Kamis, 30 Desember 2010

Di Arung Jeram Cinta (Bab IV)

Siang yang terik. Tidak mengherankan, kalau gadis berseragam SMA dengan model busana muslim itu mengeluh tiada hentinya. Ia menyalahkan motor kakaknya yang sampai detik itu belum keluar dari bengkel.
"Kapan motor Mas bisa dipakai?"tanya gadis itu sambil mengipas-ngipas dengan gulungan koran di tangannya.
"Sudah bisa."
"Hah?"Gadis remaja itu menoleh ke arah kakaknya. "Kok Mas tidak naik motor saja? Jadinya kita tidak kepanasan begini, mana ke terminal harus jalan kaki."
"Hitung-hitung olahraga, "sahut sang Kakak dengan santainya. "Kan sehat."
"Ah, yang benar saja, "sungut adiknya. "Panas-panas begini."
Sang Kakak yang juga berseragam SMA tersenyum geli melihat wajah adiknya yang masam itu. "Sabar, nanti kalau Mas sudah sembuh total, pasti boleh naik motor lagi."
"Iya, Mas, "si Adik tersenyum. Mendadak gadis itu menggamit lengan kakaknya. "Eh, Mas, ada apa ya? Kenapa orang itu? Kasar sekali dia, beraninya sama perempuan, aku harus ke sana!"
"Hati-hati, Dik!"seru si Kakak yang tidak sempat dijawab, karena adiknya sudah melesat meninggalkannya.

Buk! Tiba-tiba Danar merasa punggungnya terhantam batu karang yang sangat besar. Sambil meringis menahan sakit, ia menoleh.
Seorang gadis remaja sudah berdiri tegak di hadapannya. Jilbab putih yang menutupi rambutnya membuatnya begitu perkasa namun anggun.
"Dik Rafa?" Nada tampak lega.
"Mbak minggir saja, "sahut Rafa. "Akan kuurus pengecut yang satu ini."
Tetapi terlambat, Danar sudah lebih dulu berhasil menangkap tangan Nada. "Coba saja kalau bisa. Aku tidak akan menjamin keselamatan Mbak yang hitam manis ini."
Rafa tenang-tenang saja, ia bahkan tersenyum sinis.
"Dan aku akan mematahkan tanganmu." Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja Danar merasakan kedua tangannya sudah berpindah ke belakang dan ia berteriak kesakitan.
"Keparat!Siapa kau?!" maki pemuda itu sambil berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya setelah didorong sampai terhuyung-huyung. Dengan sangat penasaran, ia menoleh.
"Oh, ternyata cuma anak SMA, "Danar tersenyum meremehkan.
"Mas, kalau cuma bencong, buat aku saja!"seru gadis berseragam SMA membuat telinga Danar semakin mendidih.
"Ambil!"sahut kakak sambil menoleh ke arah Nada yang sudah bebas. "Kau tidak apa-apa, Mbak?"
"Tidak, terima kasih, Dik, "Nada berusaha tersenyum. "Aduh, tadi aku takut sekali."
"Tenanglah, kau selamat."
"Bantu adikmu, "Nada tampak ngeri menyaksikan pertandingan antara dua ukuran yang bertolak belakang dan spesies yang berbeda.
"Tenang saja, adikku bisa mengatasinya."
"Tapi..., "tiba-tiba Nada menutup mulut dengan kedua tangannya.

Sabtu, 25 Desember 2010

Kawan Maya Pelangi

Sebenarnya sudah lama aku ingin menulis tentang yang satu ini, tetapi baru kali ini dapat menemukan saat yang tepat untuk menguraikannya.
Aku mengenal sosok ini hanya lewat dunia maya. Ada beberapa hal yang membuat kami tertarik untuk berdiskusi atau bertukar pengalaman, (walaupun berbeda bangsa dan usia yang jauh terentang), salah satunya:kami lulusan dari universitas yang sama. Tentu saja waktu beliau lulus, aku masih bau kencur.
Beliau adalah Dr. Rahmat Haroun Hashim, seorang dokter sekaligus sastrawan terkenal dari negeri jiran. Seorang yang paling rajin mengunjungi blogku dan mengomentari karya-karyaku.
Suatu hari Dr. Rahmat menyatakan niat untuk mengirimkan novel karyanya kepadaku. Wah, sungguh aku tiada percaya mendapatkan akan kiriman novel langsung dari penulisnya sendiri. Aku bukanlah penyair, novelis, apalagi sastrawan terkenal. Betapa girang bukan kepalang hatiku.
Begitu novel itu tiba di tanganku, aku langsung membacanya, walaupun waktu mataku belum sembuh benar. Aku nekat saja sambil menahan pedih karena dikalahkan oleh rasa penasaran.
Novel PANGGIL AKU MELAJU karya Dr. Rahmat Haroun Hashim ini mengingatkan kita agar tetap mencintai bahasa bangsa sendiri. Boleh saja kita ahli berbilang-bilang bahasa, tetapi tetaplah kita bangga dengan bahasa sendiri, bukan sebaliknya malah malu alias tidak percaya diri.
Aku telah belajar banyak dari komentar maupun nasihat sastrawan yang satu ini.

Di Arung Jeram Cinta

Berbeda dengan istrinya, Tantra bukannya minder bin malu, ia malah tanpa ragu-ragu sedikit jua menggandeng Nada bahkan mendekap pinggang istrinya setiap kali mereka melewati ibu-ibu anggota IWAPI itu. Menurut pemuda itu, tidak sepantasnya malu sampai-sampai menyembunyikan kenyataan bahwa ia sudah menikah, dan Nada adalah istri pilihannya sendiri.
"Lepas, "bisik Nada kepada suaminya yang memeluk pundaknya, padahal beberapa meter lagi mereka akan melewati daerah IWAPI.
"Memang kenapa?"
"Malu, nanti dikira pacaran."
"Memang iya."
Nada terpaksa pasrah. Tidak mungkin ia berontak, bisa-bisa orang-orang menyangka ia dan suaminya sedang ribut-ribut. Nanti malah IWAPI dapat berita baru yang seru menurut mereka.
"Kok diam?"
Nada menghentikan langkah. "Kita lewat jalan lain saja, "ujarnya.
"Kenapa?" tiba-tiba Tantra tersenyum iseng. "Ah, pasti kamu cemburu ya, kalau ibu-ibu itu sampai melihatku?"
"Maunya, "Nada mencibir geli.
Tantra tersenyum. Ia melepaskan pelukannya.


Danar, laki-laki berambut ikal dan bertubuh kekar itu bukan saja menaruh dendam kepada Nada, tentu juga suaminya. Padahal peristiwa itu sudah berlalu lebih tiga tahun yang lalu, tetapi ia masih saja merasa sakit hati.
"Lepaskan!"desis Nada gusar.
Danar tetap menahan langkah gadis itu dengan menarik tas tangannya. "Tunggu, kita harus bicara!"
"Tidak ada yang harus dibicarakan lagi, "tegas Nada membalikkan tubuh sehingga mereka berhadap-hadapan. "Semua sudah selesai."
"Berani kau membantahku?"
"Tidak ada kewajiban untuk takut kepadamu. Dasar banci."
Mata Danar langsung menyipit. "Apa katamu? Coba ulangi."
"Dasar banci, jelas?" Nada malah menantang.
Sekarang mata Danar bukan lagi menyipit, tetapi menyorotkan nyala api. Ia tersenyum licik. "Aku bisa membuktikan kalau aku bukan banci, "ujarnya sambil mendekat.
Gugup Nada melangkah mundur. Ia tahu jalan yang dilaluinya begitu sepi, walaupun hari masih siang. Menyesal juga ia karena nekat melintasi jalan ini gara-gara ingin cepat sampai tujuan.

Sabtu, 18 Desember 2010

Di Arung Jeram Cinta

Jadi, ada gosip menyebar yang beredar dari ibu-ibu yang tergabung dalam organisasi IWAPI (Ikatan Wanita Penyebar Isu) di kompleks Tantra dan Nada berdiam. Kalau sekadar membicarakan keheranan karena suami lebih muda, Nada masih bisa bersikap tidak acuh, tetapi ibu-ibu bakat menggunjing itu mulai merambah daerah yang paling pribadi. Simak saja percakapan beberapa dari mereka saat Nada melintas pulang dari supermarket yang berada di seberang jalan.
"Heran lho, Jeng, kok yang laki-laki mau, ya?"
"Iya, cakep-cakep buta. Sayang, bagusnya juga sama anak saya."
"Setuju itu, Jeng. Tapi memang dasar buta, mana tahu perempuan yang dia pilih mukanya seperti apa."
"Sst, siapa tahu juga lampunya dimatikan sama suaminya."
"Ah, ada-ada Jeng ini!Dimatikan bagaimana?"
"Iya, nih, ada-ada saja. Nanti kan tambah gelap!"
"Ha ha ha!"
"Hi hi hi!"
"Ha ha hi hi!"

Semua itu semakin membuat Nada tidak pede dan akhirnya membatalkan rencananya pergi ke undangan pernikahan teman Tantra. Untunglah suaminya itu memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Apalagi setelah Nada mengetahui bahwa Danar, mantan tunangannya itu berada di balik semuanya.
Laki-laki itu sempat menghadang Nada di pintu gerbang rumah sakit. Dengan lagak memuakkan, ia menyapa wanita yang pernah nyaris menjadi pendamping hidupnya.
"Halo, apa kabar, Say?"ujarnya sambil melepas kacamata hitamnya. Heran, malam-malam pakai kacamata hitam, padahal kan gelap?
Nada membuang muka sembari mempercepat langkahnya. Ia berharap Tantra segera menjemput sehingga ia bisa segera terlepas dari cengkeraman makhluk yang teramat sangat menyebalkan sekali ini.
Tetapi langkah Danar lebih panjang. Dengan mudah ia berhasil menyusul wanita itu. "Bagaimana rasanya menikah dengan pemuda ingusan? Wah, pasti tetanggamu ramai membicarakan kalian. Bagi mereka itu pasti berita yang sangat menarik."
Nada menghentikan langkahnya. Ia menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan gusar. "Apa maksudmu membicarakan itu?"
Danar menyeringai licik. "Maksudku... ya, sekadar menyampaikan kabar unik itu kepada ibu-ibu yang suka berkumpul di bangku kompleksmu."
Merah padam seketika wajah Nada. Tanpa berkata-kata lagi, ia bergegas meninggalkan Danar yang tertawa mengejek.


Melihat suaminya diam saja sejak tadi, Nada khawatir juga. Selama ini Tantra begitu sabar dan penuh pengertian. Bukankah seharusnya ia juga dapat bersikap seperti itu.
"Mas, kamu marah?"
"Marah?"
"Selama ini aku sudah bersikap egois seenak perutku sendiri. Itu bukan sikap istri yang baik."
Tantra meraih tangan istrinya dan menggenggamnya. "Salah satu kesalahanmu adalah menganggap semua laki-laki seperti Danar."
"Aku tidak merasa seperti itu, "tukas Nada sambil melirik kedua tangannya.
"Secara tidak sadar."
Nada tertegun. "Mungkin juga, "gumamnya. Ditatapnya suaminya dengan perasaan penuh syukur. "Aku bersyukur kau bukan Danar, "ujarnya.
Tantra tersenyum penuh arti, "Aku memang bukan Danar dan juga tidak seperti dia, "tukasnya.

Minggu, 12 Desember 2010

Di Arung Jeram Cinta

Tia menatap putri sulungnya dengan wajah memelas. Begitu pula Arman, yang memasang tampang tidak kalah gelisah dengan istrinya. Sampai-sampai tak tahan Nada melihat kedua orang tuanya yang sebentar lagi pasti mengiba-iba supaya ia tidak memutuskan pertunangannya dengan Danar.
"Sudahlah, Nak, maafkan saja Danar, "ujar Tia melontarkan senyum lembutnya. "Mungkin dia cuma khilaf."
Hah? Nada melongo. Khilaf kok sampai dua belas kali? Khilaf apa ketagihan?
"Ibumu benar, Nada, "kali ini Arman menimpali. "Hitung-hitung latihan kalau nanti suamimu selingkuh, kamu sudah tahan banting..., "kata-kata pria empat puluh tujuh tahun itu terhenti demi melihat istrinya yang membelalak gusar ke arahnya.
"Eh, apa katamu, Pak? Ayo, ulangi!"
"Ah, Ibu, "Arman salah tingkah. "Bukan begitu maksud Bapak...."
"Bukan begitu apanya?"Tia melotot sewot. "Jadi Bapak senang ya kalau punya menantu hobi selingkuh?!"
Arman memandang anak gadisnya, minta pertolongan pertama pada kecelakaan! Gawat, gawat! Nada menggeleng. Arman pasrah menunggu nasib.
"Aaah, jangan-jangan Bapak sendiri yang suka selingkuh!" tiba-tiba saja Tia yang semula duduk manis di tempatnya kini telah berdiri di hadapan suaminya. Sambil bertolak pinggang.
"Lho, Bu, kok topiknya jadi ganti, sih?"Arman berusaha mengalihkan perhatian istrinya. "Kita tadi bicara soal apa?"
"Bapak juga yang mulai."
"Lho kok jadi Bapak yang disalahkan?"
Nada menghela napas panjang. "Sudahlah, Ibu, Bapak, "ujarnya. "Tidak usah ribut-ribut. Ini sudah jam delapan malam, nanti tetangga jadi terganggu. Pokoknya keputusan saya sudah mantap, bulat, dan tidak dapat diganggu gugat."
Tia cepat-cepat meraih tangan putrinya lembut. "Apa kamu tidak malu, Nak? Kalau kalian putus, apa kata tetangga nanti? Belum lagi mereka yang tukang gosip."
Nada balas menatap ibunya dalam-dalam. "Bu, "katanya lembut. "Jadi Ibu lebih memikirkan malu daripada kebahagiaan saya? Ibu lebih suka saya mendapat suami bekas piala bergilir daripada harus menanggung malu?"
Bukan hanya Tia yang tercengang mendengar uraian Nada, Arman juga. "Tunggu, "sela Arman. "Piala bergilir katamu? Apa maksudmu?"
Nada mengatur napas lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan ayahnya. "Selama ini saya sudah menghitung berapa kali Danar berkencan dengan banyak wanita lain di belakangku. Dikiranya aku ini bodoh, jadi gampang saja dibohongi."
"Mungkin cuma teman bisnis."
"Bapak masih saja membela dia?"dengan geram Nada mengeluarkan ponsel dari saku gaunnya. "Silakan Bapak lihat, "katanya setelah mengutak-atik ponselnya sejenak.
Dengan rasa penasaran Arman menerima ponsel yang disodorkan putrinya.


"Sejak itu aku trauma menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Aku takut luka hatiku yang belum sembuh benar kembali berdarah."
Tantra belum menyahut sepatah kata pun.
"Aku menganggap mereka cuma cari enaknya saja sampai...."
"Sampai?"Tantra tampak tak sabar.
"Sampai aku bertemu denganmu dan akhirnya menyadari bahwa aku juga menaruh perasaan yang sama sepertimu...."
Tantra tertegun. Ia tidak habis mengerti kalau memang Nada memiliki perasaan yang sama, bahkan bersedia menjadi istrinya, seharusnya guling pembatas di tengah-tengah ranjang itu bisa berpindah tempat.

Kamis, 09 Desember 2010

Di Arung Jeram Cinta

Si Kukuk berdentang sebelas kali. Meskipun demikian, Tantra dan Nada belum juga sanggup memejamlan mata. Sedikitpun mereka tak merasa mengantuk.
Tatapan Tantra menghunjam ke arah guling yang sengaja dipajang Nada di tengah-tengah ranjang. Jadi, kalau salah satu sudah membaringkan tubuh, yang lain dilarang colak-colek.
Nada mengetahui arah tatapan suaminya, tetapi ia berlagak tidak melihat. Sebenarnya Nada tidak enak, tetapi ia masih belum dapat menyembuhkan dirinya dari trauma masa lalu.
"Kau masih marah?"Tantra memecah keheningan.
Nada buru-buru menggeleng. "Aku yang harus minta maaf, "tukasnya sambil melempar senyum. "Aku sudah membuat rencana kita berantakan."
Tantra menatap istrinya lembut. "Sudahlah, kan bisa lain kali."
Nada balas memandang suaminya dengan wajah serius. "Boleh aku menyampaikan sesuatu?"
"Tentu saja, "Tantra heran dengan sikap istrinya yang tidak seperti biasanya.


Cakra meletakkan secangkir teh hangat yang baru diteguknya di meja ruang keluarga. Ia baru saja sampai dari rumah sakit tempatnya bekerja. Kedudukan dirinya sebagai kepala bagian bedah membuatnya mau tak mau mengorbankan sebagian waktunya untuk keluarga.
"Bagaimana kerja hari ini, Yah?Sukses?"
"Alhamdulillah, berkat doa Ibu."
"Alhamdulillah, "Afna duduk di samping suaminya. "Tadi sore Tantra datang."
"Oh ya? Dengan Nada?"
"Sendiri. Nada dapat giliran siang, jadi belum pulang."
"Tantra cerita apa saja?"
"Cuma cerita kalau istrinya marah."
Cakra tertawa.
"Kok Ayah tertawa?"
"Pasti anak itu tidur di ruang tamu."
"Ah,Ayah tahu dari mana?"
"Tentu saja Ayah tahu, "tukas Cakra mengulum senyum. "Tantra kan persis ibundanya. Ingat tidak, waktu Ayah marah gara-gara cemburu sama Ibu karena dapat kiriman kartu Idul Fitri dari teman SMA yang pernah naksir Ibu? Ibu langsung tidur di ruang tamu, Ayah ajak pindah, malah Ayah dilempar bantal."
Afna tersenyum geli mengingat kejadian belasan tahun yang lalu itu. "Eh, Ayah masih ingat, ya?"
Cakra tersenyum. "Justru itu yang membuat Ayah sayang sekali sama Ibu."
"Apanya? Karena dilempar bantal?"
Cakra menangkap tawa dalam sorot mata istrinya. Ia pun tertawa.

Selasa, 07 Desember 2010

Di Arung Jeram Cinta

Banu tercengang melihat kakaknya yang berdiri tepat di hadapannya. Tidak seperti biasanya, kali ini wajah Nada terlihat murung. Pemuda itu langsung menebak ada sesuatu yang telah terjadi dalam rumah tangga sang Kakak yang baru berjalan kurang dari setengah tahun itu.
"Lho, kok datang sendiri? Mana suami tercinta?"
"Ibu mana?"Nada malah balik bertanya sambil mengempaskan tubuhnya ke sofa ruang tengah.
"Mau curhat nih ceritanya?"
Nada menghela napas kesal.
Banu simpati melihat kemurungan di wajah kakaknya. "Ibu pergi ke rumah Bu RT."
Nada mendesah kecewa. "Lama?"
"Mungkin sebentar lagi pulang. Mbak mau kuambilkan minum?"
Nada mengangguk pelan. "Terima kasih, "katanya tersenyum.
Banu membalikkan tubuh menuju ruang makan.


Hamil? pikir Tantra. Rasanya tidak mungkin kecuali kalau mereka ikut program bayi tabung.
"Ada apa, Tantra? Kamu kelihatan heran kalau istrimu hamil?"
Tantra tersentak. "Tidak, Bu, "sahutnya cepat. "Aku hanya heran rasanya kemungkinan itu kecil sekali."
Afna terbelalak. "Kenapa?"tanyanya cemas.
"Nada sedang datang bulan."
"Oooh..., "Afna menghela napas lega. "Ibu kira...."
Tantra tersenyum hambar. Cepat-cepat diliriknya arloji di pergelangan kirinya. "Sudah hampir magrib, Bu, saya pulang dulu."
"Tidak salat magrib dulu?"
"Terima kasih, Mbak Nada pasti sudah menunggu, "tukas Tantra mencoba mengajukan alasan yang masuk akal sebelum ibunya bertanya macam-macam. Bisa gawat kalau Ibu sampai tahu bahwa sebenarnya kehidupan rumah tangganya hanya berlaku di atas kertas.





Rabu, 01 Desember 2010

Di Arung Jeram Cinta

Afna memandang putra sulungnya yang acak-acakan. Wanita empat puluhan itu menahan senyum. Pasti tidak mudah menjalani status suami baru apalagi dalam usia muda. Tetapi, Afna tidak mau mengusik anaknya, ia membiarkan Tantra melemaskan otot-ototnya lebih dulu.
"Ternyata perempuan itu aneh, Bu, "ujar Tantra setelah menelan beberapa teguk teh hangat dari cangkir yang disodorkan ibunya.
Afna menatap si Sulung dengan lembut. "Kok heran? Ibu dan adikmu kan juga perempuan?"
"Iya juga, tapi, mungkin karena saya sudah mengenal Ibu dan Rafa sejak kecil. Tidak seperti Nada, saya baru mengenalnya beberapa bulan."
"Jadi, anehnya seperti apa?"
Tantra tidak segera menjawab. Tatapannnya menerawang ke arah halaman. Langit beranjak senja. Semburat limbur mewarnai angkasa.Semua terlihat jelas dari teras rumah yang menjadi saksi pertumbuhan dirinya dari bayi sampai menjelang pernikahan.Hal itu membuat ingatannya melayang pada kejadian semalam.

"Mbak, kamu belum ganti baju?" tegur Tantra saat melihat istrinya malah sibuk di kamar melipat baju-baju yang baru diangkat dari jemuran.
"Tidak perlu, pergi saja sendiri, "sahut Nada ketus.
"Tapi kenapa?"Tantra kebingungan.
Nada melengos tak perduli.
Tantra menghela napas berusaha menahan emosinya. Mencoba sabar, ia masih berusaha mengorek keterangan dari istrinya.
Sia-sia. Karena Nada pura-pura tidak mendengar.
Tantra menyerah dan memilih tidur di ruang tamu.

Afna tertawa terpingkal-pingkal. Tantra menatap ibunya sambil tersenyum masam.
"Maaf, maaf, "ujar Afna sambil memegangi perutnya. "Ibu cuma membayangkan kamu tergolek di ruang tamu yang banyak nyamuknya itu."
"Begitulah, Bu, sampai sekarang aku tidak habis pikir kenapa Mbak Nada tiba-tiba marah. Rencana ke resepsi nikah teman jadi berantakan."
"Coba ingat-ingat, barangkali sebelumnya kamu tidak sengaja sudah membuatnya tersinggung."
Tantra mencoba mengingat-ingat. "Rasanya tidak ada, Bu."
Afna mengangguk-angguk. Tiba-tiba raut mukanya berubah ceria. "Tantra, jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa, Bu?"
"Istrimu sedang mengandung!"
"Hah?"Tantra tercengang.