Selasa, 25 September 2012
Sabtu, 22 September 2012
Cambuk Pelangi
Alhamdulillah, rasa bahagia sekaligus bangga tengah melingkupi keluarga besar kami. Pagi ini, tepatnya pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, pamanku resmi menjadi guru besar di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Pamanku adalah cambuk bagiku, cambuk yang menyiratkan berjuta warna pelangi yang penuh keindahan karena semangatnya yang tak pernah pudar. Mengingatkanku pada pepatah "tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan". Itulah pamanku, si Cambuk Pelangi.
Senin, 10 September 2012
Di Arung Jeram Cinta
Minggu pagi yang cerah. Tidak ada alasan untuk bermalas-malasan meringkuk di balik selimut. Nada mengajak Arsya berjalan-jalan menikmati udara sejuk. Anak yang berumur tiga belas bulan itu tidak menolak bahkan tampak kegirangan.
"Ayah?" tanya Arsya sambil menunjuk Tantra yang masih terbuai mimpi. Ayahnya itu memang baru pulang dari luar kota menjelang dini hari.
"Ayah istirahat, "jawab Nada sambil merapikan kaos yang dikenakan anaknya.
"Capek?"
"Iya, "Nada tersenyum, "Kakak Arsya sama Ibu saja, ya?"
Arsya mengangguk.
Sementara itu Tantra terbangun. Ia memicingkan mata melihat istri dan anaknya bersiap-siap pergi. "Lho, mau ke mana? Kok Ayah tidak diajak?"
Nada tersenyum. "Ayah istirahat saja, "sahutnya.
Arsya memegang pergelangan tangan kanan ayahnya dan memijit dengan jari-jarinya yang mungil. "Capek, ya?"
Tantra tidak bisa menahan senyum. "Iya, " jawabnya.
"Pijit cama Kakak?"
"Nanti saja, Kakak temani Ibu jalan-jalan dulu, ya?" Tantra beranjak duduk.
"Nanti saja, Kakak temani Ibu jalan-jalan dulu, ya?" Tantra beranjak duduk.
"Ya."
"Ayo, pamit Ayah dulu."
"Ayah, Kakak alan-alan."
"Iya, Kakak, "Tantra tersenyum.
"Berangkat dulu, Mas, "Nada tersenyum lembut.
"Hati-hati, Mbak, "sahut Tantra sambil membalas senyum istrinya.
"Iya, Mas."
Tantra memperhatikan istrinya yang tampak anggun dengan busana muslim putih tulang berhias manik-manik keemasan pada kedua saku dan jilbab senada. Wanita itu memang lemah lembut luar biasa, tidak hanya kata-kata tetapi juga sikapnya. Ia begitu santun terhadap suaminya yang jauh lebih muda. Belum pernah sekalipun Nada bersikap kasar apalagi melawan suaminya itu.
Entah sudah berapa puluh kali, Tantra mendapatkan pertanyaan yang nyaris sama perihal istrinya. Kalau bukan pertanyaan mengapa mau sama yang lebih pantas jadi kakak atau bibi, ya, apa tidak takut kalau bosan nanti diam-diam malah selingkuh (perasaan yang namanya selingkuh biasanya memang diam-diam...kecuali yang tidak biasa). Tetapi yang paling membuat dirinya gerah kalau pertanyaan itu sudah mengarah pada soal yang sangat pribadi, misalnya....
"Eh, istrimu selalu mau, ya?" tiba-tiba Feri berbisik.
"Mau apa?" Tantra yang sedang membaca berita lewat laptop, balik bertanya.
"Ah, pura-pura, ya...yang itu?"
Tantra mengalihkan pandangan dari laptopnya. "Aku tidak pura-pura, "tukasnya dengan tatapan serius.
Feri tertawa. Ia menoleh kepada Surya yang duduk bersandar di sudut kamar Feri. "Teman kita memang benar-benar lugu, Sur."
"Sur? Namaku bukan Kasur, "Surya malah menimpali dengan reaksi sesuai peribahasa "Jauh panggang dari api".
Feri gondok bukan kepalang.
Tantra mengulum senyum. Tentu saja ia tahu maksud Feri. Sejak zaman kuliah otak temannya yang satu ini memang dipenuhi dengan pikiran-pikiran vulgar kalau tidak mau disebut pornografi. Pantas saja hampir semua teman wanita terbirit-birit melihatnya. Mungkin kevulgaran Feri sudah terlihat dari sorot mata atau kata-katanya yang hampir selalu menjurus ke daerah terlarang.
Tantra melihat jam yang tergantung di dinding. Pukul setengah enam. Tiba-tiba ia merasa harus membantu istrinya membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan.
Langganan:
Postingan (Atom)