Jumat, 14 Januari 2011

Di Arung Jeram Cinta

Herman menggeleng. "Maaf, aku tak bisa membantumu, "ujar pria tiga puluh tujuh tahun itu. "Itu urusan pribadimu, aku tidak mau kena getahnya, lagipula katamu tadi, masalahnya sudah lama terjadi,"
Danar mengangguk. "Memang benar, "sahutnya, "Tetapi, perempuan itu berutang banyak kepadaku. Kamu pkir aku akan melepaskannya begitu saja?"
Herman, direktur perusahaan ternama itu semakin terlihat serius. "He, Bung, dewasalah sedikit, kita bertemu di sini untuk membicarakan soal pekerjaan."
Mendengar teguran Herman, Danar mengangkat bahu. "Baiklah, "katanya. "Tapi, aku tetap ingin membahas masalah itu denganmu, nanti."
Herman menghela napas. Danar masih belum berubah sebab itu ia memutuskan untuk mengikuti saja lebih dulu kemauan sahabat semasa remajanya ini.
Seorang pelayan muda datang membawa daftar menu.
"Kau mau pesan apa?"tanya Danar. "Jangan khawatir, aku yang traktir."
Herman tersenyum. "Trims, "katanya. "Kebetulan Asri sudah menyiapkan makan malam, jadi kupikir aku pesan sup jagung dan jus sirsat saja."
"Hm, suami teladan, "gumam Danar tanpa bermaksud mengejek. Ia mengalihkan pandangan kepada pelayan pria yang siap mencatat pesanan.


Rafa sungguh terheran-heran melihat sepasang pengantin baru itu. Sepanjang pengetahuannya belum ada dalam sejarah keluarganya (catat, dari kakek buyut sampai generasi orang tuanya), pemuda naksir tante-tante. Pak dhe Anfa kakak ibunya sebaya dengan Bu dhe Rana, istrinya, tetapi tetap saja Pak dhe lebih tua beberapa bulan. Ayah malah lebih tua tiga tahun daripada Ibu. Tetapi, mengapa kakaknya semata wayang malah memilih wanita yang lebih pantas menjadi kakak atau bahkan mungkin bibinya untuk menjadi istrinya?
Ah, dunia ini memang aneh, pikir gadis itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Sudah, ah, marahnya, "bisik Nada kepada suaminya yang duduk di sampingnya. "Sudah lima jam."
Raut muka Tantra bak sprei baru diangkat dari jemuran. Kusut sekali. Ia baru saja mengalami kejadian yang membuatnya malu setengah hidup. Kejadian itu berlangsung sore tadi di rumah mertuanya, di sofa ruang tengah.
Listrik mendadak padam. Tantra yang tidak tahu bahwa Nada baru saja beranjak untuk mencuci muka dengan santainya meraih tangan yang terdekat dengannya. Tepat saat itu, listrik menyala. Dan alangkah terkejutnya Tantra melihat istrinya menjelma dua puluh tahun lebih tua.
"Ma maaf, saya kira..., "merah padam wajah Tantra. Dengan gugup, ia melepaskan tangannya.
"Istrimu ada di kamar mandi, cuci muka, "ujar Tia, ibu mertua dengan datar.

"Siapa yang matikan listrik?"Tantra masih saja kesal mengingat kejadian tadi.
"Maafkan, Banu, "jawab Nada sabar. "Dia lupa kalau sudah jam lima sore tidak boleh setrika, "Wanita berjilbab hijau muda itu menyodorkan secangkir teh hangat.
Tantra menerimanya. Masih dengan tampang kusut.

Tidak ada komentar: