Masih terus kita berjalan
sedang hari telah beranjak malam
di langit tebaran bintang bergantungan
menyiratkan sinar yang menggenggam
Belum juga kita tiba di perbatasan
sementara waktu tiada mau berdiam
rembulan mengitari bumi, berjalan
tampakkan diri kala surya terbenam
Kembara masih di perjalanan
mencari manik-manik yang dulu tersulam
dan terlepas dari kibar pakaian
menghias kembali dengan intan mutu manikam
Jumat, 12 Maret 2010
Tak Pernah Kuhitung Masa
Telah kuhabiskan waktu sendiri
hingga meranggas pucuk-pucuk cemara
pasrah saat angin mengirimnya
rebah terempas ke bumi
Dulu pada suatu masa yang lama berlalu
pernah kulihat tari gemulai sang cemara
bersama angin melantunkan irama
lagu merdu mengalun indah di telingaku
Telah kuhabiskan waktu tanpa terasa
layu bunga-bunga sebab menua kini
menyatu bersama bumi
hampir tak pernah kuhitung masa
Helai-helai keperakan pun menghampiri
kulihat kelam menggantung di angkasa
gelap menutupi cahaya
hingga pekat tanpa sinar kembali
Catatan : Alhamdulillah, puisi tersebut menjadi berita aktual pada situs www. penulis muda.com minggu ini (Rabu, 12 Mei 2010).
hingga meranggas pucuk-pucuk cemara
pasrah saat angin mengirimnya
rebah terempas ke bumi
Dulu pada suatu masa yang lama berlalu
pernah kulihat tari gemulai sang cemara
bersama angin melantunkan irama
lagu merdu mengalun indah di telingaku
Telah kuhabiskan waktu tanpa terasa
layu bunga-bunga sebab menua kini
menyatu bersama bumi
hampir tak pernah kuhitung masa
Helai-helai keperakan pun menghampiri
kulihat kelam menggantung di angkasa
gelap menutupi cahaya
hingga pekat tanpa sinar kembali
Catatan : Alhamdulillah, puisi tersebut menjadi berita aktual pada situs www. penulis muda.com minggu ini (Rabu, 12 Mei 2010).
Kutanya Sepi
Kutanya padamu, wahai sepi
mengapa kautikam daku dengan belatimu
semburat darah membekas di jejak kaki
lalu sisanya tercecer dalam setiap napasku
Aku bertanya padamu, wahai sunyi
mengapa kauhunus daku dengan pedangmu
gumpalan darah muncrat menempel di dinding bumi
dan sebagian melumuri wajahku
Kutanya padamu, wahai sepi
mengapa kautusuk daku dengan tombakmu
luka parah menganga di sekujur diri
sementara tetesan darah membasahi seiring waktu
mengapa kautikam daku dengan belatimu
semburat darah membekas di jejak kaki
lalu sisanya tercecer dalam setiap napasku
Aku bertanya padamu, wahai sunyi
mengapa kauhunus daku dengan pedangmu
gumpalan darah muncrat menempel di dinding bumi
dan sebagian melumuri wajahku
Kutanya padamu, wahai sepi
mengapa kautusuk daku dengan tombakmu
luka parah menganga di sekujur diri
sementara tetesan darah membasahi seiring waktu
Langganan:
Postingan (Atom)