Masa-masa pertunangan dengan Danar telah menciptakan trauma yang cukup mendalam bagi Nada. Awal perkenalannya dengan laki-laki itu terjadi saat ia masih berstatus mahasiswi semester akhir di sebuah universitas, sementara Danar yang terpaut enam tahun lebih tua, telah menjadi pegawai di sebuah perusahaan selama tiga tahun. Setelah perkenalan mereka berjalan beberapa bulan, Tia, ibu Nada mendesak agar keduanya segera bertunangan.
Saat itu, Nada sempat bimbang sebab sesungguhnya hatinya telah tertambat kepada Tantra, remaja yang sebaya adiknya. Ia merasa malu, terutama terhadap diri sendiri. Apa kata dunia kalau sampai orang banyak mengetahui isi hatinya ini? Sungguh, ia ingin mengatakan "ya" untuk kesekian kalinya ketika remaja itu datang menemuinya dan menyampaikan perasaannya.
"Tidak, aku tidak bisa, "itu jawaban yang keluar, padahal sebenarnya ia ingin mengatakan, "ya, aku juga".
Ketika Tantra menanyakan alasan penolakannya, maka ia akan menjawab, "lima tahun lagi orang akan mengira kau berjalan dengan ibumu"atau "apa kamu tidak malu menggandeng perempuan kurus, berkulit gelap, dan lebih tua?"
Begitulah, hingga akhirnya Tantra mundur teratur dan Nada pun menyanggupi pertunangannya dengan Danar. Meskipun jauh di dalam hatinya, ia mengharapkan remaja yang baru lulus SMA itu.
Nada begitu terpukul mendengar pengakuan Danar yang mau bertunangan dengannya hanya untuk menambah pengalaman. "Mana mungkin aku tertarik pada gadis sepertimu?"katanya bernada retoris, "kau ini sama sekali tidak cantik, kulitmu seperti biji sawo, dan..."Danar menggeleng-gelengkan kepala, "tapi aku kasihan melihatmu sebab aku tahu tidak ada laki-laki yang mau denganmu."
"Tapi, kenapa kemarin kau mencoba...."
Danar tertawa mengejek sambil mengibaskan tangan kanannya. "Ah, kamu pikir kau begitu cantik sampai-sampai aku berusaha merayumu, ya, kan?Kau salah besar, Manis! Bagiku kau tak lebih sekadar pengisi waktu luang. Aku cuma iseng. Tapi aku yakin kau cuma pura-pura menolakku, padahal...."
"Keluar!"mendadak Nada berdiri dari kursi.
Danar tercengang. "Apa?"
"Keluar!"
"Kamu mengusirku?"
"Ya, keluar!"
"Hei, ini tidak lucu."
"Keluar, pertunangan kita cukup sampai di sini."
"Oh, kau betul-betul menantangku, ya?"
Nada tidak menjawab, telunjuk kanannya mengarah pada pintu rumah yang terbuka lebar.
Danar pun pergi membawa segumpal dendam.
Malam bertabur bintang-gemintang. Arsya baru saja tertidur setelah minum ASI dan bercanda dengan ibunya. Nada tersenyum geli memandangi balitanya yang menggemaskan itu. Ia sudah mulai bisa berjalan walaupun masih harus dititah dengan dua tangan.
"Sudah tidur?"
Nada menoleh dan melihat suaminya berdiri di sampingnya.
"Iya."
"Anak kita tambah ganteng saja."
Nada tersenyum, "Seperti ayahnya."
"Oh, jadi akhirnya kamu ngaku kalau aku ini ganteng, ya?"
Nada mencibir, "Dasar narsis."
Sekarang Tantra yang tersenyum. Kemudian, tanpa sepatah kata diraihnya kedua tangan istrinya, "Apa kamu tidak terpikir satu hal?"
"Tentang apa?"Nada mengerutkan dahi.
"Arsya sudah tidur."
"Lalu?"
"Sekarang sudah malam."
"Iya, lalu ada apa?"
Tantra tersenyum iseng. "Bagaimana kalau kita siapkan hadiah untuk anak kita?"
"Hadiah apa? Mainan lagi? Kan sudah banyak, Mas."
"Bukan itu, Mbak, "tukas Tantra penuh arti, "ini hadiah istimewa."
"Iya, apa?"
"Adik."
Merah padam seketika wajah Nada. Tetapi ia menurut saja saat suaminya mengajaknya keluar dari kamar si kecil.
Masakan buatan istri memang menghadirkan kesan tersendiri bagi suami. Harsa sangat gembira mengetahui bahwa Ara jago memasak. Lebih-lebih setelah merasakan nikmat hasil racikan istrinya yang tak kalah dengan chef bergelar master.
"Mestinya kamu jadi chef, "puji pria itu mengunyah potongan steak yang terakhir.
"Terima kasih, aku senang kamu suka masakanku."
"Kita tak perlu pergi ke restoran."
"Memang tidak perlu."
"Mas Cakra bercerita banyak tentangmu, waktu itu aku membayangkan kalau kau adalah wanita yang hebat."
Ara tersenyum. Ia menuangkan air putih dari botol ke gelas suaminya yang kosong. "Lalu setelah kita bertemu, bagaimana penilaianmu?"
'Ternyata aku salah."
"Salah?"
"Ya, sebab ternyata kau tidak cuma hebat, tapi luar biasa."
Saat itu, Nada sempat bimbang sebab sesungguhnya hatinya telah tertambat kepada Tantra, remaja yang sebaya adiknya. Ia merasa malu, terutama terhadap diri sendiri. Apa kata dunia kalau sampai orang banyak mengetahui isi hatinya ini? Sungguh, ia ingin mengatakan "ya" untuk kesekian kalinya ketika remaja itu datang menemuinya dan menyampaikan perasaannya.
"Tidak, aku tidak bisa, "itu jawaban yang keluar, padahal sebenarnya ia ingin mengatakan, "ya, aku juga".
Ketika Tantra menanyakan alasan penolakannya, maka ia akan menjawab, "lima tahun lagi orang akan mengira kau berjalan dengan ibumu"atau "apa kamu tidak malu menggandeng perempuan kurus, berkulit gelap, dan lebih tua?"
Begitulah, hingga akhirnya Tantra mundur teratur dan Nada pun menyanggupi pertunangannya dengan Danar. Meskipun jauh di dalam hatinya, ia mengharapkan remaja yang baru lulus SMA itu.
Nada begitu terpukul mendengar pengakuan Danar yang mau bertunangan dengannya hanya untuk menambah pengalaman. "Mana mungkin aku tertarik pada gadis sepertimu?"katanya bernada retoris, "kau ini sama sekali tidak cantik, kulitmu seperti biji sawo, dan..."Danar menggeleng-gelengkan kepala, "tapi aku kasihan melihatmu sebab aku tahu tidak ada laki-laki yang mau denganmu."
"Tapi, kenapa kemarin kau mencoba...."
Danar tertawa mengejek sambil mengibaskan tangan kanannya. "Ah, kamu pikir kau begitu cantik sampai-sampai aku berusaha merayumu, ya, kan?Kau salah besar, Manis! Bagiku kau tak lebih sekadar pengisi waktu luang. Aku cuma iseng. Tapi aku yakin kau cuma pura-pura menolakku, padahal...."
"Keluar!"mendadak Nada berdiri dari kursi.
Danar tercengang. "Apa?"
"Keluar!"
"Kamu mengusirku?"
"Ya, keluar!"
"Hei, ini tidak lucu."
"Keluar, pertunangan kita cukup sampai di sini."
"Oh, kau betul-betul menantangku, ya?"
Nada tidak menjawab, telunjuk kanannya mengarah pada pintu rumah yang terbuka lebar.
Danar pun pergi membawa segumpal dendam.
Malam bertabur bintang-gemintang. Arsya baru saja tertidur setelah minum ASI dan bercanda dengan ibunya. Nada tersenyum geli memandangi balitanya yang menggemaskan itu. Ia sudah mulai bisa berjalan walaupun masih harus dititah dengan dua tangan.
"Sudah tidur?"
Nada menoleh dan melihat suaminya berdiri di sampingnya.
"Iya."
"Anak kita tambah ganteng saja."
Nada tersenyum, "Seperti ayahnya."
"Oh, jadi akhirnya kamu ngaku kalau aku ini ganteng, ya?"
Nada mencibir, "Dasar narsis."
Sekarang Tantra yang tersenyum. Kemudian, tanpa sepatah kata diraihnya kedua tangan istrinya, "Apa kamu tidak terpikir satu hal?"
"Tentang apa?"Nada mengerutkan dahi.
"Arsya sudah tidur."
"Lalu?"
"Sekarang sudah malam."
"Iya, lalu ada apa?"
Tantra tersenyum iseng. "Bagaimana kalau kita siapkan hadiah untuk anak kita?"
"Hadiah apa? Mainan lagi? Kan sudah banyak, Mas."
"Bukan itu, Mbak, "tukas Tantra penuh arti, "ini hadiah istimewa."
"Iya, apa?"
"Adik."
Merah padam seketika wajah Nada. Tetapi ia menurut saja saat suaminya mengajaknya keluar dari kamar si kecil.
Masakan buatan istri memang menghadirkan kesan tersendiri bagi suami. Harsa sangat gembira mengetahui bahwa Ara jago memasak. Lebih-lebih setelah merasakan nikmat hasil racikan istrinya yang tak kalah dengan chef bergelar master.
"Mestinya kamu jadi chef, "puji pria itu mengunyah potongan steak yang terakhir.
"Terima kasih, aku senang kamu suka masakanku."
"Kita tak perlu pergi ke restoran."
"Memang tidak perlu."
"Mas Cakra bercerita banyak tentangmu, waktu itu aku membayangkan kalau kau adalah wanita yang hebat."
Ara tersenyum. Ia menuangkan air putih dari botol ke gelas suaminya yang kosong. "Lalu setelah kita bertemu, bagaimana penilaianmu?"
'Ternyata aku salah."
"Salah?"
"Ya, sebab ternyata kau tidak cuma hebat, tapi luar biasa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar