Senin, 20 Juli 2009

Dunia Sejauh Mata Memandang

Profesor Doktor Muhammad Afan Maulana

Ingin rasanya Irfan menjelma menjadi Anatsena, tokoh pewayangan yang bisa membenamkan diri ke bumi. Benar-benar jauh di luar dugaannya.

"Pilihan diksi dan majas berantakan, pengaturan tipografi tidak menunjukkan keterkaitan makna....Puisi asal jadi, nyaris tidak dapat disimpulkan maknanya, judul dan isi tak ada hubungan samasekali...Mengapa menulis puisi seperti ini? Kalau hanya seperti ini, saya yakin murid SD akan mengalahkanmu."

Pria jangkung bersahaja yang duduk di hadapannya dengan meja yang membatasi mereka itu tersenyum. "Terima kasih, Saudara Irfan. Komentar-komentar Anda membangkitkan semangat saya untuk terus belajar sehingga bisa menghasilkan karya berkualitas tinggi."

Sekarang Irfan bukan lagi ingin menjadi Antasena, tetapi kalau bisa sekalian memiliki aji halimun yaitu mampu mengubah diri menjadi asap lalu menghilang. Ia merasa dirinya benar-benar bodoh.

"Oh ya, kapan-kapan saya ingin berkunjung lagi. InsyaAllah, saya akan mengajak kemenakan saya. Ia pasti bangga dapat berjumpa dengan penyair terkenal seperti Anda."

"Oh, silakan, Prof, dengan senang hati."

Setelah sang tamu mohon diri, Irfan masih tertegun di depan gerbang. Belum pernah ia merasa malu seperti ini. Kapan-kapan kalau sang tamu berkunjung lagi, dia akan mengenakan topeng.

Pria yang baru saja datang itu bernama Profesor Doktor Muhammad Afan Maulana. Beliau adalah seorang pujangga dan eseis terkenal bahkan sampai lintas benua. Penghargaan yang diterimanya mungkin lebih dari seratus, baik dari dalam dan luar negeri. Tetapi yang paling membuat Irfan malu bukan kepalang adalah karena Profesor Afan merupakan mantan dosen luar biasa untuk matakuliah apresiasi sastra dan kajian cerita rekaan semasa ia menjadi mahasiswa di Universitas Kencana.

Mengapa tidak terlintas sedikit pun di benakku kalau yang menulis amntologi puisi itu Profesor Afan? desah pemuda dalam hati.


Aku menari bersama senja

tapi ia lenyap ditelan malam

oh, duka hatiku

Aku menari dengan bayangan

Aku hanya menari di dalam angan

Oh, resah hatiku!

Merinding bulu roma Satya membaca coretan di atas selembar kertas gambar itu. Ia merasa dibawa ke negeri asing yang belum pernah dilihatnya bahkan dalam dunia khayal sekalipun.

Ayah belia itu menghampiri gadis kecilnya yang sudah terlelap. Betapa murung wajahnya seolah-olah menyandang beban yang sangat berat.

Terdengar langkah kaki. Itu pasti Reni. Istrinya itu selalu pulang larut malam. Satya tak mengerti bagaimana mungkin Reni menitipkan anak kandungnya kepada Mawar, adik iparnya. Ia bahkan tampak tidak merasa bersalah samasekali, sebaliknya malah merasa lega ada yang bersedia mengurus anaknya.

"Baru pulang?" Satya menghadang istrinya yang akan masuk kamar.

"Seperti yang kamu lihat."

"Kapan kamu memberikan perrhatianmu untuk anak kita?"

"Aku lelah, besok saja kita bicara."

Satya terdiam. Reni selalu menghindar dengan berbagai cara jika ada yang mengajak berbicara tentang Avisha. Entah mengapa perempuan itu seperti tak menyayangi darah dagingnya.

Dan seperti biasa, Satya memilih untuk mengalah.

Dunia Sejauh Mata Memandang

Menari dalam Bayangan

Sejak mendengar cerita Ibu tentang komentar pedas Irfan, Bapak ikut prihatin. Beliau sangat berharap putra tunggalnya dapat mengikuti jejak kakeknya, seorang pujangga besar pada masanya namun tetap rendah hati.

Malam itu seusai makan malam, tidak seperti biasanya Bapak menemani Irfan yang sibuk di depan komputer.

"Siapa Anggrek Bulan? Puisinya bagus sekali."

"Memang Bapak tahu puisi bagus atau tidak?"

"Irfan, Irfan, jelek-jelek begini, bapakmu dulu pernah beberapa kali menjuarai lomba puisi walaupun cuma tingkat provinsi."

Irfan menoleh. Ia menatap ayahnya tak percaya.

Bapak tersenyum. "Lalu kaupikir dari mana bakatmu itu?"

Irfan terdiam.

"Kakekmu, ayah Bapak malah penyair besar pada zamannya. Namanya terkenak sampai mancanegara. Banyak karyanya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa."

Bapak tersenyum melihat putranya yang tampak merenung.

"Oh ya, kamu sudah pernah bertemu dengan Anggrek Bulan?" Bapak mengalihkan pembicaraan. "Puisinya mengandung nilai sastra dan estetika yang sangat tinggi."

"Belum, Pak. Paling-paling penyair kagetan."

"Penyair kagetan?"

"Penyair kagetan itu orang yang tiba-tiba ingin menulis puisi."

Bapak membaca puisi yang yerpampang di layar koimputer. "Tapi menurut Bapak, puisi ini bukan karya penyair kagetan."

"Maksud Bapak?"

"Ya, itu tadi, rangkuman baitnya bernilai sastra tingkat tinggi dan rasa estetikanya sangat kental."

Irfan mengerutkan dahi. Ia tampak tak sependapat dengan ayahnya.

"Olahan kata yang dibuat-buat. Seharusnya kamu menulis dengan hati...Ini komentarmu?"

Irfan mengangguk.

Bapak menarik napas. "Seorang penulis jangan sampai terperangkap oleh dunianya sendirinya, sehingga ia menganggap bahwa luas dunia hanyalah sejauh mata memandang."

"Dunia sejauh mata memandang? Maksud Bapak?"

"Seorang yang mengira pengetahuannya sangat luas padahal itu hanyalah perkiraannya belaka. Kalau Bapak membaca komentar-komentarmu...terus terang kamu terperangkap oleh duniamu, terperangkap eforia kebanggaan."

Malam hening hanya terdengar detak jam dinding. Dua insan bertalian darah itu tenggelam dalam diam.


Mawar memperhatikan kemenakannya yang sedang mencoret-coret di atas secarik kertas. Pasti anak itu menemukan inspirasi untuk menulis puisi. Mahasiswi fakultas psikologi itu semakin yakin bahwa Avisha termasuk anak berbakat. Bila ditinjau dari kecerdasan majemuk, mungkin ia memiliki kecerdasan intrapersonal dan lingustik yang luar biasa. Umumnya anak seusia Avisha masih bermain-main dengan dunia khayal, tetapi gadis kecil itu sudah belajar menelaah kekurangan diri. Ia pun memiliki perbendaharaan kata jauh di atas anak sebayanya dan mampu menjalin kata-kata itu dengan struktur yang benar serta dapat menimbulkan kesan mendalam.

"Nulis puisi lagi, ya?"

Avisha mengangguk. Pandangannya tetap tertuju pada selembar kertas itu.

Mawar sudah mengetahui kebiasaan Avisha jika akan menulis puisi. Coretan di atas kertas itu adalah reflleksi puisi dalam bentuk gambar.

"Boleh Tante tahu judulnya?"

"Judulnya...menari dalam bayangan, Tante...."

Mawar bergetar mendengarnya. "Ah, Pisa bisa saja. Ceritanya tentang apa?"

"Kan belum selesai, Tante. Tante sabar dulu, ya."

Mawar tersenyum. Tersenyum, walaupun perasaannya mendadak aneh.




Kamis, 16 Juli 2009

Dunia Sejauh Mata Memandang

Semua Masih Misteri

Adalah Reni, ibu muda yang menyesal telah melahirkan anak. Kehadiran Avisha telah mendatangkan setumpuk kesialan yang menimpanya bertubi-tubi. Ya, Reni memang sangat membenci Avisha, anak sematang wayangnya itu. Ada saja baginya alasan untuk memarahi bahkan mencaci maki gadis kecil tak berdosa itu.

Sore itu sepulang bekerja, Satya mendapatkan anaknya duduk meringkuk di sudut kamar. Rambutnya yang tergerai sampai pundak begitu kusam dan acak-acakan. Sepasang bola mata basah menyiratkan kepedihan yang menancap di lubuk hati.

Satya berjongkok di depan putrinya itu. Mereka berhadap-hadapan.

"Jangan menangis, Sayang, "Satya mengusap airmata di pipi gadis kecil itu penuh kasih.

Avisha ikut mengusap airmata dengan kedua tangannya.

Satya tersenyum. "Nah, sekarang Pisa harus senyum, "katanya. "Ayo, Ayah ingin lihat senyum Pisa yang paling manis sedunia."

Avisha tersenyum malu-malu. Satya menarik tangan anaknya lembut dan mengajaknya duduk di tempat tidur.

===========

Irfan tertegun di meja kerjanya. Ia benar-benar terganggu dengan komentar Anggrek Bulan itu. Komentar yang terlalu berani dilontarkan oleh seorang pemula terhadap seniornya. Bukan main lancang Anggrek Bulan itu. Sementara para penyair pemula yang lain begitu terkesima dan memuji-muji karyanya, sebaliknya Anggrek Bulan malah menulis komentar : Saya heran mengapa semua yang mengomentari puisi di atas mengatakan kalau puisi ini sangat istimewa, ajaib, dan menakjubkan? Menurut saya, biasa-biasa saja, sebab kemenakan saya belum tujuh tahun sudah mampu menulis puisi macam begini.

Nah, dapat dibayangkan bagaimana perasaannya penyair terkenal seperti dirinya membaca komentar yang tak berperasaan itu?

Ketika Irfan menyampaikan hal itu kepada ibunya, beliau malah tertawa, "Ya, sekali-sekali menerima komentar pedas kan tidak apa-apa, Fan? Memang cuma kamu saja yang bisa berkomentar pedas?"

"Tapi, Bu....."

"Tapi apa, Fan? Kemarin Ibu sempat membaca komentar-komentarmu di situs. Sepertinya belum pernah sekalipun kamu memuji atau paling tidak mencoba membangkitkan semangat supaya para pemula itu terus berkarya. Caramu berkomentar bisa mematahkan semangat."

"Justru maksud saya, supaya mereka lebih bersemangat, Bu."

"Ibu heran kau selalu menyebut puisi bertema kebaikan, agama dengan ceramah dan bertema semangat, kepahlawanan, atau tanah air dengan pidato?"

Irfan terdiam. Ia memang belum pernah memuji karya seorang pemula. Memang tangannya bisa parkinson jika tidak menuliskan kritikan berkategori celaan. Heran juga, padahal semasa kuliah ia sempat mendapat matakuliah Kritik Sastra selama dua semester.

Irfan tersentak. Seseorang menepuk pundaknya.

"Ada tugas untukmu, "ternyata Damar pemimpin redaksi majalah Kutub Sastra tempatnya bekerja. Ia menyerahkan sebuah antologi puisi yang dijilid sederhana dengan warna sampul hijau daun.

"Dari siapa, Mas?"

"Aku tidak tahu. Nayla yang menyampaikannya kepadaku."

Irfan mengangguk-angguk.

"Kata Nayla, pengarangnya berpesan supaya kamu mengomentari semua karyanya. Mungkin dua minggu lagi dia akan datang."

"Baik, Mas."

===============================

Rabu, 15 Juli 2009

Dunia Sejauh Mata Memandang

Bidadari Mungil Bernama Avisha

Bagi Irfan, sah-sah saja ia melontarkan kritikan pedas untuk karya para pemula itu. Toh, walaupun baru lima tahun berkecimpung di dunia kepenyairan, tetapi sudah ada puluhan penghargaan yang berhasil diraihnya. Dari tingkat antarkeluarga sampai nasional. Ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kualitas karyanya.

Para penyair pemula yang karyanya mendapat kritikan dari Irfan itu umumnya menjawab dengan santun dan menyatakan rasa bangga sekaligus ucapan terimakasih karena seorang penyair sudi membaca dan mengomentari karya mereka. Belum ada yang berani mencela karyanya apalagi membedahnya dari sudut pandang ilmu kritik sastra, sampai akhirnya muncul nama anggrek_bulan.

Satu bulan terakhir ini Anggrek Bulan telah mencantumkan enam karyanya. Irfan ingin sekali dapat menemukan kelemahan yang terdapat dalam keenam karya itu tetapi ternyata hal itu tidak semudah dugaannya.

Ya, ia harus mengakui puisi-puisi karya Anggrek Bulan memang sangat berkualitas. Ia tak sanggup membohongi hati kecilnya.

"Masih penasaran dengan Anggrek Bulan?" tegur Ibu di ruang makan. Malam ini mereka hanya berdua, Ayah mengikuti rapat di Jakarta.

Irfan mengambil dua butir perkedel tahu dari piring kecil berwarna coklat. Hari ini lauk di atas meja perkedel tahu, udang goreng tepung, dan sup makaroni.

"Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya, Bu."

"Siapa tahu dia penyair sepertimu, tapi pakai nama samaran,"tukas Ibu menyendokkan nasi ke piring.

"Puisinya bagus, tapi masih kelihatan kalau hasil karya pemula."

Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Irfan, Irfan, kapan kamu menyadari kesombonganmu, desahnya dalam hati.

============

Satya mengerutkan kening. Ah, mengapa ia baru tahu sekarang. Pantas saja ia sering melihat Avisha berteriak-teriak sendiri di kamarnya. Semula ia mengira Avisha sedang berkhayal atau bercakap-cakap dengan teman khayalannya seperti anak kecil pada umumnya, tetapi setelah Mawar, adiknya memberitahu sesuatu barulah ayah berusia muda itu menyadarinya.

"Kamu lebih tahu tentang Avisha, "ujar Satya mendesah. Entah apa yang berkecamuk di hatinya saat itu.

"Iya, Mas. Aku heran kenapa kalian tidak menyadari bakat Avisha sedikitpun? Dia anak ajaib, Mas. Seharusnya Mas bangga menjadi ayahnya."

Satya tak bisa berkata-kata. Ayah? Dia menjadi ayah karena ketidaksengajaan. Walaupun itu memang kesalahan dia dan Reni, gadis yang sekarang menjadi istrinya, tetapi tetap saja menjadi seorang ayah tanpa rencana yang matang bukanlah pilihannya.

Suasana di teras rumah yang hening itu mendadak pecah oleh suara lantang gadis kecil.

"Padamu Jua! Karya Amir Hamzah!"

Mendadak Satya penasaran. Ia beranjak dari duduknya kemudian menuju kamar si Kecil. Mawar mengikuti.

"Habis Kikis. Segala cintaku hilang terbang. Pulang kembali aku padamu. Seperti dahulu."

Satya terpana. Ia seperti mendengar suara malaikat.

"Kaulah kandil kemerlap. Pelita jendela dimalam gelap. Melambai pulang perlahan. Sabar, setia selalu."

Satya menoleh ke arah Mawar yang berdiri di sampingnya.

"Puisi itu panjang sekali, "bisiknya terheran-heran. "Bagaimana mungkin ia bisa hafal"

Mawar tersenyum. "Itu belum apa-apa, aku bisa menunjukkan yang lebih istimewa yang akan membuat Mas dan Mbak Reni kaget."

"Apa maksudmu, Mawar?"

Mawar tidak menjawab. Ia menunjuk dinding kamar Avisha yang penuh coretan.

Sekali lagi Satya terpana. Itu bukan coretan tak bermakna! Itu lebih dari sekadar coretan!

Sementara gadis kecil yang baru selesai berdeklamasi itu tampak tersipu-sipu mengetahui ada penonton tak diundang.

"Sini, Sayang, "tiba-tiba saja Satya ingin memeluk bidadari kecilnya. Sesuatu yang nyaris tidak pernah dilakukannya.

Avisha tertegun. Tidak biasanya Ayah bersikap seramah itu. Tetapi lihatlah Ayah tersenyum, maka tanpa ragu-ragu ia menghambur menuju dekapannya.

Mawar tersenyum. Rasanya ia juga ikut bahagia, malam itu.

Sayang, Reni belum pulang. Perempuan itu terlalu sibuk dengan organisasinya yang hanya sebagai pelarian.

=================================================================

Sabtu, 11 Juli 2009

El Maut

Teman paling setia menemani
walau selalu dihindari
namun ia terus menghampiri

Semakin dekat dari hari kehari
sebelum diri sempat menyadari
dia telah mengajak pergi

Saat itu tiada waktu lagi
buat kita tuk merias diri,
mengumpulkan emas permata, dan intan baiduri

Begitu dekat di sisi
kokohnya benteng baginya tak berarti
dan tiada pula tempat tuk sembunyi

Rabu, 08 Juli 2009

Puisi Malam

Malam tiba menghampiri bumi
bentangkan sayap menyelimuti cakrawala
dan senja pun perlahan berlalu

Sayup terdengar desah dalam sunyi
dari ranting dan dedaunan yang menyapa
menyambut malam datang bertamu

Dari angin sahabat sejati
ia bersenandung penuh cinta
dan kelamnya malam tak selalu bermakna sendu

Selalu saja ada yang mau berbagi
tiada hiraukan pekat yang tercipta
alunkan dendang puisi penuh rindu

Angin menabur benih dalam sepi
bumi hanyut terlena rayuan angin menerpa
terlahir dari rahimnya sebait syair merdu merayu

Rembulan Menangis

Malam kelam
bertabur berjuta bintang
namun Rembulan terdiam
masa lalu yang terkenang

Langit tak sungguh hitam
tetapi Rembulan enggan memandang
dari tempatnya bersemayam
harap Mentari kan menjelang

Malam seakan hitam
beribu tanya pun hadir memancing
kala Dewi Surya melempar senyum masam
tinggalkan diri untuk berpaling

Tak jua terdengar kokok ayam
seolah pagi tak sudi datang
mengganti malam yang muram
Rembulan sedih dan meradang

Malam kian mencekam
kapan tiba cahya benderang
Rembulan terpekur dalam diam
dari balik kelam memandang

Simpanlah Permata

Lelap kau tidur terlelap
Matamu ceria terpejam rapat
Nyaman engkau kudekap
Mimpi indah hadirlah walau sesaat

Senyumlah engkau tersenyum
Mulutmu mungil terkatup rapat
Ada dendang lirih dari yang terangkum
Genggaman kecilmu begitu erat

Lari kau berlari
Sepasang kaki lincah melompat-lompat
Tiada lelah lewati hari-hari
Bahagia bagimu begitu dekat

Waktu terus berlalu
Begitu cepat
Masa terus melaju
Hingga menoleh pun tak sempat

Petiklah butiran kilau permata
Hasil usaha telah kau dapat
Pancaran sinar mata penuh bangga
Tergambar di sana tekad yang kuat

Simpan permata itu simpanlah
Kunci dalam hatimu rapat-rapat
Jadikan semangat saat melangkah
Pastikan indah harapmu terpahat