Minggu, 06 Februari 2011

Di Arung Jeram Cinta

"Dari siapa?"
"Tidak jelas, "jawab Nada menggeleng. "Tahu-tahu, diputus."
"Kan ada namanya di hp."
"Sepertinya dia telepon dari wartel."
"Kalau penting kan nanti telepon lagi, "ujar Tantra memandang istrinya yang terlihat gelisah. "Kau kenapa?"
Nada menggeleng lemah. "Entahlah, perasaanku tidak enak."
"Penasaran siapa yang telepon tadi?"
Nada mengangguk. "Sudah dua bulan Lisa temanku tidak bekerja lagi."
"Apa hubungannya dengan telepon tadi?"
Nada tidak langsung menjawab. Ia malah memperhatikan suaminya yang sibuk mengunyah rujak manis pesanannya. Kasihan Lisa, pikirnya. Dulu aku sudah memintanya untuk berpikir masak-masak sebelum menerima lamaran itu. Tetapi, tampaknya Lisa sudah terbuai bujuk rayu laki-laki bejat itu....
Melihat istrinya diam saja, Tantra menghentikan kegiatannya. Tangannya menyentuh punggung tangan Nada membuat wanita tersentak kaget.
"Melamun?"
Nada menghela napas. "Aku mencemaskan Lisa."
"Dia kan sudah bersuami."
"Dia sahabatku, adikku. Kami sudah bersama-sama selama lima tahun, "tukas Nada melotot. Ia menggunakan sapaan 'adikku' untuk menggoda suaminya dan tidak bermaksud meremehkan. "Kakakmu ini selalu bisa kalau ada merasakan sesuatu yang menimpa dirinya."
Tantra tersenyum, ia samasekali tidak tersinggung dengan sapaan istrinya yang terkadang memasalahkan perbedaan usia. "Jadi adikmu ini belum apa-apa dibanding sahabatmu itu ya, kakakku."
Gantian Nada yang merasa geli. Ia membatalkan niat menelan es jeruk nipisnya.

Sementara itu Meyra memperhatikan suami istri itu dengan penuh kekaguman. Jadi itu istri Tantra? Aku baru tahu. Tidak ada cantiknya samasekali dan kelihatannya lebih pantas jadi kakak...kok mau ya, suaminya? Tapi, dengan begini, pasti tugasku sedikit lebih ringan..., gadis itu mengulum senyum. Baik, besok, selesai kuliah, aku akan beraksi. Hm...apa susahnya merayu laki-laki? Menurut cerita Mas Herman, Tantra terkenal menjaga jarak dengan rekan wanita. Wah...mesra sekali, pakai peluk pundak istrinya!


Wanita itu terduduk di sudut kamar. Ia seorang diri saat ini. Sinar mentari yang cerah tidak mewakili suasana hatinya. Ia, Lisa, merasa terpuruk dalam kegelapan yang tak kunjung berakhir.
Alangkah berbedanya, Danar yang dulu dengan sekarang. Menyesal, karena tidak menghiraukan nasihat Nada, sahabatnya yang baik hati itu. Malah sempat mengoloknya karena menikah dengan anak kemarin sore.
"Aku sudah pernah mengenalnya, Lisa, "ujar Nada sore itu ketika mereka bersama-sama menuju pintu keluar rumah sakit. "Tolong, pikirkan lagi, kalau kau jadi istrinya...habislah...."
"Nada, kau sudah lama putus dari Mas Danar, kumohon jangan menjelek-jelekkan dia. Justru sebenarnya aku kasihan kepadamu."
"Apa maksudmu?"
"Ya, kamu menikah dengan anak kemarin sore, dia sangat pantas jadi adikmu, Nada. Apa kamu lupa waktu dibawa ke UGD, dia masih pakai seragam SMA? Atau jangan-jangan karena anak ingusan itu, kau tega memutuskan pertunangan dengan Mas Danar?"
Merah padam seketika wajah Nada. Hampir saja ia menjawab, tetapi seseorang meraih tangannya lembut. Ia menoleh.
"Kita pulang, Mbak, "ajak Tantra.
Nada mengangguk sambil tersenyum.

Lisa menarik napas dengan sesak. Ternyata Nada benar, ia tak tahu apa-apa tentang Danar. Nada yang jauh lebih tahu! Belum sebulan menikah, Danar sudah menampakkan sifat aslinya. Melawan? Mana berani! Sekarang Lisa benar-benar tergantung kepada suaminya. Apalagi, sejak Danar melarangnya bekerja dan tabungan pribadinya nyaris tak bersisa.
Brak!
Lisa tersentak. Ingin rasanya lari, tetapi sekujur tubuhnya terasa lemah tak berdaya.


Tidak ada komentar: