Mimpi buruk. Itulah yang dirasakan Danar. Betapa mahal pelajaran yang harus dibayarnya akibat perbuatannya dulu. Yang paling menyakitkan adalah mengapa harus Lisa, istrinya yang menerima semua dampak dari kekejamannya pada masa lalu. Lisa, istrinya, wanita yang begitu lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Pantas, pantas saja, Lisa sering mendesaknya untuk menikah lagi. Ternyata selama ini istrinya itu tak pernah berhenti memikirkan kebahagiaan suaminya.
"Pasti kaumenyakitinya lagi, "tuduh Randy emosi saat Danar menghubunginya lewat ponsel.
"Bukan itu yang terjadi. Tolong, jangan salah sangka."
"Lalu apa? Kenapa adikku harus masuk rumah sakit lagi?"
"Sebenarnya...."
"Sebenarnya apa?"Randy tak sabar.
"Semua itu akibat perbuatanku dulu...."
"Kau...."
"Maafkan aku, Randy. Aku sungguh-sungguh menyesal. Aku...," Danar tersentak. Di ujung sana kakak ipar mematikan ponsel dengan kasar.
"Dari siapa?"
Randy meletakkan ponsel di atas meja. Laki-laki itu tersenyum. "Adik iparku, "jawabnya.
Seorang wanita berusia sebaya dengannya meletakkan dua gelas jus melon di dekat ponsel. "Mas ada masalah dengan adik ipar?"
"Lain kali saja kuceritakan, "sahut Randy meraih jus melonnya.
Wanita itu mengangguk. Berusaha maklum."Permisi, saya setrika baju dulu."
Randy mengangguk. Dihelanya napas, teringat pertemuan singkatnya dengan Nila, wanita yang baru seminggu resmi menjadi istrinya.
Danar memandangi istrinya yang sudah terlelap. Tampaknya wanita itu sudah menata perasaannya jauh-jauh hari menghadapi masalah seberat ini.
Sedangkan Danar, ia masih sering terbayang-bayang perbuatannya sendiri yang baru disadari akhir-akhir ini, bahwa ternyata ia bisa sekejam itu.
"Kamu ini bisanya apa?!"hardik Danar menampar Lisa. "Lihat ini warna sepatuku jadi aneh!"
"Maaf, Mas, saya tidak sengaja...."
"Sudah seribu kali, kamu tidak sengaja! Semua barangku jadi rusak! Dasar tidak berguna!"
Danar memejamkan mata, berusaha mengusir bayang-bayang itu. Teringat saat itu, tanpa belas kasihan sedikitpun, tangan dan kakinya menghajar tubuh Lisa. Bahkan, tanpa segan-segan, ia melakukannya di beranda rumah. Beberapa orang melihat, tetapi mereka memilih untuk tidak ikut campur urusan rumah tangga orang lain.
Sementara itu Lisa berusaha untuk tidak menangis. Entah berapa kali tangan kekar Danar hinggap telak di wajah dan bagian tubuh yang lain. Sesekali tendangan kuat terasa di punggung. Sampai....
"Hentikan!"
Karena terkejut, Danar berhenti. Ia menoleh.
Seorang gadis belia, jauh belia dibanding istrinya, berdiri dengan sorot mata menyala-yala.
Danar langsung mengenali gadis itu. Rafa.
Bergegas Rafa menolong Lisa berdiri. "Duduklah, Mbak, "ujarnya menuntun wanita yang lemah karena kesakitan itu di kursi beranda.
"Terima kasih, Dik, "ujar Lisa lirih.
"Aku antar Mbak ke dokter."
"Terima kasih. Nanti juga sembuh sendiri."
Rafa mengerti Lisa tak akan bisa dibujuk. Gadis itu pun menoleh ke arah Danar.
"Aku punya kakak laki-laki dan ia jago berkelahi, "katanya. Tapi, belum pernah sekalipun kudengar ia menampar, memukul, apalagi menghajar istrinya sepertinya yang kaulakukan sekarang. Kau ini benar-benar pemberani." Tanpa menunggu jawaban, gadis itu pun berlalu.
Danar begitu terkejut sehingga tak sanggup berkata-kata. Tetapi, amarahnya kembali memuncak saat melihat istrinya belum beranjak dari duduknya.
"Bagus, kau punya pembela rupanya! Tidurlah di teras dan jangan coba-coba masuk kalau tidak kusuruh!"
Minggu, 27 November 2011
Kamis, 17 November 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kalau saja tidak menyadari keadaan dirinya, mungkin Meyra sudah jatuh hati. Pemuda itu memang bertampang biasa saja tetapi keramahan dan sorot matanya yang berkilat jenaka sudah cukup membuat gadis-gadis terpesona. Termasuk Meyra.
"Kamu jatuh cinta, "begitu kata Dewi setelah mendengar penuturan putri bungsunya.
"Ya, Bunda..."
Dewi tersenyum, mengusap kepala gadis itu lembut. "Ternyata putriku ini tidak takut jatuh cinta, "sahutnya, "syukurlah, Bunda senang dan ikut bahagia."
"Bunda, aku bukannya tidak takut jatuh cinta, "tukas Meyra murung, "tapi...."
"Tapi apa, Nak?"
"Aku tidak bisa menghindari perasaan itu, "gadis itu tertunduk.
"Menurutmu, dia sendiri bagaimana? Maksud Bunda, apa kelihatannya dia juga punya perasaan yang sama denganmu?"
"Kelihatannya begitu...."
"Bagus itu."
"Ya, karena dia belum tahu tentang aku, Bunda. Kalau saja dia tahu, mana mungkin...."
Dewi memeluk pundak putrinya. Sebagai sesama kaum hawa, lebih-lebih lagi sebagai ibu, ia mampu merasakan betapa hancur perasaan Meyra. Kehilangan satu-satunya identitas penanda yang begitu berharga bagi makhluk berspesies perempuan sebelum waktunya. "Anakku sayang, percayalah Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang, suatu saat Bunda yakin kamu akan meraih kebahagiaan."
"Mungkinkah, Bunda? Laki-laki mana yang mau jadi suamiku? Bahkan, yang paling bejat sekalipun mungkin tidak akan sudi menerima gadis seperti aku...gadis tapi bukan gadis lagi... I was a girl...."
"Hentikan itu, Meyra, "getas terdengar ucapan Dewi sehingga Meyra tersentak. Ia mengangkat wajah menatap ibunya. "Berhentilah merendahkan dirimu, Nak, "suara Dewi melembut. "Percayalah, semua ada hikmahnya."
"Maafkan Meyra, Bunda...maafkan...."
Dewi berusaha agar air mata yang sudah merebak di kedua kelopak matanya tidak jatuh. Tanpa sepatahpun ia mengusap air mata yang berderai menganak sungai di pipi putrinya.
Pukul sembilan malam. Meyra tertidur di pangkuan ibunya. Dewi membiarkan anaknya, ia tak ingin mengusik gadis yang belum sembuh dari luka jiwanya itu.
"Bunda...."
Dewi menoleh. Ia memberi isyarat agar sosok yang menghampirinya di kamar itu tidak mengeluarkan suara yang mampu membangunkan Meyra.
Herman mengangguk. Ia tersenyum dan berbalik meninggalkan keduanya.
"Kamu jatuh cinta, "begitu kata Dewi setelah mendengar penuturan putri bungsunya.
"Ya, Bunda..."
Dewi tersenyum, mengusap kepala gadis itu lembut. "Ternyata putriku ini tidak takut jatuh cinta, "sahutnya, "syukurlah, Bunda senang dan ikut bahagia."
"Bunda, aku bukannya tidak takut jatuh cinta, "tukas Meyra murung, "tapi...."
"Tapi apa, Nak?"
"Aku tidak bisa menghindari perasaan itu, "gadis itu tertunduk.
"Menurutmu, dia sendiri bagaimana? Maksud Bunda, apa kelihatannya dia juga punya perasaan yang sama denganmu?"
"Kelihatannya begitu...."
"Bagus itu."
"Ya, karena dia belum tahu tentang aku, Bunda. Kalau saja dia tahu, mana mungkin...."
Dewi memeluk pundak putrinya. Sebagai sesama kaum hawa, lebih-lebih lagi sebagai ibu, ia mampu merasakan betapa hancur perasaan Meyra. Kehilangan satu-satunya identitas penanda yang begitu berharga bagi makhluk berspesies perempuan sebelum waktunya. "Anakku sayang, percayalah Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang, suatu saat Bunda yakin kamu akan meraih kebahagiaan."
"Mungkinkah, Bunda? Laki-laki mana yang mau jadi suamiku? Bahkan, yang paling bejat sekalipun mungkin tidak akan sudi menerima gadis seperti aku...gadis tapi bukan gadis lagi... I was a girl...."
"Hentikan itu, Meyra, "getas terdengar ucapan Dewi sehingga Meyra tersentak. Ia mengangkat wajah menatap ibunya. "Berhentilah merendahkan dirimu, Nak, "suara Dewi melembut. "Percayalah, semua ada hikmahnya."
"Maafkan Meyra, Bunda...maafkan...."
Dewi berusaha agar air mata yang sudah merebak di kedua kelopak matanya tidak jatuh. Tanpa sepatahpun ia mengusap air mata yang berderai menganak sungai di pipi putrinya.
Pukul sembilan malam. Meyra tertidur di pangkuan ibunya. Dewi membiarkan anaknya, ia tak ingin mengusik gadis yang belum sembuh dari luka jiwanya itu.
"Bunda...."
Dewi menoleh. Ia memberi isyarat agar sosok yang menghampirinya di kamar itu tidak mengeluarkan suara yang mampu membangunkan Meyra.
Herman mengangguk. Ia tersenyum dan berbalik meninggalkan keduanya.
Jumat, 11 November 2011
Di Arung Jeram Cinta
Tepat tengah malam. Tetapi, Nada masih terbelalak, berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Ia benar-benar terganggu dengan cerita-cerita yang disampaikan gadis yang mengaku mantan kekasih suaminya itu.
Pintu kamar terbuka. Tantra masuk. Nada hanya menoleh sejenak, tetapi kemudian kembali
tak mengacuhkan.
"Belum tidur, Mbak?"
"Hm."
"Tadi ada tamu?"
"Ada."
"Oh ya, siapa?"
"Mantanmu."
"Mantanku?"Tantra terperanjat.
Nada melengos. "Iya, yang katanya Mas sudah berkali-kali menginap di rumahnya."
"Itu katanya, kan?"
"Ya."
"Kamu percaya, Mbak?"
Cepat Nada mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. "Bagaimana aku tidak percaya? Gadis itu cantik sekali, kulitnya putih bersih, langsing, tapi seksi sekali. Laki-laki mana yang tidak akan tertarik? Sedangkan aku? Kamu bisa lihat sendiri, bagaimana? Bahkan, cinta pertamaku dulu kandas gara-gara wajahku yang biasa saja dan warna kulitku yang gelap. Dan...aku, aku juga tidak seksi. Jadi, aku tidak akan heran kalau kamu sudah melakukannya dengan gadis cantik itu jauh sebelum kita menikah...,"tiba-tiba Nada merendahkan suaranya, menyadari bahwa ia terlalu emosi.
Tantra menghela napas perlahan. Ia duduk di samping istrinya. "Mbak, berapa kali aku harus meyakinkanmu kalau aku tidak pernah pacaran atau berhubungan dengan siapapun sebelum kita menikah?"
"Kalau memang benar, aku juga tidak apa-apa, "Nada sudah mulai mampu menguasai perasaannya. "Aku sudah bersyukur kau tidak menanyakan kegadisanku waktu kita menikah dulu."
"Kenapa harus meributkannya? Aku tahu kamu benar-benar menjaga diri."
Nada menoleh, memperhatikan suaminya dengan lebih saksama dibanding biasanya. Suaminya teramat tampan, berkulit putih bersih, dan ditunjang dengan postur tubuh yang begitu proposional. Memang rasanya tak ada pantas-pantasnya kalau aku ini istrinya, ujar Nada dalam hati. Mungkin pantasnya aku ini pramuwismanya....
Tantra tersenyum membalas tatapan istrinya. Malam ini Nada mengenakan gaun tidur hijau muda dengan aplikasi dedaunan di bagian dada. "Aku ingin kamu lebih percaya padaku dibanding orang yang baru saja kaukenal, "ujarnya.
Nada terdiam. Ia masih bimbang.
Pintu kamar terbuka. Tantra masuk. Nada hanya menoleh sejenak, tetapi kemudian kembali
tak mengacuhkan.
"Belum tidur, Mbak?"
"Hm."
"Tadi ada tamu?"
"Ada."
"Oh ya, siapa?"
"Mantanmu."
"Mantanku?"Tantra terperanjat.
Nada melengos. "Iya, yang katanya Mas sudah berkali-kali menginap di rumahnya."
"Itu katanya, kan?"
"Ya."
"Kamu percaya, Mbak?"
Cepat Nada mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. "Bagaimana aku tidak percaya? Gadis itu cantik sekali, kulitnya putih bersih, langsing, tapi seksi sekali. Laki-laki mana yang tidak akan tertarik? Sedangkan aku? Kamu bisa lihat sendiri, bagaimana? Bahkan, cinta pertamaku dulu kandas gara-gara wajahku yang biasa saja dan warna kulitku yang gelap. Dan...aku, aku juga tidak seksi. Jadi, aku tidak akan heran kalau kamu sudah melakukannya dengan gadis cantik itu jauh sebelum kita menikah...,"tiba-tiba Nada merendahkan suaranya, menyadari bahwa ia terlalu emosi.
Tantra menghela napas perlahan. Ia duduk di samping istrinya. "Mbak, berapa kali aku harus meyakinkanmu kalau aku tidak pernah pacaran atau berhubungan dengan siapapun sebelum kita menikah?"
"Kalau memang benar, aku juga tidak apa-apa, "Nada sudah mulai mampu menguasai perasaannya. "Aku sudah bersyukur kau tidak menanyakan kegadisanku waktu kita menikah dulu."
"Kenapa harus meributkannya? Aku tahu kamu benar-benar menjaga diri."
Nada menoleh, memperhatikan suaminya dengan lebih saksama dibanding biasanya. Suaminya teramat tampan, berkulit putih bersih, dan ditunjang dengan postur tubuh yang begitu proposional. Memang rasanya tak ada pantas-pantasnya kalau aku ini istrinya, ujar Nada dalam hati. Mungkin pantasnya aku ini pramuwismanya....
Tantra tersenyum membalas tatapan istrinya. Malam ini Nada mengenakan gaun tidur hijau muda dengan aplikasi dedaunan di bagian dada. "Aku ingin kamu lebih percaya padaku dibanding orang yang baru saja kaukenal, "ujarnya.
Nada terdiam. Ia masih bimbang.
Kamis, 10 November 2011
Di Arung Jeram Cinta
Tidak sabar rasanya Banu menanti kedatangan gadis cantik yang lembut itu. Gadis yang begitu menawan sehingga membuat hatinya tertambat. Ia ingin berkenalan dan mengajaknya bercakap-cakap. Tetapi, alangkah sulitnya, karena gadis itu seolah-olah selalu menghindar bila pembicaraan mengarah pada hal-hal pribadi. Seperti ada yang ...tiba-tiba Banu melihat sosok yang dicarinya melintas. Bergegas ia beranjak dari duduknya dan berlari seraya berteriak, "Tunggu!"
"Tunggu!"nekad ia menghadang gadis itu.
Gadis yang dihadang langsung menghentikan langkah. Ia menatap si penghadang dengan sorot mata terganggu.
"Maaf, "Banu berusaha sopan. "Boleh kita bicara sebentar?"
"Untuk apa?"
Brr! Dingin sekali!rutuk Banu dalam hati. "Begini, bisa kita cari tempat duduk yang enak?"
Gadis itu tampak berpikir. "Baiklah, "katanya beberapa saat kemudian.
Banu menarik napas lega.
Beberapa hari yang lalu, Nada melihat Tantra menerima beberapa teman semasa kuliah. Dua di antaranya wanita. Kedua-duanya sama-sama cantik dan salah satunya berpakaian seksi. Nada sendiri sampai menahan napas melihatnya.
Pagi ini gadis itu baru saja datang, ingin bertemu Tantra tentunya. Entah apa maksudnya, tetapi yang jelas sikap dan kata-katanya membuat Nada gerah.
"Jadi situ istri Tantra?"tanyanya sambil memperhatikan Nada dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Iya."
"Ooh...,"gadis itu manggut-manggut. "Kok mau ya? Tantra kan ganteng abis, kok dapatnya cuma yang beginian...mana kelihatannya sudah tua? Berapa sih umur situ?"
"Saya? Sudah lewat tiga puluh."
"Ha?OMG!Kasihan amat nasib Tantra! Dapat perawan tua, cocoknya jadi tantenya kaleee!"
Untung saja Nada menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan gadis yang jauh lebih muda, jadi ia memilih untuk bersabar.
"Sayang, kami putus. Padahal sempat pacaran dua tahun,lho."
"Pacaran?"seingat Nada suaminya tidak pacaran dengan siapapun sebelum menikahinya.
"Iya, pacaran. Apa Tantra gak cerita sama situ? Padahal, kita dah jauh."
"Jauh? Apanya yang jauh?"
Apanya yang jauh?"gadis itu mengulang pertanyaan Nada dengan intonasi mengejek. "Eh, situ udah tua tapi kuper juga, ya? Ya, tahulah gaya pacaran anak muda sekarang? Beberapa kali, sih. Aku cari hari kapan kira-kira aku gak sampai kebobolan. Untungnya pas terus...."
Nada tercengang. Selanjutnya gadis yang mengaku mantan pacar Tantra itu terus saja berkicau. Pengakuannya sungguh membuat Nada terusik.
"Tunggu!"nekad ia menghadang gadis itu.
Gadis yang dihadang langsung menghentikan langkah. Ia menatap si penghadang dengan sorot mata terganggu.
"Maaf, "Banu berusaha sopan. "Boleh kita bicara sebentar?"
"Untuk apa?"
Brr! Dingin sekali!rutuk Banu dalam hati. "Begini, bisa kita cari tempat duduk yang enak?"
Gadis itu tampak berpikir. "Baiklah, "katanya beberapa saat kemudian.
Banu menarik napas lega.
Beberapa hari yang lalu, Nada melihat Tantra menerima beberapa teman semasa kuliah. Dua di antaranya wanita. Kedua-duanya sama-sama cantik dan salah satunya berpakaian seksi. Nada sendiri sampai menahan napas melihatnya.
Pagi ini gadis itu baru saja datang, ingin bertemu Tantra tentunya. Entah apa maksudnya, tetapi yang jelas sikap dan kata-katanya membuat Nada gerah.
"Jadi situ istri Tantra?"tanyanya sambil memperhatikan Nada dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Iya."
"Ooh...,"gadis itu manggut-manggut. "Kok mau ya? Tantra kan ganteng abis, kok dapatnya cuma yang beginian...mana kelihatannya sudah tua? Berapa sih umur situ?"
"Saya? Sudah lewat tiga puluh."
"Ha?OMG!Kasihan amat nasib Tantra! Dapat perawan tua, cocoknya jadi tantenya kaleee!"
Untung saja Nada menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan gadis yang jauh lebih muda, jadi ia memilih untuk bersabar.
"Sayang, kami putus. Padahal sempat pacaran dua tahun,lho."
"Pacaran?"seingat Nada suaminya tidak pacaran dengan siapapun sebelum menikahinya.
"Iya, pacaran. Apa Tantra gak cerita sama situ? Padahal, kita dah jauh."
"Jauh? Apanya yang jauh?"
Apanya yang jauh?"gadis itu mengulang pertanyaan Nada dengan intonasi mengejek. "Eh, situ udah tua tapi kuper juga, ya? Ya, tahulah gaya pacaran anak muda sekarang? Beberapa kali, sih. Aku cari hari kapan kira-kira aku gak sampai kebobolan. Untungnya pas terus...."
Nada tercengang. Selanjutnya gadis yang mengaku mantan pacar Tantra itu terus saja berkicau. Pengakuannya sungguh membuat Nada terusik.
Langganan:
Postingan (Atom)