Selasa, 15 Februari 2011

Di Arung Jeram Cinta (Bab VI)

Salah satu sifat Tantra yang kurang disukai Nada adalah terlalu mudah menaruh belas kasihan kepada orang lain. Bagi Nada bukan masalah, jika orang tersebut saudara, teman atau tetangga dekat, tetapi kalau orang yang belum pernah dikenal samasekali?
Tetapi itulah Tantra. Ia sudah terbiasa berpikir baik tentang orang lain. Nada tak habis pikir setiap melihat suaminya itu bercanda dengan Banu. Padahal, dulu, adik iparnya membuatnya terkapar koma selama berminggu-minggu di rumah sakit.

Meyra melihat Tantra keluar dari ruang kerja. Dengan langkah bergegas, gadis itu menghampiri.
"Maaf, mengganggu, "ucapnya sopan sambil mengiringi langkah laki-laki itu.
Tantra menghentikan langkah. "Mbak cari siapa?"
Meyra tak segera menjawab. Ia sibuk menenangkan gemuruh di dada. Oh, laki-laki di hadapanku ini benar-benar hasil karya Tuhan yang luar biasa! Bagaimana lagi dengan Nabi Yusuf? Yang ini saja, sudah membuatku ....
Tantra mengerutkan kening melihat gadis di depannya bukannya menjawab, tetapi malah tampak tersipu-sipu.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
Meyra tersentak. Ia tampak gugup bercampur malu.


Nada menyelimuti Lisa yang terbaring di ranjang. Dokter Ratih baru saja menuliskan resep untuknya.
"Terima kasih. Dokter, "ujar Lisa memperhatikan dokter berbusana muslimah yang tampak anggun itu.
"Sama-sama, Mbak, "sahut Ratih tersenyum ramah. Ia menoleh ke arah Nada yang berdiri di dekat pintu. "Kita bicara di luar, "bisiknya.
"Lisa, kamu istirahat, ya, "ujar Nada sebelum menutup pintu.
Lisa tersenyum.

Di ruang tengah Rafa duduk membaca majalah. Gadis itu menoleh saat mendengar suara orang bercakap-cakap. "Bagaimana dengan Mbak Lisa?"
"Dia sedang istirahat, "jawab Nada.
"Mana resepnya? Biar Rafa yang tebus."
Nada menyerahkan selembar kertas putih kepada adik iparnya.
"Nanti di apotek, minta kopi resep, Dik, "saran Ratih.
"Iya, Dok, "sahut Rafa. Ia pun meletakkan majalah yang dibacanya di atas meja.
"Uangnya, Dik?"
Rafa tersenyum. "Pakai uangku dulu, Mbak."
Nada balas tersenyum. "Terima kasih, ya."
Rafa mengangguk dan meraih tasnya.
"Silakan duduk, "ujar Nada.
"Terima kasih."
"Sepertinya ada hal serius yang ingin kausampaikan."
Ratih tersenyum. Nada adalah teman sekelasnya saat duduk di bangku SMA. Ternyata temannya itu tidak banyak berubah, tetap anggun dan lembut.
"Memang, "katanya sejurus kemudian. "Aku menemukan luka-luka di beberapa bagian tubuhnya."
"Maksudmu Lisa?"
"Ya. Dia sahabatmu?"
"Ya, dan juga teman seprofesi. Hanya saja dia sudah tidak bekerja lagi. Lalu, menurutmu bagaimana dengan luka-luka itu?"
Ratih memasang tampang serius. "Aku menduga ini masalah domestik."
"Masalah domestik?" Nada membuka tas karena mendengar ponselnya bernyanyi. Ibu? Wanita itu tampak heran. Tidak biasanya Ibu meneleponku jam sebelas siang?

Tidak ada komentar: