Banu tak tahu harus memulai dari mana. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin Meyra mempunyai gagasan seperti itu. Apa kata Rima tadi? Benarkah wanita itu melakukannya atas permintaan Meyra? Banu mengakui betapa pandai istrinya mencari wanita cantik dan menarik. Tetapi, menurutnya, istrinya belum tahu bahwa ia menikah karena benar-benar cinta.
Meyra meletakkan secangkir teh hangat di meja tengah. Entah mengapa malam itu ia begitu gugup melihat tatapan suaminya yang tidak seperti biasanya. Dalam hati wanita itu menebak-nebak sejauh mana keberhasilan Rima melaksanakan tugasnya.
"Sirup jahe ini bisa menghangatkan tubuh, "ujar Rima meletakkan dua gelas sirup jahe di meja tepi ranjang. Banu masih duduk terpekur sambil merapatkan jaketnya. Rima tersenyum simpul. "Kenapa? Kau menyesal?"
Banu menggeleng, "Entahlah, "sahutnya lirih.
"Aku tidak tahu kau ini alim atau lugu, "tukas Rima menyodorkan segelas, "tapi kalau kau suka, kau boleh datang lagi. Kapan saja. Oh ya, omong-omong, menurutmu, aku cantik tidak dengan gaun malam ini?'
"Meyra...."
Meyra tersentak. Tanpa sadar ia menurut saja ketika suaminya menuntunnya duduk di sampingnya.
"Aku sudah tahu semuanya, "bisik Banu.
Meyra tercengang, "Maksudmu?"
"Rima, kau yang menyuruhnya?"
Meyra menunduk.
"Kenapa?"
"Aku ingin kau bahagia."
"Lalu bagaimana pendapatmu?"
Meyra tak langsung menjawab. Ia diam sejenak untuk mengendalikan perasaannya. "Aku terpaksa, Banu. Aku masih trauma, peristiwa itu seperti kiamat bagiku. Kalau saja kau tahu hancurnya perasaanku waktu itu. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, sangat tidak ingin, tetapi itulah yang terjadi."
Banu tidak berani menyela.
Meyra menatap suaminya dengan perasaan berkecamuk. "Sebenarnya sejak peristiwa itu, aku tidak lagi percaya pada laki-laki. Kuanggap semuanya sama hanya menjadikan perempuan sebagai mainan. Tapi...kau berhasil membuatku berubah pikiran."
Banu tersenyum.
"Hampir setahun kita menikah, mungkin lebih baik kalau Mbak Rima jadi saudaraku....:
Kali ini Banu tersentak. "Tidak, "tegasnya.
"Kalau Mbak Rima melahirkan, aku akan menganggap bayi kalian seperti anak kandungku sendiri."
Banu tidak tahan lagi. "Tidak ada pernikahan, Meyra. Aku tidak mau menikahi Rima."
"Tapi...."
Banu menggeleng. Ia membisikkan sesuatu yang membuat Meyra tertegun.
"Benarkah?"
Banu mengangguk.
"Maafkan aku...."
"Terus terang aku terkejut sekaligus sedih mendengar pengakuan Rima. Aku merasa bersalah karena selama ini aku tidak tahu betapa dalam trauma yang kaurasakan. Maafkan aku."
Malam itu untuk kali pertama Meyra benar-benar bersyukur memiliki suami yang penuh pengertian. Ia tidak menyangka sedikitpun bahwa suaminya sangat menjaga diri dan tak mau menyakiti istrinya.
Meyra meletakkan secangkir teh hangat di meja tengah. Entah mengapa malam itu ia begitu gugup melihat tatapan suaminya yang tidak seperti biasanya. Dalam hati wanita itu menebak-nebak sejauh mana keberhasilan Rima melaksanakan tugasnya.
"Sirup jahe ini bisa menghangatkan tubuh, "ujar Rima meletakkan dua gelas sirup jahe di meja tepi ranjang. Banu masih duduk terpekur sambil merapatkan jaketnya. Rima tersenyum simpul. "Kenapa? Kau menyesal?"
Banu menggeleng, "Entahlah, "sahutnya lirih.
"Aku tidak tahu kau ini alim atau lugu, "tukas Rima menyodorkan segelas, "tapi kalau kau suka, kau boleh datang lagi. Kapan saja. Oh ya, omong-omong, menurutmu, aku cantik tidak dengan gaun malam ini?'
"Meyra...."
Meyra tersentak. Tanpa sadar ia menurut saja ketika suaminya menuntunnya duduk di sampingnya.
"Aku sudah tahu semuanya, "bisik Banu.
Meyra tercengang, "Maksudmu?"
"Rima, kau yang menyuruhnya?"
Meyra menunduk.
"Kenapa?"
"Aku ingin kau bahagia."
"Lalu bagaimana pendapatmu?"
Meyra tak langsung menjawab. Ia diam sejenak untuk mengendalikan perasaannya. "Aku terpaksa, Banu. Aku masih trauma, peristiwa itu seperti kiamat bagiku. Kalau saja kau tahu hancurnya perasaanku waktu itu. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, sangat tidak ingin, tetapi itulah yang terjadi."
Banu tidak berani menyela.
Meyra menatap suaminya dengan perasaan berkecamuk. "Sebenarnya sejak peristiwa itu, aku tidak lagi percaya pada laki-laki. Kuanggap semuanya sama hanya menjadikan perempuan sebagai mainan. Tapi...kau berhasil membuatku berubah pikiran."
Banu tersenyum.
"Hampir setahun kita menikah, mungkin lebih baik kalau Mbak Rima jadi saudaraku....:
Kali ini Banu tersentak. "Tidak, "tegasnya.
"Kalau Mbak Rima melahirkan, aku akan menganggap bayi kalian seperti anak kandungku sendiri."
Banu tidak tahan lagi. "Tidak ada pernikahan, Meyra. Aku tidak mau menikahi Rima."
"Tapi...."
Banu menggeleng. Ia membisikkan sesuatu yang membuat Meyra tertegun.
"Benarkah?"
Banu mengangguk.
"Maafkan aku...."
"Terus terang aku terkejut sekaligus sedih mendengar pengakuan Rima. Aku merasa bersalah karena selama ini aku tidak tahu betapa dalam trauma yang kaurasakan. Maafkan aku."
Malam itu untuk kali pertama Meyra benar-benar bersyukur memiliki suami yang penuh pengertian. Ia tidak menyangka sedikitpun bahwa suaminya sangat menjaga diri dan tak mau menyakiti istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar