Minggu, 30 Januari 2011

Di Arung Jeram Cinta

Lisa meletakkan secangkir kopi di meja ruang tengah dengan gemetar. Ia takut sekali kalau suaminya mengamuk lagi seperti kemarin dan menghajarnya mirip pencopet yang tertangkap basah di tengah pasar.
"Ini minumnya, Mas, "ujar perempuan berkulit kuning langsat itu.
Danar tidak berkata apa-apa. Ia memegang telinga cangkir dan mengamati yang ada di dalamnya. "Pagi ini aku sedang tidak mau kopi, "katanya sambil menuang kopi di dalam cangkir itu ke lantai dengan gerakan perlahan.
Lisa tidak berani menarik napas sedikitpun melihatnya. Ia masih berdiri di tempat semula.
Danar beranjak dari sofa. "Kamu ini memang tidak becus jadi istri, masa tidak tahu selera suami? Cepat, bersihkan lantai!"
Cepat-cepat Lisa membalikkan tubuh hendak mengambil kain pel di lantai dapur. Tetapi.... "Mau ke mana?"
"Ke ke dapur, a...ambil pel...."
"Tidak perlu! Pel saja dengan gaun pestamu!"
Lisa tersentak. Itu gaun pesta satu-satunya! Ia tidak punya lagi selain itu dan hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun! Ia memandang suaminya dengan tatapan memohon agar mau mengganti perintahnya.
"Masih berdiri di situ?"Danar bertanya dengan nada mengancam. "Antarkan jus leci ke kamar. Malam ini udara panas sekali. Aku tunggu lima menit."
"I..iya, Mas...."
Danar belum berbalik. Ia hampir terlupa harus mengancam istrinya, "Oh ya, kalau kau coba-coba membuatku marah lagi, aku akan menghajarmu lebih daripada yang selama ini, mengerti?!"
"Me...mengerti, Mas...."


Pagi telah tiba. Tantra telah berpakaian rapi dan siap berangkat ke kantor. Kali ini ia melakukan tugas istrinya menanak nasi, memasak lauk, dan menjerang air. Sementara Nada masih terbuai mimpi setelah semalaman menangis dan tidak mau dibujuk. Daripada ribut, Tantra memilih untuk menghindar dan tidur di karpet ruang tengah.
Tantra membuka pintu kamar. Nada masih meringkuk di bawah selimut hijau lumut. Perlahan pemuda itu menyibak tirai yang menutupi kaca jendela kamar.
Nada membuka mata sambil meletakkan tangannya di dahi untuk melindungi matanya dari sergapan sinar mentari.
Ia melompat duduk ketika melihat suaminya sudah berpakaian rapi dan lengkap. Pakaian kerja. "Aku siapkan sarapan, "ujarnya hendak meluncur dari ranjang.
"Mbak istirahat saja, "Tantra duduk di samping istrinya. "Aku sudah nanak nasi dan goreng tempe."
"Kenapa tidak bangunkan aku?" Nada merasa tidak enak. "Maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti itu kemarin. Tidak sepantasnya aku menuduhmu sembarangan."
Tantra menggeleng. "Tidak apa-apa, Mbak. Aku mengerti, aku pasti akan juga akan bersikap sepertimu kalau kau dapat miss called dari penggemar gelapmu."
Nada tersenyum malu. "Ah, siapa yang mau jadi penggemar gelapku? Justru aku yang beruntung bisa mendapatkan suami sepertimu."
"Kenapa beruntung?"
"Karena kau sangat baik... kau mau menerimaku apa adanya...."
"Kau juga begitu baik, "tukas Tantra tersenyum. "Apa yang sudah kau lakukan kepadaku, rasanya tidak bisa kubalas sampai kapanpun."
"Jadi...kau merasa berutang budi kepadaku?"
"Hm...sebenarnya perasaan cinta jauh lebih dominan, "sahut Tantra. "Dan aku jatuh hati kepadamu karena ketulusan hatimu...."
Nada menoleh, balas menatap suaminya. "Padahal kau bisa mendapatkan yang jauh lebih cantik."
"Bagiku kau yang tercantik, "tukas suaminya lagi.
"Orang-orang sering mengira kita kakak adik. Kau yang adik, sedangkan aku kakak."
"Oh ya? Aku...."Tantra tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba Nada melesat menuju kamar mandi.
Tantra mengikuti dengan khawatir. Tampak Nada bersandar lemas di dinding kamar mandi sambil membawa gayung berisi air.
"Mbak, kau sakit? Kita harus ke dokter."
Nada tidak bisa menjawab. Perutnya tidak mau diajak kompromi.
Melihat itu, Tantra ikut masuk dan menuntun istrinya kembali ke tempat tidur. "Biar aku yang membersihkan, "katanya ketika Nada menolak.
"Aku telepon dokter dulu."
"Mas...."
Tantra menoleh.
Nada merogoh saku gaunnya dan menyerahkan sepucuk amplop putih. "Bukalah."
Tantra menurut. Ia mengamati benda di tangannya dengan wajah penuh tanya. Benda ini memang masih asing baginya, maklumlah baru kali ini ia melihatnya.
"Itu tes pack."
"Tes pack?"Tantra mengerutkan kening. Lalu memandang istrinya tak percaya. "Maksudmu...kau hamil...?"
Nada mengangguk cepat. Ia tak dapat menyembunyikan perasaan bahagianya.
Tetapi Tantra masih tampak terheran-heran. "Tapi...."
Nada tercekat. "A...apa kau tidak percaya kalau bayi di rahimku ini anakmu?"
"Bukan, "tukas Tantra. "Aku hanya heran bagaimana yang dianggap adik, bisa menghamili yang dikira kakak?" kali ini dengan wajah menahan tawa.
"Dasar iseng, "gerutu Nada menahan geli.
Tantra melihat arloji di pergelangan kirinya. "Sebaiknya aku mengantarmu kerja siang nanti."
"Aku tidak apa-apa."
"Jangan membantah. Kau harus menunggu sampai aku datang, "Tantra beranjak dari duduknya. Ia berniat mengambilkan sarapan untuk istrinya dan membersihkan kamar mandi.

Tidak ada komentar: