh tubuhnya. Sambil menyulut sebatang kretek, ia pun menyambar kunci kontak sedan dari meja makan.
Langganan:
Postingan (Atom)