Menikmati peran baru, itulah Tantra. Sampai menginjak bulan ketiga ini, tetap saja ayah berusia muda itu mengagumi bayi mungilnya. Biasanya, ia akan memandangi istri dan bayinya itu silih berganti.
"Lihat apa, Mas?"tegur Nada sambil mengganti baju Arsya yang basah oleh keringat. Tantra duduk di sisi ranjang.
"Ternyata anak kita ini wajahnya mirip ibunya, ya."
"Oh, ya?"Nada mengangkat kepala dan punggung anaknya untuk memakaikan kaos. "Kok, aku tidak begitu jeli, ya?"
"Karena Mbak percaya ini anak kita, "sela Tantra, "Jadi, tidak perduli lagi wajahnya."
Nada tersenyum. Lembut, ia mengangkat tubuh si kecil dan mengusap-usap punggungnya. "Biarpun mirip ibunya, tapi tetap ganteng, kan?"
Tantra tertawa.
Pertemuan dua hari yang lalu dengan gadis cantik dan lembutr itu benar-benar menyita pikiran Banu. Belum pernah ia merasakan hal ini sebelumnya. Kalaupun pernah, itu adalah cinta monyet alias milik remaja ingusan. Tetapi, kali ini rasanya begitu berbeda, Banu yakin bahwa dirinya telah menemukan cinta sejati.
Arman tertawa mendengar pengakuan jagoannya itu. "Jadi, kamu suka?"
"Bukan, Pak, tapi jatuh cinta."
"Oh, ternyata jagoan Bapak yang satu ini bisa juga jatuh cinta, ya?"
"Memangnya salah?"
"Oh, tidak. Bapak cuma heran, ini kejutan, "tukas Arman meraih secangkir kopi dari meja ruang keluarga.
"Bapak selalu heran, Ibu juga, "tukas Banu, "Dulu waktu Mbak Nada terima lamaran Tantra, semua heboh."
"Itu wajar, "sambut bapaknya. "Masa kakakmu yang mau tiga puluh manggut-manggut saja dilamar pemuda baru lulus kuliah? Ini kamu, katamu tadi kenal juga tidak, kok bisa percaya gadis itu cinta sejatimu?"
Pertanyaan yang mudah namun sulit untuk dijawab. Banu garuk-garuk kepala. "Eh, Ibu mana, Pak?"tanyanya mencoba mengalihkan perhatian.
"Ada pengajian bulanan di tetangga sebelah. Mungkin setengah jam lagi pulang. Kenapa? Mau curhat sama Ibu juga?"
Banu cengegesan.
Kamis, 27 Oktober 2011
Minggu, 16 Oktober 2011
Secangkir Rindu
Kubaca raut wajahmu pada secangkir hangat susu coklat
yang kautuangkan untukku dalam malam pekat
Kulihat cahaya bulan melekat
pada ombak kecil melaut dalam cangkir hangat
Berapa bulan yang terlewat
masih kuraba sisa senyummu yang rekat
Masih kuraba sisa senyummu yang melekat
dalam secangkir hatiku yang menghangat
yang kautuangkan untukku dalam malam pekat
Kulihat cahaya bulan melekat
pada ombak kecil melaut dalam cangkir hangat
Berapa bulan yang terlewat
masih kuraba sisa senyummu yang rekat
Masih kuraba sisa senyummu yang melekat
dalam secangkir hatiku yang menghangat
Di Arung Jeram Cinta
Tidak mungkin membujuk seorang yang tercabik-cabik jiwanya. Lisa memahami benar hal itu. Meskipun peristiwa itu telah lama berlalu, tetap saja ada bekas yang mencubit jauh di dasar sana. Lisa pun mengerti bahwa Meyra tidak menyimpan dendam walaupun gadis itu tak mau lagi memandang wajah Danar.
Sementara itu Danar memperhatikan istrinya yang melipat setumpuk pakaian dari keranjang. Laki-laki itu menarik napas perlahan. Berapa lama ia menyakiti wanita pendamping hidupnya ini? Ia teringat, selalu saja mencari-cari kesalahan istrinya yang sebenarnya tidak seberapa.
Masih terbayang jelas dalam ingatannya, teramat sering ia mendaratkan tangannya yang kekar ke wajah atau tubuh wanita yang tak berdaya itu. Kalau marahnya sedang memanas di ubun-ubun, maka bukan tangan lagi yang melayang, melainkan ikat pinggang atau cambuk yang akan menghantam istrinya.
Lisa merapat di sudut. Sekujur tubuhnya sakit bukan main. Danar menarik tangannya kasar membuat wanita semakin kesakitan.
"Sudah setiap hari dihajar, masih bodoh juga!"
"Maafkan, saya, Mas...."
"Gara-gara kamu, nomor temanku itu jadi hilang, tahu?!"
"Maaf, Mas, saya...saya tidak sengaja...."
"Heh, "Danar menarik rambut istrinya, "Apa kamu pikir nomor itu bisa muncul lagi kalau kamu minta maaf?"
"Ti...tidak, Mas...,"Lisa menjawab lirih kesakitan karena rambutnya ditarik kuat oleh suaminya.
"Padahal belum tentu, aku bertemu dia dalam waktu dekat ini, "Danar melepas tarikannya kasar sehingga Lisa nyaris terjatuh.
"Maaf, apa Mas tidak mencatat alamatnya? Mas bisa pergi ke rumahnya...."
Bukannya berterima kasih, Danar malah menampar istrinya, "Tidak usah mengajariku, Bodoh! Berani sekali kamu!"
Kali ini Lisa tidak dapat menahan rasa sakitnya. Cambuk yang besar itu mendarat telak menghantam lengan, punggung, dan kakinya.
"Mas...."
Danar tersentak.
Lisa tersenyum. "Mas melamun, ya?"
Danar balas tersenyum. "Bu Dewi benar, Lisa."
"Maksud Mas?"
"Hatimu sangat mulia, "Danar menatap istrinya penuh sayang, "aku juga heran bagaimana dulu aku bisa begitu kejam kepadamu...."
"Sudahlah, itu masa lalu, "tukas Lisa tulus, "yang penting Mas sudah menyadari kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi."
Lihat, lihat, betapa tulus hati wanita ini, tegur hati Danar. Sampai detik ini, ia tidak marah sedikitpun karena perbuatanmu yang biadab. Bahkan juga ketika kau melampiaskan nafsumu kepada gadis malang itu. Ia tidak marah dan berusaha menerima sepak terjangmu dengan lapang dada.
Danar memandang istrinya. Lisa tidak banyak berubah, ia tetap lemah lembut seperti dulu. Hanya saja ia terlihat jauh lebih tegar dibanding sebelumnya.
"Lisa...."
Lisa mengangkat wajahnya.
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan untuk meringankan penderitaan Meyra?"
Lisa menatap suaminya dalam-dalam.
Sudah beberapa minggu ini Banu bekerja di sebuah bank syariah yang terkenal. Setelah dua tahun keluar masuk dan pindah-pindah, akhirnya penuda itu menemukan juga jalan menuju kesuksesannya. Arman dan Tia sangat senang melihat putra bungsu mereka tampak bersemangat setiap kali berangkat kerja.
"Ibu, Bapak mau titip tabungan?"tanya Banu pagi itu setelah menghabiskan sepiring nasi gotreng dan segelas air putih.
"Bapak titip, "sahut Arman.
"Kalau Ibu?" Banu berpaling ke arah ibunya.
Tia menggeleng. "Ibu belum sempat menjenguk kemenakanmu, cucu Bapak sama Ibu.
Kapan, Pak?"
"Minggu ini Bapak belum bisa, Bu."
"Ibu titip saja."
"InsyaAllah, Bu. Mana titipannya?"
Tia beranjak dari ruang makan.
Sementara itu Danar memperhatikan istrinya yang melipat setumpuk pakaian dari keranjang. Laki-laki itu menarik napas perlahan. Berapa lama ia menyakiti wanita pendamping hidupnya ini? Ia teringat, selalu saja mencari-cari kesalahan istrinya yang sebenarnya tidak seberapa.
Masih terbayang jelas dalam ingatannya, teramat sering ia mendaratkan tangannya yang kekar ke wajah atau tubuh wanita yang tak berdaya itu. Kalau marahnya sedang memanas di ubun-ubun, maka bukan tangan lagi yang melayang, melainkan ikat pinggang atau cambuk yang akan menghantam istrinya.
Lisa merapat di sudut. Sekujur tubuhnya sakit bukan main. Danar menarik tangannya kasar membuat wanita semakin kesakitan.
"Sudah setiap hari dihajar, masih bodoh juga!"
"Maafkan, saya, Mas...."
"Gara-gara kamu, nomor temanku itu jadi hilang, tahu?!"
"Maaf, Mas, saya...saya tidak sengaja...."
"Heh, "Danar menarik rambut istrinya, "Apa kamu pikir nomor itu bisa muncul lagi kalau kamu minta maaf?"
"Ti...tidak, Mas...,"Lisa menjawab lirih kesakitan karena rambutnya ditarik kuat oleh suaminya.
"Padahal belum tentu, aku bertemu dia dalam waktu dekat ini, "Danar melepas tarikannya kasar sehingga Lisa nyaris terjatuh.
"Maaf, apa Mas tidak mencatat alamatnya? Mas bisa pergi ke rumahnya...."
Bukannya berterima kasih, Danar malah menampar istrinya, "Tidak usah mengajariku, Bodoh! Berani sekali kamu!"
Kali ini Lisa tidak dapat menahan rasa sakitnya. Cambuk yang besar itu mendarat telak menghantam lengan, punggung, dan kakinya.
"Mas...."
Danar tersentak.
Lisa tersenyum. "Mas melamun, ya?"
Danar balas tersenyum. "Bu Dewi benar, Lisa."
"Maksud Mas?"
"Hatimu sangat mulia, "Danar menatap istrinya penuh sayang, "aku juga heran bagaimana dulu aku bisa begitu kejam kepadamu...."
"Sudahlah, itu masa lalu, "tukas Lisa tulus, "yang penting Mas sudah menyadari kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi."
Lihat, lihat, betapa tulus hati wanita ini, tegur hati Danar. Sampai detik ini, ia tidak marah sedikitpun karena perbuatanmu yang biadab. Bahkan juga ketika kau melampiaskan nafsumu kepada gadis malang itu. Ia tidak marah dan berusaha menerima sepak terjangmu dengan lapang dada.
Danar memandang istrinya. Lisa tidak banyak berubah, ia tetap lemah lembut seperti dulu. Hanya saja ia terlihat jauh lebih tegar dibanding sebelumnya.
"Lisa...."
Lisa mengangkat wajahnya.
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan untuk meringankan penderitaan Meyra?"
Lisa menatap suaminya dalam-dalam.
Sudah beberapa minggu ini Banu bekerja di sebuah bank syariah yang terkenal. Setelah dua tahun keluar masuk dan pindah-pindah, akhirnya penuda itu menemukan juga jalan menuju kesuksesannya. Arman dan Tia sangat senang melihat putra bungsu mereka tampak bersemangat setiap kali berangkat kerja.
"Ibu, Bapak mau titip tabungan?"tanya Banu pagi itu setelah menghabiskan sepiring nasi gotreng dan segelas air putih.
"Bapak titip, "sahut Arman.
"Kalau Ibu?" Banu berpaling ke arah ibunya.
Tia menggeleng. "Ibu belum sempat menjenguk kemenakanmu, cucu Bapak sama Ibu.
Kapan, Pak?"
"Minggu ini Bapak belum bisa, Bu."
"Ibu titip saja."
"InsyaAllah, Bu. Mana titipannya?"
Tia beranjak dari ruang makan.
Jumat, 14 Oktober 2011
Di Arung Jeram Cinta
Entah darimana keberanian itu timbul. Tanpa pikir panjang, Danar mengikuti
Herman yang menemui Meyra di halaman.
Tampak Meyra berdiri terpekur sambil melipat kedua tangan di dada. Kepalanya tengadah menatap langit purnama. Rambutnya yang dibiarkan tergerai tanpa asesoris apapun tampak melambai tertiup angin.
"Meyra...,"hati-hati Herman menegur adiknya.
Meyra tidak memberikan reaksi apalagi jawaban.
"Ada apa, Dik? Kenapa kamu tiba-tiba keluar?"
Kali ini Meyra menoleh dan menatap kakaknya. "Mas, sampai kapan aku harus menderita seperti ini? Rasanya aku selalu dicekam rasa ketakutan dan rendah diri, apalagi... kalau aku harus melihat laki-laki yang merenggut..., "Meyra terdiam, berusaha menguasai emosinya.
Herman menepuk-nepuk pundak adiknya lembut. "Kenapa masih saja kamu ingat-ingat, Dik? Itu sudah berlalu."
Meyra menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa. Mas pikir siapa laki-laki yang mau denganku kalau tahu aku sudah tidak...."
"Meyra,...kau tidak boleh murung terus...."
"Herman, semua memang salahku."
Kakak beradik itu serempak menoleh. Danar menghampiri mereka.
"Aku...aku benar-benar menyesal, "Danar menunduk.
Herman menoleh ke arah adiknya. Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain.
Meyra memejamkan mata dengan pedih mengiris-iris hati. Bagaimana bisa terhapus bayang-bayang kelam itu?
Bertemu teman lama memang menyenangkan. Feri tidak banyak berubah. Ia tetap iseng dan suka bercanda. Setelah dua jam bercakap-cakap, pemuda itu mohon diri. Tantra berjanji akan membantu acara reuni yang akan diadakan.
Tantra membuka pintu kamar. Ia terpaku melihat Nada mencium kening si kecil dengan lembut dan penuh kasih. Tiba-tiba saja ia teringat saat-saat mendebarkan itu. Nada tampak menahan sakit yang sangat sampai-sampai berjalan pun tak sanggup. Baru saat itu Tantra mengetahui beratnya perjuangan ibu melahirkan anaknya.
"Mbak, belum tidur?"
Nada menoleh. "Aku menunggu Mas, "jawabnya tersenyum. "Mas mau minum lagi?"
Tantra menggeleng. "Sudah waktunya kamu istirahat, "tukasnya, "aku bisa buat minum sendiri."
"Mas juga harus istirahat."
"Biarkan malam ini giliranku menjaga Arsya."
Nada menatap suaminya kagum bercampur tak percaya. "Memang Mas mau?"
Tantra mengangguk. "Kenapa tidak? Arsya kan anakku juga."
Tiba-tiba saja wanita itu, Nada, tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Tanpa berkata sepatahpun, ia menggenggam tangan suaminya lembut.
Tantra terkejut, tak menyangka sedikitpun akan reaksi istrinya. Tetapi, itu hanya sebentar karena sesaat kemudian ia membalas genggaman itu.
"Tidurlah, Mbak."
Nada mengangguk dan melepaskan genggamannya sambil tersenyum.
Tantra memperhatikan istrinya yang mengambil selimut. Tidak, sampai saat ini, Tantra tidak menyesal telah menikahi Nada. Meskipun ada selisih usia yang tidak sedikit terbentang diantara mereka, tetapi Nada sangat menghormati suaminya. Wanita itu selalu bersikap merendah setiap berbicara dengannya. Soal wajah dan penampilan fisik, Tantra mengakui istrinya kalah bersaing dengan gadis-gadis di luar. Tetapi, bagi Tantra, setiap kali menatap istrinya yang begitu lembut dan penuh perhatian, semua itu membuatnya menilai bahwa yang di luar sana tidak berarti apa-apa.
Herman yang menemui Meyra di halaman.
Tampak Meyra berdiri terpekur sambil melipat kedua tangan di dada. Kepalanya tengadah menatap langit purnama. Rambutnya yang dibiarkan tergerai tanpa asesoris apapun tampak melambai tertiup angin.
"Meyra...,"hati-hati Herman menegur adiknya.
Meyra tidak memberikan reaksi apalagi jawaban.
"Ada apa, Dik? Kenapa kamu tiba-tiba keluar?"
Kali ini Meyra menoleh dan menatap kakaknya. "Mas, sampai kapan aku harus menderita seperti ini? Rasanya aku selalu dicekam rasa ketakutan dan rendah diri, apalagi... kalau aku harus melihat laki-laki yang merenggut..., "Meyra terdiam, berusaha menguasai emosinya.
Herman menepuk-nepuk pundak adiknya lembut. "Kenapa masih saja kamu ingat-ingat, Dik? Itu sudah berlalu."
Meyra menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa. Mas pikir siapa laki-laki yang mau denganku kalau tahu aku sudah tidak...."
"Meyra,...kau tidak boleh murung terus...."
"Herman, semua memang salahku."
Kakak beradik itu serempak menoleh. Danar menghampiri mereka.
"Aku...aku benar-benar menyesal, "Danar menunduk.
Herman menoleh ke arah adiknya. Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain.
Meyra memejamkan mata dengan pedih mengiris-iris hati. Bagaimana bisa terhapus bayang-bayang kelam itu?
Bertemu teman lama memang menyenangkan. Feri tidak banyak berubah. Ia tetap iseng dan suka bercanda. Setelah dua jam bercakap-cakap, pemuda itu mohon diri. Tantra berjanji akan membantu acara reuni yang akan diadakan.
Tantra membuka pintu kamar. Ia terpaku melihat Nada mencium kening si kecil dengan lembut dan penuh kasih. Tiba-tiba saja ia teringat saat-saat mendebarkan itu. Nada tampak menahan sakit yang sangat sampai-sampai berjalan pun tak sanggup. Baru saat itu Tantra mengetahui beratnya perjuangan ibu melahirkan anaknya.
"Mbak, belum tidur?"
Nada menoleh. "Aku menunggu Mas, "jawabnya tersenyum. "Mas mau minum lagi?"
Tantra menggeleng. "Sudah waktunya kamu istirahat, "tukasnya, "aku bisa buat minum sendiri."
"Mas juga harus istirahat."
"Biarkan malam ini giliranku menjaga Arsya."
Nada menatap suaminya kagum bercampur tak percaya. "Memang Mas mau?"
Tantra mengangguk. "Kenapa tidak? Arsya kan anakku juga."
Tiba-tiba saja wanita itu, Nada, tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Tanpa berkata sepatahpun, ia menggenggam tangan suaminya lembut.
Tantra terkejut, tak menyangka sedikitpun akan reaksi istrinya. Tetapi, itu hanya sebentar karena sesaat kemudian ia membalas genggaman itu.
"Tidurlah, Mbak."
Nada mengangguk dan melepaskan genggamannya sambil tersenyum.
Tantra memperhatikan istrinya yang mengambil selimut. Tidak, sampai saat ini, Tantra tidak menyesal telah menikahi Nada. Meskipun ada selisih usia yang tidak sedikit terbentang diantara mereka, tetapi Nada sangat menghormati suaminya. Wanita itu selalu bersikap merendah setiap berbicara dengannya. Soal wajah dan penampilan fisik, Tantra mengakui istrinya kalah bersaing dengan gadis-gadis di luar. Tetapi, bagi Tantra, setiap kali menatap istrinya yang begitu lembut dan penuh perhatian, semua itu membuatnya menilai bahwa yang di luar sana tidak berarti apa-apa.
Rabu, 12 Oktober 2011
Di Arung Jeram Cinta
Kamar kos Ara sederhana namun tertata apik dan asri. Cakra langsung betah berlama-lama duduk di sana. Meskipun sudah dua kali menemui adiknya, tetapi baru kali ini ia menyempatkan diri mampir ke tempat kos Ara.
"Kebetulan aku tadi praktik buat puding roti, "ujar Ara sambil meletakkan dua gelas jus semangka di meja kecil. "Mas mau coba?"
"Boleh, "jawab Cakra tersenyum. "Kamu sudah makan?"
"Belum, tapi aku sudah nanak nasi dan masak sayur lodeh. Kita makan sama-sama, yuk."
Cakra mengangguk. Ia tidak ingin mengecewakan adiknya.
Sementara itu Ara beranjak dari karpet untuk menyiapkan hidangan.
Feri masih saja terheran-heran, padahal Nada sudah berlalu dari hadapan. Pemuda itu menggamit lengan Tantra.
"Benar, dia istrimu?"bisiknya.
Tantra mengangguk.
"Tapi..., "Feri tampak ragu-ragu khawatir Tantra tersinggung. "Maaf, tadinya kukira dia pengasuh bayimu...soalnya...."
Tantra menoleh, menunggu kelanjutan ucapan kawannya.
"Soalnya...kupikir kamu pasti akan memilih wanita yang sebaya...maaf, kalau aku salah."
Tantra tersenyum. "Tidak apa-apa."
"Kalian bertemu di mana?"
"Kamu masih ingat aku pernah masuk rumah sakit karena koma gara-gara dikeroyok?"
Feri mengerutkan kening berusaha mengingat-ingat. "Rasanya, aku ingat, "ujarnya mengangguk-angguk. "Lalu?"
"Dia perawat yang membantuku sampai sehat."
"Ooh?"Feri tertawa menggoda. "Cinta lokasi rupanya?"
Tantra tertawa.
Mendadak Feri memasang wajah serius. "Jadi, waktu itu kamu masih SMA? Lalu suster itu...?"
"Kalau dia juga mau, apa salahnya?"
Feri terbelalak. "Gila, aku tahu kamu suka nekat, tapi tidak sampai seperti sekarang ini."
"Hei, aku tidak nekat, "tukas Tantra pura-pura tersinggung.
"Kamu salah satu dari beberapa teman kita yang menikah sebelum usia seperempat abad. Tidak menyesal menikah muda? Apalagi katamu tadi, istri sudah setahun jadi ibu rumah tangga seutuhnya?"
Tantra menggeleng.
Feri tampak terkagum-kagum. Ia dapat melihat sinar kebahagiaan yang terpancar dari wajah teman SMAnya itu. Padahal selama ini tidak demikian gambarannya tentang lembaga pernikahan.
"Tantra..., "bisiknya setelah suasana hening beberapa saat.
"Ya?"
"Tiba-tiba terlintas tanya di kepalaku."
"Tentang apa?"
"Kalau malam-malam di kamar, siapa dulu yang ambil inisiatif?"Feri menoleh sambil memasang tampang iseng.
Tantra langsung menyodok lengannya.
"Kebetulan aku tadi praktik buat puding roti, "ujar Ara sambil meletakkan dua gelas jus semangka di meja kecil. "Mas mau coba?"
"Boleh, "jawab Cakra tersenyum. "Kamu sudah makan?"
"Belum, tapi aku sudah nanak nasi dan masak sayur lodeh. Kita makan sama-sama, yuk."
Cakra mengangguk. Ia tidak ingin mengecewakan adiknya.
Sementara itu Ara beranjak dari karpet untuk menyiapkan hidangan.
Feri masih saja terheran-heran, padahal Nada sudah berlalu dari hadapan. Pemuda itu menggamit lengan Tantra.
"Benar, dia istrimu?"bisiknya.
Tantra mengangguk.
"Tapi..., "Feri tampak ragu-ragu khawatir Tantra tersinggung. "Maaf, tadinya kukira dia pengasuh bayimu...soalnya...."
Tantra menoleh, menunggu kelanjutan ucapan kawannya.
"Soalnya...kupikir kamu pasti akan memilih wanita yang sebaya...maaf, kalau aku salah."
Tantra tersenyum. "Tidak apa-apa."
"Kalian bertemu di mana?"
"Kamu masih ingat aku pernah masuk rumah sakit karena koma gara-gara dikeroyok?"
Feri mengerutkan kening berusaha mengingat-ingat. "Rasanya, aku ingat, "ujarnya mengangguk-angguk. "Lalu?"
"Dia perawat yang membantuku sampai sehat."
"Ooh?"Feri tertawa menggoda. "Cinta lokasi rupanya?"
Tantra tertawa.
Mendadak Feri memasang wajah serius. "Jadi, waktu itu kamu masih SMA? Lalu suster itu...?"
"Kalau dia juga mau, apa salahnya?"
Feri terbelalak. "Gila, aku tahu kamu suka nekat, tapi tidak sampai seperti sekarang ini."
"Hei, aku tidak nekat, "tukas Tantra pura-pura tersinggung.
"Kamu salah satu dari beberapa teman kita yang menikah sebelum usia seperempat abad. Tidak menyesal menikah muda? Apalagi katamu tadi, istri sudah setahun jadi ibu rumah tangga seutuhnya?"
Tantra menggeleng.
Feri tampak terkagum-kagum. Ia dapat melihat sinar kebahagiaan yang terpancar dari wajah teman SMAnya itu. Padahal selama ini tidak demikian gambarannya tentang lembaga pernikahan.
"Tantra..., "bisiknya setelah suasana hening beberapa saat.
"Ya?"
"Tiba-tiba terlintas tanya di kepalaku."
"Tentang apa?"
"Kalau malam-malam di kamar, siapa dulu yang ambil inisiatif?"Feri menoleh sambil memasang tampang iseng.
Tantra langsung menyodok lengannya.
Jumat, 07 Oktober 2011
Di Arung Jeram Cinta
Dewi tidak henti-hentinya mengagumi sosok Lisa yang bersahaja. Belum pernah ia melihat istri zaman sekarang yang begitu sabar atas sepak terjang suaminya yang tidak bermoral. Amarah wanita itu mendadak saja hilang ketika melihat Lisa muncul dan menyapa dengan santun dan ramah.
Lisa menyilakan tamu-tamunya menikmati hidangan yang tersedia di meja tamu.
Dewi mengambil biskuit dari toples. Herman dan Meyra mengikuti.
Dewi memperhatikan Lisa yang tampak kurus dan pucat. Tampaknya ia sedang sakit parah. Dalam hati menyesal juga Dewi telah membuat perasaan wanita muda ini bersedih. Tetapi....
"Maafkan suami saya, Bu."
Dewi tercengang. "Jadi...kau sudah tahu?"
"Iya, Bu, "jawab Lisa lembut. "Suami saya juga sudah menyesali perbuatannya."
"Ah, kau istri yang berhati mulia, "Dewi tak dapat menyembunyikan kekagumannya. "Kalau Ibu tidak mengenalmu, rasanya tega melemparkan suamimu ke dalam penjara."
Lisa memandang ke arah suaminya. "Suami saya siap menerima hukuman untuk menebus dosanya."
Danar tersenyum. "Ibu, istri saya benar. Saya bersedia...." Belum selesai Danar berbicara, mendadak Meyra bangkit dan melangkah ke luar.
"Meyra!"panggil Herman.
"Susul adikmu."
"Baik, Bu."
Tantra mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Sebentar, sepertinya aku punya nomor teman-teman yang kamu sebutkan tadi."
"Iya, syukurlah, soalnya aku mau adakan reuni."
"Oh ya? Kapan?"
"InsyaAllah, bulan depan. Sudah ada, sih, beberapa teman yang kuhubungi untuk membantuku, termasuk kamu."
"Mudah-mudahan aku bisa."
"Kurasa kau pasti bisa. Eh, mana istrimu?"
"Tadi masih menidurkan Arsya. Kulihat dulu."
Feri mengawasi teman semasa SMAnya yang berlalu. Ia berpikir seperti apa istri Tantra. Pemuda seperti Tantra pasti akan memilih gadis berkulit putih atau kuning langsat dan bertubuh seksi untuk menjadi istrinya. Mana mungkin ia memilih wanita yang menyuguhkan hidangan tadi itu ....
"Fer, kenalkan istriku."
Feri tercengang. Tantra menggandeng mesra seorang wanita. Wanita yang tadi menyuguhkan hidangan.
Lisa menyilakan tamu-tamunya menikmati hidangan yang tersedia di meja tamu.
Dewi mengambil biskuit dari toples. Herman dan Meyra mengikuti.
Dewi memperhatikan Lisa yang tampak kurus dan pucat. Tampaknya ia sedang sakit parah. Dalam hati menyesal juga Dewi telah membuat perasaan wanita muda ini bersedih. Tetapi....
"Maafkan suami saya, Bu."
Dewi tercengang. "Jadi...kau sudah tahu?"
"Iya, Bu, "jawab Lisa lembut. "Suami saya juga sudah menyesali perbuatannya."
"Ah, kau istri yang berhati mulia, "Dewi tak dapat menyembunyikan kekagumannya. "Kalau Ibu tidak mengenalmu, rasanya tega melemparkan suamimu ke dalam penjara."
Lisa memandang ke arah suaminya. "Suami saya siap menerima hukuman untuk menebus dosanya."
Danar tersenyum. "Ibu, istri saya benar. Saya bersedia...." Belum selesai Danar berbicara, mendadak Meyra bangkit dan melangkah ke luar.
"Meyra!"panggil Herman.
"Susul adikmu."
"Baik, Bu."
Tantra mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Sebentar, sepertinya aku punya nomor teman-teman yang kamu sebutkan tadi."
"Iya, syukurlah, soalnya aku mau adakan reuni."
"Oh ya? Kapan?"
"InsyaAllah, bulan depan. Sudah ada, sih, beberapa teman yang kuhubungi untuk membantuku, termasuk kamu."
"Mudah-mudahan aku bisa."
"Kurasa kau pasti bisa. Eh, mana istrimu?"
"Tadi masih menidurkan Arsya. Kulihat dulu."
Feri mengawasi teman semasa SMAnya yang berlalu. Ia berpikir seperti apa istri Tantra. Pemuda seperti Tantra pasti akan memilih gadis berkulit putih atau kuning langsat dan bertubuh seksi untuk menjadi istrinya. Mana mungkin ia memilih wanita yang menyuguhkan hidangan tadi itu ....
"Fer, kenalkan istriku."
Feri tercengang. Tantra menggandeng mesra seorang wanita. Wanita yang tadi menyuguhkan hidangan.
Rabu, 05 Oktober 2011
Di Arung Jeram Cinta
Memberi kesempatan sekali lagi, itulah keputusan Rafa. Menjadi pemimpin memang dituntut untuk berlapang dada dan memiliki jangkauan pandang-dengar yang luas. Tidak perduli, pemimpin itu masih belia bahkan kanak-kanak sekalipun.
Begitulah, Masto, satpam perusahaan yang dikelola Rafa selamat dari ancaman PHK. Bukan main bersyukur laki-laki itu. Ia bertekad bekerja dengan giat dan menghilangkan kebiasaan buruknya yang bersifat musiman, yaitu menggoda sambil bersuit-suit jika ada gadis atau wanita muda yang melintas di depannya.
Rafa menjalankan perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Pelanggannya cukup banyak dan mereka sangat terkesan dengan pelayanan yang ada. Sudah hampir seratus kasus yang dapat diselesaikan dengan baik dan memuaskan kedua pihak yang bersengketa.
Feri mengamati Nada yang menghidangkan dua tangkup roti bakar dan dua cangkir teh hangat. Dalam hati pemuda itu bertanya-tanya siapa gerangan wanita berjilbab coklat muda dengan jubah senada bermotif kotak-kotak hijau ini.
"Silakan, "ujar Nada.
"Oh, terima kasih, "sahut Feri. "Maaf, Pak Tantra masih lama, ya, Mbak?"
Nada tersenyum. "InsyaAllah, sebentar lagi, Pak. Beliau masih mandi."
"Ya, aku tunggu. Tapi, jangan panggil aku 'pak', aku masih bujangan."
"Oh, kalau begitu, maafkan saya, Mas. Permisi, saya masuk dulu."
"Ya, silakan."
Begitulah, Masto, satpam perusahaan yang dikelola Rafa selamat dari ancaman PHK. Bukan main bersyukur laki-laki itu. Ia bertekad bekerja dengan giat dan menghilangkan kebiasaan buruknya yang bersifat musiman, yaitu menggoda sambil bersuit-suit jika ada gadis atau wanita muda yang melintas di depannya.
Rafa menjalankan perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Pelanggannya cukup banyak dan mereka sangat terkesan dengan pelayanan yang ada. Sudah hampir seratus kasus yang dapat diselesaikan dengan baik dan memuaskan kedua pihak yang bersengketa.
Feri mengamati Nada yang menghidangkan dua tangkup roti bakar dan dua cangkir teh hangat. Dalam hati pemuda itu bertanya-tanya siapa gerangan wanita berjilbab coklat muda dengan jubah senada bermotif kotak-kotak hijau ini.
"Silakan, "ujar Nada.
"Oh, terima kasih, "sahut Feri. "Maaf, Pak Tantra masih lama, ya, Mbak?"
Nada tersenyum. "InsyaAllah, sebentar lagi, Pak. Beliau masih mandi."
"Ya, aku tunggu. Tapi, jangan panggil aku 'pak', aku masih bujangan."
"Oh, kalau begitu, maafkan saya, Mas. Permisi, saya masuk dulu."
"Ya, silakan."
Langganan:
Postingan (Atom)