Dewi alias bunda, ibu Herman dan Meyra baru saja mengetahui peristiwa tragis yang menimpa putri bungsunya itu. Wanita lima puluh tahun itu menyesalkan sikap Herman yang tertutup.
"Jadi, kejadian itu sudah beberapa bulan yang lalu?"
Herman mengangguk. Ia merasa sangat bersalah. "Maafkan saya, Bunda. Saya pikir Ibu pasti tidak ingin mendengar berita buruk ini."
Dewi menarik napas panjang. "Herman, Bunda memang tidak ingin mendengar berita yang buruk, tapi bukan berarti Bunda tidak perduli."
Herman memandang ibunya yang duduk sambil memeluk pundak adiknya. Pagi itu Meyra tampak lebih ceria walaupun sedikit pucat. "Saya tidak ingin membuat Bunda sedih."
"Bunda mengerti, "Dewi tersenyum. Wanita menoleh ke arah putrinya. "Yang Bunda herankan kenapa tidak kalian jebloskan saja laki-laki bejat itu ke penjara?"
Herman menatap adiknya. "Meyra yang tidak mau, Bun."
"Kenapa, Nak?"
Meyra menggeleng. "Bunda, saya hanya ingin melupakan peristiwa itu. Tapi...rasanya sulit sekali."
"Kau tidak hamil kan?"
Lagi-lagi Meyra menggeleng.
"Kalau kamu sampai hamil, laki-laki itu harus bertanggung jawab, "geram Dewi.
"Dia sudah menikah, Bunda...."
Lirih memang ucapan Meyra, tetapi mampu membuat kedua mata ibunya terbelalak. "Apa?!"
Menunggu wisuda yang masih dua minggu lagi terlalu lama bagi Rafa. Gadis itu sudah tidak sabar lagi untuk terjun ke dunia kerja. Setelah mendapatkan surat keterangan lulus dari fakultas, ia bergegas menulis surat lamaran pekerjaan.
"Maaf, tidak ada lowongan, "sambut satpam saat Rafa hendak memasuki sebuah gedung perkantoran yang megah. Laki-laki berkumis tebal itu mengamati gadis di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebenarnya Rafa gerah diperlakukan seperti itu, tetapi pura-pura tidak tahu. Saat itu mengenakan busana muslim lengkap dengan jilbabnya langsung mengerutkan kening. "Oh ya? Tapi, kenapa tulisan di karton manila...."
"Oh, "pak satpam membalik karton manila putih yang terpasang di atas meja. Karton yang bertuliskan 'MASIH ADA LOWONGAN' itu kini terbaca menjadi 'TIDAK ADA LOWONGAN'.
Tiba-tiba timbul pikiran iseng di benak Rafa. Kini ia balas memandang pak satpam tanpa berkedip. Gadis itu masih kesal karena diperlakukan sedemikian rupa oleh laki-laki yang baru dikenalnya. Rafa tidak akan puas kalau belum membalas.
Rabu, 29 Juni 2011
Selasa, 28 Juni 2011
Di Arung Jeram Cinta (Bab XI)
Bayi itu begitu mungil dan menggemaskan. Tidak bosan-bosannya Tantra mengamati buah hatinya. Ia tidak habis pikir bagaimana caranya bayi itu bersemayam di rahim istrinya lalu sekarang....
Tantra menoleh. Nada mencolek lengannya. Ayah muda itu menghela napas perlahan saat istrinya memberi kode supaya keluar kamar.
"Mas...."
Tantra menoleh.
"Makan dulu saja, ajak Ibu dan Dik Rafa."
Tantra tersenyum.
"Tidak temani istrimu?"tanya Afna melihat si Sulung menghampiri.
"Sedang sensor, "sahut Tantra asal sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi empuk di ruang tengah.
"Sensor apa, Mas?"Rafa mengerutkan kening.
"Iya, kamu ini ada-ada saja, Tantra."
"Arsya minum asi, Bu."
"Kamu tidak temani istrimu?"
Tantra menggeleng.
"Kenapa?"
Tantra menatap ibunya serius. "Bu, Nada sangat pemalu. Ganti baju saja, aku disuruh berbalik atau keluar kamar."
Rafa teringat peristiwa handuk itu. "Iya, Bu, "sela gadis itu. "Pernah Mas Tantra menitipkan handuk supaya aku berikan pada Mbak Nada yang sedang mandi."
Afna mengerutkan kening. "Kamu tidak mengasari istrimu, kan?"tanya wanita setengah baya itu dengan nada menyelidik.
"Ya Allah, Ibu, masa aku begitu?"
Wanita itu kembali mengerutkan kening. "Jadi benar, tidak ada apa-apa?"
"Tidak, Bu. Mbak Nada memang seperti itu."
Rafa mendehem. "Maksud Ibu, kok bisa Mbak Nada hamil padahal dia pemalu seka...auuw!" belum selesai bicara, kakinya langsung diinjak kakaknya.
"Rafa, jangan goda kakakmu, "Afna tersenyum simpul.
Tantra berusaha bersikap biasa. "Kita makan dulu atau...."
"Kita tunggu Mbak Nada, "tukas Afna.
Bagai disambar petir Danar mendengarkan penuturan Ratih. Ternyata selama ini Lisa telah begitu banyak menderita, menderita jiwa dan raga. Tetapi, tidak sedikitpun istrinya itu mengeluh. Ia selalu sabar menghadapi perlakuan kejam suaminya.
"Kamu ini bisa masak apa tidak?!" bentak Danar melempar sebasi sup makaroni.
Lisa memekik kaget campur takut. Ia lupa membeli kentang kesukaan suaminya dan baru teringat setelah sup itu dihidangkannya di meja makan.
"Ma..maaf, Mas, saya lupa...."
"Begitu, ya, "sahut Danar mencengkeram lengan istrinya. "Kalau dandan, kamu tidak lupa? Begitu?"
Padahal mana sempat Lisa mengurusi dirinya sendiri. Melihat istrinya diam saja, Danar semakin marah. Seperti biasa tangannya yang kekar terayun menebas tubuh istrinya yang tinggi dan besarnya tak sepadan dengan dirinya.
"Selama ini Mbak Lisa mengikuti terapi."
"Kenapa Dokter tidak menceritakannya kepada saya?"
"Maafkan saya, Pak Danar, "sahut Ratih dengan nada menyesal. "Mbak Lisa yang melarang saya. Ia tidak ingin Anda khawatir."
Danar terdiam. Ada rasa takut mengusik perasaannya. Tetapi, ia harus mengetahui penyebabnya. "Maaf, Dokter, sebenarnya apa penyebab penyakit yang diderita istri saya?"
Tantra menoleh. Nada mencolek lengannya. Ayah muda itu menghela napas perlahan saat istrinya memberi kode supaya keluar kamar.
"Mas...."
Tantra menoleh.
"Makan dulu saja, ajak Ibu dan Dik Rafa."
Tantra tersenyum.
"Tidak temani istrimu?"tanya Afna melihat si Sulung menghampiri.
"Sedang sensor, "sahut Tantra asal sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi empuk di ruang tengah.
"Sensor apa, Mas?"Rafa mengerutkan kening.
"Iya, kamu ini ada-ada saja, Tantra."
"Arsya minum asi, Bu."
"Kamu tidak temani istrimu?"
Tantra menggeleng.
"Kenapa?"
Tantra menatap ibunya serius. "Bu, Nada sangat pemalu. Ganti baju saja, aku disuruh berbalik atau keluar kamar."
Rafa teringat peristiwa handuk itu. "Iya, Bu, "sela gadis itu. "Pernah Mas Tantra menitipkan handuk supaya aku berikan pada Mbak Nada yang sedang mandi."
Afna mengerutkan kening. "Kamu tidak mengasari istrimu, kan?"tanya wanita setengah baya itu dengan nada menyelidik.
"Ya Allah, Ibu, masa aku begitu?"
Wanita itu kembali mengerutkan kening. "Jadi benar, tidak ada apa-apa?"
"Tidak, Bu. Mbak Nada memang seperti itu."
Rafa mendehem. "Maksud Ibu, kok bisa Mbak Nada hamil padahal dia pemalu seka...auuw!" belum selesai bicara, kakinya langsung diinjak kakaknya.
"Rafa, jangan goda kakakmu, "Afna tersenyum simpul.
Tantra berusaha bersikap biasa. "Kita makan dulu atau...."
"Kita tunggu Mbak Nada, "tukas Afna.
Bagai disambar petir Danar mendengarkan penuturan Ratih. Ternyata selama ini Lisa telah begitu banyak menderita, menderita jiwa dan raga. Tetapi, tidak sedikitpun istrinya itu mengeluh. Ia selalu sabar menghadapi perlakuan kejam suaminya.
"Kamu ini bisa masak apa tidak?!" bentak Danar melempar sebasi sup makaroni.
Lisa memekik kaget campur takut. Ia lupa membeli kentang kesukaan suaminya dan baru teringat setelah sup itu dihidangkannya di meja makan.
"Ma..maaf, Mas, saya lupa...."
"Begitu, ya, "sahut Danar mencengkeram lengan istrinya. "Kalau dandan, kamu tidak lupa? Begitu?"
Padahal mana sempat Lisa mengurusi dirinya sendiri. Melihat istrinya diam saja, Danar semakin marah. Seperti biasa tangannya yang kekar terayun menebas tubuh istrinya yang tinggi dan besarnya tak sepadan dengan dirinya.
"Selama ini Mbak Lisa mengikuti terapi."
"Kenapa Dokter tidak menceritakannya kepada saya?"
"Maafkan saya, Pak Danar, "sahut Ratih dengan nada menyesal. "Mbak Lisa yang melarang saya. Ia tidak ingin Anda khawatir."
Danar terdiam. Ada rasa takut mengusik perasaannya. Tetapi, ia harus mengetahui penyebabnya. "Maaf, Dokter, sebenarnya apa penyebab penyakit yang diderita istri saya?"
Minggu, 26 Juni 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kertas itu masih terletak di tempat semula. Meyra sengaja menempelkannya di album kenangan. Gadis itu termenung. Mengapa setelah ia menyadari betapa berharga dirinya, ia harus mengalami petaka itu?
Bukan Tantra yang melakukannya. Padahal, kalau ia mau, dengan mudah akan mendapatkan. Bukankah Meyra yang menawarkan hal itu lebih dulu? Meskipun tentu saja hanya main-main, tetapi seandainya bukan Tantra, mungkin akan lain ceritanya.
"Biar kakakmu yang sok alim itu tahu kalau dia bukan apa-apa, juga adiknya ini, "ujar Danar dengan tatapan merendahkan memandang Meyra yang berdiri menunduk. "Aku tahu selama ini kau suka merayu Tantra supaya dia tertarik padamu...."
Meyra mengangkat wajahnya. "Boleh aku pulang?"
"Pulang? Silakan, setelah ada ganti rugi."
Meyra menjerit. Pegangan laki-laki sebaya kakaknya itu bagaikan penjepit besi.
"Mau jenguk kemenakannya, ya Dik?"sapa perawat duplikat Paramitha Rusady saat berpapasan dengan Tantra dan Rafa.
"Iya, Suster, "sahut Tantra ramah.
"Oh ya, sebaiknya Adik segera menghubungi ayah kemenakanmu untuk mengurus surat keterangan lahir."
"Terima kasih, Suster, saya akan urus pagi ini."
"Harus ayah kandungnya, Dik, "tukas perawat itu sotoy.
"Saya ayah kandungnya."
Merah padam seketika wajah Paramitha Rusady gadungan itu. Meskipun demikian, dia berusaha supaya terlihat tenang. "Oh, kalau begitu, sekarang saja, Pak, "ujarnya jaim.
"Terima kasih, Suster."
Rafa tersenyum geli. "Mas Tantra memang cocok jadi mahasiswa, "komentar gadis itu.
"Dik, Mas sudah jadi ayah, "tukas Tantra tersenyum.
"Eh, kemarin ada yang mengira Mas pemuda yang menghamili kekasihnya."
"Memang."
"Di luar nikah."
"Mas juga tahu."
"Kenapa Mas diam saja?"
"Untuk apa? Yang penting sebenarnya tidak."
Rafa mengangkat bahu. Kakaknya ini memang terlalu baik hati. Dia tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi atau komentar orang lain tentang dirinya.
Meyra menggeleng kuat-kuat berusaha mengusir bayangan yang sangat mengusik itu supaya pergi jauh-jauh.
Tok, tok, tok.
Meyra tersentak. "I...iya?"
"Ini Bunda, Sayang."
"Bunda?" bisik Meyra seolah-olah mengira pendengarannya salah. Sejak kapan Bunda datang? Apa dari tadi pagi? Mengapa ia baru tahu menjelang siang?
"Bukakan pintunya, Sayang. Bunda kangen."
Bukan Tantra yang melakukannya. Padahal, kalau ia mau, dengan mudah akan mendapatkan. Bukankah Meyra yang menawarkan hal itu lebih dulu? Meskipun tentu saja hanya main-main, tetapi seandainya bukan Tantra, mungkin akan lain ceritanya.
"Biar kakakmu yang sok alim itu tahu kalau dia bukan apa-apa, juga adiknya ini, "ujar Danar dengan tatapan merendahkan memandang Meyra yang berdiri menunduk. "Aku tahu selama ini kau suka merayu Tantra supaya dia tertarik padamu...."
Meyra mengangkat wajahnya. "Boleh aku pulang?"
"Pulang? Silakan, setelah ada ganti rugi."
Meyra menjerit. Pegangan laki-laki sebaya kakaknya itu bagaikan penjepit besi.
"Mau jenguk kemenakannya, ya Dik?"sapa perawat duplikat Paramitha Rusady saat berpapasan dengan Tantra dan Rafa.
"Iya, Suster, "sahut Tantra ramah.
"Oh ya, sebaiknya Adik segera menghubungi ayah kemenakanmu untuk mengurus surat keterangan lahir."
"Terima kasih, Suster, saya akan urus pagi ini."
"Harus ayah kandungnya, Dik, "tukas perawat itu sotoy.
"Saya ayah kandungnya."
Merah padam seketika wajah Paramitha Rusady gadungan itu. Meskipun demikian, dia berusaha supaya terlihat tenang. "Oh, kalau begitu, sekarang saja, Pak, "ujarnya jaim.
"Terima kasih, Suster."
Rafa tersenyum geli. "Mas Tantra memang cocok jadi mahasiswa, "komentar gadis itu.
"Dik, Mas sudah jadi ayah, "tukas Tantra tersenyum.
"Eh, kemarin ada yang mengira Mas pemuda yang menghamili kekasihnya."
"Memang."
"Di luar nikah."
"Mas juga tahu."
"Kenapa Mas diam saja?"
"Untuk apa? Yang penting sebenarnya tidak."
Rafa mengangkat bahu. Kakaknya ini memang terlalu baik hati. Dia tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi atau komentar orang lain tentang dirinya.
Meyra menggeleng kuat-kuat berusaha mengusir bayangan yang sangat mengusik itu supaya pergi jauh-jauh.
Tok, tok, tok.
Meyra tersentak. "I...iya?"
"Ini Bunda, Sayang."
"Bunda?" bisik Meyra seolah-olah mengira pendengarannya salah. Sejak kapan Bunda datang? Apa dari tadi pagi? Mengapa ia baru tahu menjelang siang?
"Bukakan pintunya, Sayang. Bunda kangen."
Jumat, 24 Juni 2011
Jiwa Pelangi
"Lho, ke bank saja kok diantar ibunya?"begitu sapa petugas suatu bank saat melihatku berdiri di samping Ibu.
"Kan sekalian, Ibu juga mau ambil tabungan, "tukasku. "Biar hemat."
"Oh, begitu...."
Apa sih urusannya? Waktu itu aku masih duduk di bangku SMA. Terus terang aku tak habis pikir mengapa orang sering bertanya sesuatu yang bukan urusannya. Mungkin sekadar basa-basi, tetapi perlukah mengomentari sesuatu yang bisa menyinggung perasaan orang lain?
Kakak iparku menceritakan pengalamannya mengantar putra sulungnya mengurus KTP. Petugas kecamatan menegur kemenakanku itu. "Lho, kok masih diantar ibunya?"
"Ini baru pertama urus KTP, biar cepat ya saya bantu. Besok-besok ya harus urus sendiri, "begitu jawab kakak iparku.
"Besok ke sini sendiri bisa, kan?" tanya petugas itu kepada kemenakanku."
"Bisa, "jawab kemenakanku.
"Wah, memangnya yang punya anak siapa?"begitu komentarku setelah mendengar cerita kakak ipar. "Kan anak-anaknya sendiri. Mau diantar, mau disuruh naik taksi, naik angkot, memang apa urusannya?"
Maaf, maaf, mungkin aku bukan tipe orang yang perduli dengan urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Apalagi menyangkut cara mendidik anak. Kalau para tetangga sering ikut memarahi anak tetangga yang tidak menurut orang tua, aku memilih diam saja. Menurutku mungkin saja orang tua anak itu tersinggung karena tetangganya ikut campur dalam mengurus anaknya, hanya saja ia tidak menyampaikan hal itu.
"Kan sekalian, Ibu juga mau ambil tabungan, "tukasku. "Biar hemat."
"Oh, begitu...."
Apa sih urusannya? Waktu itu aku masih duduk di bangku SMA. Terus terang aku tak habis pikir mengapa orang sering bertanya sesuatu yang bukan urusannya. Mungkin sekadar basa-basi, tetapi perlukah mengomentari sesuatu yang bisa menyinggung perasaan orang lain?
Kakak iparku menceritakan pengalamannya mengantar putra sulungnya mengurus KTP. Petugas kecamatan menegur kemenakanku itu. "Lho, kok masih diantar ibunya?"
"Ini baru pertama urus KTP, biar cepat ya saya bantu. Besok-besok ya harus urus sendiri, "begitu jawab kakak iparku.
"Besok ke sini sendiri bisa, kan?" tanya petugas itu kepada kemenakanku."
"Bisa, "jawab kemenakanku.
"Wah, memangnya yang punya anak siapa?"begitu komentarku setelah mendengar cerita kakak ipar. "Kan anak-anaknya sendiri. Mau diantar, mau disuruh naik taksi, naik angkot, memang apa urusannya?"
Maaf, maaf, mungkin aku bukan tipe orang yang perduli dengan urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Apalagi menyangkut cara mendidik anak. Kalau para tetangga sering ikut memarahi anak tetangga yang tidak menurut orang tua, aku memilih diam saja. Menurutku mungkin saja orang tua anak itu tersinggung karena tetangganya ikut campur dalam mengurus anaknya, hanya saja ia tidak menyampaikan hal itu.
Antara Kita
Engkaukah itu yang mendekap tangisku
dengan segenap tawa dan rayuanmu
bintang-bintang di angkasa kemilau menari
temani lembutnya rembulan malam hari
Adakah engkau yang menyodorkan lusinan cangkir angan
luapan masa lalu penuh kegirangan
berdua kita melangkah meniti hari
dalam riang gembira yang menanti
Masihkah kau meraba mimpi-mimpi kita
yang dulu pernah terajut dalam dunia tak kenal duka
dan masihkah kau sudi mendekap tangisku
dengan bujuk dan senyummu
dengan segenap tawa dan rayuanmu
bintang-bintang di angkasa kemilau menari
temani lembutnya rembulan malam hari
Adakah engkau yang menyodorkan lusinan cangkir angan
luapan masa lalu penuh kegirangan
berdua kita melangkah meniti hari
dalam riang gembira yang menanti
Masihkah kau meraba mimpi-mimpi kita
yang dulu pernah terajut dalam dunia tak kenal duka
dan masihkah kau sudi mendekap tangisku
dengan bujuk dan senyummu
Di Arung Jeram Cinta
Afna mengusap-usap punggung anak sulungnya yang tampak cemas. Wanita itu sangat memahami perasaan Tantra yang kebat-kebit karena akan menjadi ayah dalam arti yang sebenarnya.
"Kau harus tenang, "bisik Afna. "Berdoalah supaya istri dan anakmu selamat, tidak ada apa-apa."
Tantra menoleh ke arah ibunya. "Kenapa aku tidak boleh masuk?"
"Tantra, pasrahkan semua kepada Allah, biarkan dokter dan suster melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya."
Rafa duduk mengapit kakaknya. "Sayang sekali Ayah masih di Australia, "katanya. "Coba, kalau sudah pulang, pasti bisa bantu Mbak Nada melahirkan."
"Lusa, ayahmu baru pulang, "sahut Afna.
Tantra tidak menyela percakapan ibu dan adiknya. Pikirannya terfokus pada istrinya yang sedang berjuang bertaruh nyawa.
"Dulu, waktu Ibu melahirkan aku dan Mas Tantra, bagaimana? Sakit tidak?"
Afna tersenyum. "Hampir semua proses dalam kehidupan ini menyakitkan, "ujarnya lembut. "Tapi, jika sudah berhasil melaluinya, kita akan melupakan rasa sakit itu. Begitu juga saat Ibu melahirkan kalian. Rasa sakit itu hilang seketika setelah melihat kalian lahir sehat dan normal."
Rafa meraih dan mencium tangan ibunya.
"Aku sayang Ibu, "bisik Tantra mencium pipi Afna.
Afna memeluk kedua anaknya penuh sayang.
Nada masih tampak lemah saat Tantra menghampirinya. Ia tersenyum menyambut kedatangan suaminya.
"Anak kita laki-laki, "ujar Tantra tersenyum.
"Kulitnya belang atau seperti papan catur, tidak?"
"Memangnya zebra?"Tantra heran istrinya masih bisa bercanda setelah melalui saat-saat yang sangat menegangkan itu.
"Bayi kita masih di inkubator, "kata Nada. "Mas pasti penasaran ingin tahu wajahnya mirip siapa."
"Nanti aku intip dari kaca."
Nada tersenyum geli. Dipandangnya Tantra yang tampak semakin tampan dan gagah saja. Kalau sudah begini, siapa yang percaya kalau dia sudah menikah dan mempunyai anak?
"Kau harus tenang, "bisik Afna. "Berdoalah supaya istri dan anakmu selamat, tidak ada apa-apa."
Tantra menoleh ke arah ibunya. "Kenapa aku tidak boleh masuk?"
"Tantra, pasrahkan semua kepada Allah, biarkan dokter dan suster melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya."
Rafa duduk mengapit kakaknya. "Sayang sekali Ayah masih di Australia, "katanya. "Coba, kalau sudah pulang, pasti bisa bantu Mbak Nada melahirkan."
"Lusa, ayahmu baru pulang, "sahut Afna.
Tantra tidak menyela percakapan ibu dan adiknya. Pikirannya terfokus pada istrinya yang sedang berjuang bertaruh nyawa.
"Dulu, waktu Ibu melahirkan aku dan Mas Tantra, bagaimana? Sakit tidak?"
Afna tersenyum. "Hampir semua proses dalam kehidupan ini menyakitkan, "ujarnya lembut. "Tapi, jika sudah berhasil melaluinya, kita akan melupakan rasa sakit itu. Begitu juga saat Ibu melahirkan kalian. Rasa sakit itu hilang seketika setelah melihat kalian lahir sehat dan normal."
Rafa meraih dan mencium tangan ibunya.
"Aku sayang Ibu, "bisik Tantra mencium pipi Afna.
Afna memeluk kedua anaknya penuh sayang.
Nada masih tampak lemah saat Tantra menghampirinya. Ia tersenyum menyambut kedatangan suaminya.
"Anak kita laki-laki, "ujar Tantra tersenyum.
"Kulitnya belang atau seperti papan catur, tidak?"
"Memangnya zebra?"Tantra heran istrinya masih bisa bercanda setelah melalui saat-saat yang sangat menegangkan itu.
"Bayi kita masih di inkubator, "kata Nada. "Mas pasti penasaran ingin tahu wajahnya mirip siapa."
"Nanti aku intip dari kaca."
Nada tersenyum geli. Dipandangnya Tantra yang tampak semakin tampan dan gagah saja. Kalau sudah begini, siapa yang percaya kalau dia sudah menikah dan mempunyai anak?
Sabtu, 11 Juni 2011
Di Arung Jeram Cinta
Ini malam istimewa. Tidak seperti biasanya wanita itu menyiapkan makan malam untuk suami dan kedua anaknya. Irsan tak urung bertanya-tanya meskipun ia sangat menikmati kejutan itu.
Tetapi pria tigapuluh tahun itu memilih menahan diri untuk tidak bertanya sampai kedua buah hati mereka terbuai mimpi.
Ratih meletakkan dua cangkir susu coklat di meja ruang keluarga. Malam itu ia tampak cantik dan anggun dengan piyama merah muda bermotif bunga- bunga jingga.
"Seandainya setiap hari seperti ini, "ujar Irsan memperhatikan istrinya yang sibuk merapikan majalah di rak buku. "Maksudku...paling tidak, ya, dua atau tiga kali seminggulah."
Ratih menoleh. "Kenapa?"tanya wanita itu mengulum senyum.
"Aku senang hari ini kamu pulang lebih awal dari biasanya."
"Kamu menyesal punya istri seorang dokter?"
Irsan menggeleng cepat. "Tentu saja tidak, Ratih. Sejak awal aku tahu konsekuensinya, sebab risiko profesimu memang tidak ringan."
Ratih tersenyum. Ia beranjak dan duduk di samping suaminya. "Terima kasih, Irsan, "sahutnya. "Aku jadi semakin yakin kalau aku tidak salah memilih."
"Memang ada yang tidak setuju kalau aku jadi suamimu?"
Ratih tampak ragu-ragu.
"Katakan saja, "Irsan mendesak.
"Mm...Pakdhe, kakak ayah. Beliau lebih suka kalau aku menikah dengan laki-laki yang paling tidak sepuluh tahun lebih tua."
"Oh ya? Aku baru tahu."
"Maksudnya memang baik, supaya kehidupanku terjamin. Malah kalau bisa menurut beliau yang sudah kepala lima."
Irsan tidak dapat menahan rasa gelinya. Untunglah sebelum tawanya meledak, istrinya sudah mencubit lengannya.
"Tidak lucu."
"Maaf, aku hanya membayangkan gadis usia dua puluh lima tahun bersanding dengan kakek-kakek beruban."
Ratih tersenyum. "Tapi, jangan khawatir, Pakdhe setuju kok waktu aku tunjukkan fotomu. Katanya, wah ganteng juga, Nak. Ini calonmu, ya? Anak mana?"
"Lalu jawabmu?"
"Ya, aku jawab lengkap. Nama Mahendra Irsanto Wiranata, tempat tanggal lahir tujuh belas Maret...."
"Kamu baca biodataku semua?"
Ratih mengangguk. "Pakdhe tambah senang waktu tahu kamu sarjana teknik listrik, jadi bisa reparasi listrik gratis."
Irsan menatap istrinya dengan senyuman. "Kapan pulang awal lagi?"
"Besok juga pulang awal."
Irsan terbelalak. "Maksudmu?"
Tantra terkejut bukan kepalang. Ia mendapati Nada tampak sangat kesakitan. Cepat-cepat dibantunya istrinya duduk di kursi.
"Mbak, kenapa?"tanyanya cemas.
"Se...sepertinya ss...sudah waktunya...."
"Apa?!"kalang kabut Tantra meraih ponsel dari atas meja. Panik laki-laki muda itu menekan-nekan tombol. "Asalamualaikum...."
Nada memperhatikan suaminya yang tampak kebingungan. "Mas...."
Tantra menoleh.
"Tenang saja, ini sakit biasa, kok. Mas tidak usah panik."
Tetapi tentu saja tidak semudah itu. Karena dua kali Tantra salah menghubungi nomor yang tidak dikenal. Keduanya diterima oleh suara ibu-ibu yang tampaknya marah karena anak gadisnya dicampakkan begitu saja.
Tetapi pria tigapuluh tahun itu memilih menahan diri untuk tidak bertanya sampai kedua buah hati mereka terbuai mimpi.
Ratih meletakkan dua cangkir susu coklat di meja ruang keluarga. Malam itu ia tampak cantik dan anggun dengan piyama merah muda bermotif bunga- bunga jingga.
"Seandainya setiap hari seperti ini, "ujar Irsan memperhatikan istrinya yang sibuk merapikan majalah di rak buku. "Maksudku...paling tidak, ya, dua atau tiga kali seminggulah."
Ratih menoleh. "Kenapa?"tanya wanita itu mengulum senyum.
"Aku senang hari ini kamu pulang lebih awal dari biasanya."
"Kamu menyesal punya istri seorang dokter?"
Irsan menggeleng cepat. "Tentu saja tidak, Ratih. Sejak awal aku tahu konsekuensinya, sebab risiko profesimu memang tidak ringan."
Ratih tersenyum. Ia beranjak dan duduk di samping suaminya. "Terima kasih, Irsan, "sahutnya. "Aku jadi semakin yakin kalau aku tidak salah memilih."
"Memang ada yang tidak setuju kalau aku jadi suamimu?"
Ratih tampak ragu-ragu.
"Katakan saja, "Irsan mendesak.
"Mm...Pakdhe, kakak ayah. Beliau lebih suka kalau aku menikah dengan laki-laki yang paling tidak sepuluh tahun lebih tua."
"Oh ya? Aku baru tahu."
"Maksudnya memang baik, supaya kehidupanku terjamin. Malah kalau bisa menurut beliau yang sudah kepala lima."
Irsan tidak dapat menahan rasa gelinya. Untunglah sebelum tawanya meledak, istrinya sudah mencubit lengannya.
"Tidak lucu."
"Maaf, aku hanya membayangkan gadis usia dua puluh lima tahun bersanding dengan kakek-kakek beruban."
Ratih tersenyum. "Tapi, jangan khawatir, Pakdhe setuju kok waktu aku tunjukkan fotomu. Katanya, wah ganteng juga, Nak. Ini calonmu, ya? Anak mana?"
"Lalu jawabmu?"
"Ya, aku jawab lengkap. Nama Mahendra Irsanto Wiranata, tempat tanggal lahir tujuh belas Maret...."
"Kamu baca biodataku semua?"
Ratih mengangguk. "Pakdhe tambah senang waktu tahu kamu sarjana teknik listrik, jadi bisa reparasi listrik gratis."
Irsan menatap istrinya dengan senyuman. "Kapan pulang awal lagi?"
"Besok juga pulang awal."
Irsan terbelalak. "Maksudmu?"
Tantra terkejut bukan kepalang. Ia mendapati Nada tampak sangat kesakitan. Cepat-cepat dibantunya istrinya duduk di kursi.
"Mbak, kenapa?"tanyanya cemas.
"Se...sepertinya ss...sudah waktunya...."
"Apa?!"kalang kabut Tantra meraih ponsel dari atas meja. Panik laki-laki muda itu menekan-nekan tombol. "Asalamualaikum...."
Nada memperhatikan suaminya yang tampak kebingungan. "Mas...."
Tantra menoleh.
"Tenang saja, ini sakit biasa, kok. Mas tidak usah panik."
Tetapi tentu saja tidak semudah itu. Karena dua kali Tantra salah menghubungi nomor yang tidak dikenal. Keduanya diterima oleh suara ibu-ibu yang tampaknya marah karena anak gadisnya dicampakkan begitu saja.
Minggu, 05 Juni 2011
Di Arung Jeram Cinta
Akhirnya Ratih mengizinkan Lisa pulang. Selain keinginan pasien sendiri, kondisi wanita itu sudah cukup baik dan stabil. Jadi, Ratih memutuskan Lisa untuk berobat jalan seminggu dua kali.
Tentu saja Lisa sangat gembira dengan keputusan dokter yang murah senyum itu. Pagi itu ia tampak berseri-seri menunggu kedatangan Danar untuk menjemputnya.
"Kita makan di rumah saja, Mas, "ujar Lisa saat suaminya menuntunnya turun dari tempat tidur. "Kita belanja dulu."
"Kamu harus jaga kondisi, Lisa, "sahut Danar.
"Mas jangan khawatir, "tukas Lisa tersenyum. "Cuma masak saja."
"Baik, tapi nanti aku ikut bantu, ya?"
Lisa menatap suaminya tak percaya. "Sungguh?"
Danar tersenyum.
Di depan paviliyun, mereka berpapasan dengan Ratih. Dokter itu menyapa keduanya dengan riang, "Wah, senangnya, sudah bisa pulang."
"Terima kasih, Dokter, "sahut Lisa membalas senyum Ratih.
"Jaga kesehatan, Mbak, jangan lupa berobat jalan dua kali seminggu."
"Iya, Dok."
Ratih berpaling ke arah laki-laki yang berdiri di samping pasiennya. "Pak Danar juga wajib mengingatkan soalnya Mbak Lisa belum boleh banyak beraktivitas."
"Saya akan berusaha, Dok, terima kasih."
Minggu depan Rafa siap maju skripsi. Gadis lincah itu bersyukur karena skripsinya bisa selesai lebih cepat daripada yang diperkirakan. Kalau sukses, berarti ia berhasil menempuh kuliah dalam waktu hanya tiga tahun.
Dasar Rafa, ia tidak akan lega kalau kakaknya belum mendengar kabar gembira ini. Tenu saja ia mencari hari libur supaya dapat berkunjung ke rumah kontrakan sang Kakak.
"Selamat, ya, "Tantra mencium pipi adiknya. "Kapan ujiannya?"
"InsyaAllah minggu depan."
Nada membuka toples berisi kacang tanah goreng. "Silakan, Dik Rafa."
"Terima kasih, Mbak."
"Kalau begitu sebentar lagi sarjana, ya?"
Rafa tersenyum mendengar pertanyaan kakak iparnya. "Amin, "sahutnya.
"Minggu depan?" sela Tantra. "Minggu depan kan waktunya..., "ia memandang istrinya.
Nada mengangguk. "Iya, Mas. Kata dokter, waktunya anak kita lahir."
Rafa memandang kakak iparnya. Hatinya masih saja heran melihat jalan hidup kakak semata wayangnya ini. Istri jauh lebih tua, cantik juga tidak, masih ditambah warna kulit yang coklat tua, dan... kalau nanti bayi mereka lahir, jangan-jangan kulitnya saingan sama papan catur...ups! Rafa buru-buru berightisfar. Kok, dia jadi mengejek kakak ipar sama bakal kemenakan?
Tentu saja Lisa sangat gembira dengan keputusan dokter yang murah senyum itu. Pagi itu ia tampak berseri-seri menunggu kedatangan Danar untuk menjemputnya.
"Kita makan di rumah saja, Mas, "ujar Lisa saat suaminya menuntunnya turun dari tempat tidur. "Kita belanja dulu."
"Kamu harus jaga kondisi, Lisa, "sahut Danar.
"Mas jangan khawatir, "tukas Lisa tersenyum. "Cuma masak saja."
"Baik, tapi nanti aku ikut bantu, ya?"
Lisa menatap suaminya tak percaya. "Sungguh?"
Danar tersenyum.
Di depan paviliyun, mereka berpapasan dengan Ratih. Dokter itu menyapa keduanya dengan riang, "Wah, senangnya, sudah bisa pulang."
"Terima kasih, Dokter, "sahut Lisa membalas senyum Ratih.
"Jaga kesehatan, Mbak, jangan lupa berobat jalan dua kali seminggu."
"Iya, Dok."
Ratih berpaling ke arah laki-laki yang berdiri di samping pasiennya. "Pak Danar juga wajib mengingatkan soalnya Mbak Lisa belum boleh banyak beraktivitas."
"Saya akan berusaha, Dok, terima kasih."
Minggu depan Rafa siap maju skripsi. Gadis lincah itu bersyukur karena skripsinya bisa selesai lebih cepat daripada yang diperkirakan. Kalau sukses, berarti ia berhasil menempuh kuliah dalam waktu hanya tiga tahun.
Dasar Rafa, ia tidak akan lega kalau kakaknya belum mendengar kabar gembira ini. Tenu saja ia mencari hari libur supaya dapat berkunjung ke rumah kontrakan sang Kakak.
"Selamat, ya, "Tantra mencium pipi adiknya. "Kapan ujiannya?"
"InsyaAllah minggu depan."
Nada membuka toples berisi kacang tanah goreng. "Silakan, Dik Rafa."
"Terima kasih, Mbak."
"Kalau begitu sebentar lagi sarjana, ya?"
Rafa tersenyum mendengar pertanyaan kakak iparnya. "Amin, "sahutnya.
"Minggu depan?" sela Tantra. "Minggu depan kan waktunya..., "ia memandang istrinya.
Nada mengangguk. "Iya, Mas. Kata dokter, waktunya anak kita lahir."
Rafa memandang kakak iparnya. Hatinya masih saja heran melihat jalan hidup kakak semata wayangnya ini. Istri jauh lebih tua, cantik juga tidak, masih ditambah warna kulit yang coklat tua, dan... kalau nanti bayi mereka lahir, jangan-jangan kulitnya saingan sama papan catur...ups! Rafa buru-buru berightisfar. Kok, dia jadi mengejek kakak ipar sama bakal kemenakan?
Langganan:
Postingan (Atom)