Beberapa hari ini ada kekhawatiran melanda benak Nada. Ia merasa begitu sibuk dengan bayinya sampai-sampai tidak ada waktu untuk berdandan.
Berdandan? Nada terheran-heran sendiri. Sejak kapan ia merisaukan masalah penampilan? Toh, Tantra tidak pernah protes apalagi sampai menginap di tempat lain gara-gara istrinya tidak pernah dandan.
Tetapi, jujur, Nada mulai mencemaskan masalah itu. Setelah melahirkan, banyak yang berubah pada dirinya. Bagaimana kalau nanti suaminya tertarik kepada gadis atau perempuan lain? Sementara, perempuan mana yang tidak simpati melihat Tantra yang memang penuh pesona?
Nada menarik napas perlahan. Si kecil sudah terlelap di buaian.
Pukul lima sore. Feri menatap Tantra yang mengaduk-aduk es jermannya. Rasanya tak percaya Feri mendengar pengakuan teman sebangkunya semasa SMA.
"Jadi, kau sudah menikah?"
Tantra mengangguk.
"Berapa tahun?"
"Satu tahun setengah tahun."
Feri tersenyum lebar. "Ayolah, kau pasti bercanda, Sobat, "tukasnya. "Jangan katakan kalau kamu juga sudah punya anak."
Tantra tersenyum. "Memang sudah, laki-laki, lima belas hari."
Pemuda dua puluh empat tahun itu meneguk limun soda dinginnya dengan susah payah. "Apa? Padahal, dulu kamu terkenal dingin dan pendiam. Sampai-sampai ada beberapa teman yang mengira kamu...maaf, homo...."
"Aku tahu, "tukas Tantra tenang.
Jumat, 23 September 2011
Kamis, 22 September 2011
Di Arung Jeram Cinta
Baik Herman maupun Meyra tak berdaya menghalang-halangi ibu mereka yang sedang murka. Begitu pintu terbuka dan melihat seorang laki-laki, Dewi langsung bertanya tanpa tedeng aling-aling, "Kamu yang bernama Danar?"
"Benar, Bu, ada...." Plak! Belum selesai Danar menjawab, tiba-tiba salah satu pipinya terasa pedih.
"Bunda!"seru Herman dan Meyra serentak.
"Maaf, ada apa?"Danar berusaha sabar sambil mengusap pipinya yang terkena sasaran.
"Haah, tidak usah pura-pura, anak muda!"seru Dewi sambil menuding laki-laki sebaya sulungnya itu. "Kaupikir, aku akan tinggal diam setelah tahu perbuatan bejatmu!"
Meyra cepat-cepat meraih tangan ibunya. "Bunda, sudahlah, "bisiknya.
Dewi melotot. "Apa katamu? Sudah? Tidak ada kata sudah untuk laki-laki mesum semacam dia!"
"Ibu, maafkan saya, "Danar menyela santun. Benar-benar bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dibanding Danar yang dulu, sampai-sampai Herman pun tercengang. "Silakan masuk dulu...."
Untuk kesekian kalinya wanita setengah baya itu melotot. Jadi, laki-laki bejat yang merusak masa depan anak gadisku ini tidak merasa berdosa sedikitpun? Ini tidak boleh dibiarkan!
Cakra tertawa mendengar penuturan istrinya. Afna melirik kesal. "Kok tertawa?"
"Kenapa heran, Bu? tukas suaminya. "Itu kan karena mereka tidak hanya berdua, coba kalau berdua...."
Afna mencibir melihat bola mata suaminya berputar nakal. "Sok tahu, memangnya kenapa kalau berdua?"
"Mereka masih terhitung pengantin baru, kan? Jadi...."
"Ayah jorok!"
"Lho, bukan jorok, tapi romantis..., "Cakra tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Afna sudah beranjak dari sofa ruang keluarga dengan sewot. "Bu, kok jadi marah?!"
Afna tak menjawab. Ia menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Benar, Bu, ada...." Plak! Belum selesai Danar menjawab, tiba-tiba salah satu pipinya terasa pedih.
"Bunda!"seru Herman dan Meyra serentak.
"Maaf, ada apa?"Danar berusaha sabar sambil mengusap pipinya yang terkena sasaran.
"Haah, tidak usah pura-pura, anak muda!"seru Dewi sambil menuding laki-laki sebaya sulungnya itu. "Kaupikir, aku akan tinggal diam setelah tahu perbuatan bejatmu!"
Meyra cepat-cepat meraih tangan ibunya. "Bunda, sudahlah, "bisiknya.
Dewi melotot. "Apa katamu? Sudah? Tidak ada kata sudah untuk laki-laki mesum semacam dia!"
"Ibu, maafkan saya, "Danar menyela santun. Benar-benar bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dibanding Danar yang dulu, sampai-sampai Herman pun tercengang. "Silakan masuk dulu...."
Untuk kesekian kalinya wanita setengah baya itu melotot. Jadi, laki-laki bejat yang merusak masa depan anak gadisku ini tidak merasa berdosa sedikitpun? Ini tidak boleh dibiarkan!
Cakra tertawa mendengar penuturan istrinya. Afna melirik kesal. "Kok tertawa?"
"Kenapa heran, Bu? tukas suaminya. "Itu kan karena mereka tidak hanya berdua, coba kalau berdua...."
Afna mencibir melihat bola mata suaminya berputar nakal. "Sok tahu, memangnya kenapa kalau berdua?"
"Mereka masih terhitung pengantin baru, kan? Jadi...."
"Ayah jorok!"
"Lho, bukan jorok, tapi romantis..., "Cakra tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Afna sudah beranjak dari sofa ruang keluarga dengan sewot. "Bu, kok jadi marah?!"
Afna tak menjawab. Ia menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
Rabu, 07 September 2011
Puisi Idul Fitri
Cahaya itu tak lagi sebersit
namun cerah membentang langit
menyambar habis setumpuk dosa
yang habis meranggas jiwa
Sinar itu tiada sekejap
yang datang lalu lenyap
tetapi hadirkan impian
menggenggam berjuta angan
Selaksa pelangi hiasi angkasa
walau tiada hujan yang menerpa
sebab pelangi itu bersemayam di hati
menyambut hari yang fitri
Catatan: Puisi kilat usang yang kuketik di depan layar komputer adik sepupu, di kota dingin Malang (1 Oktober, 2008).
namun cerah membentang langit
menyambar habis setumpuk dosa
yang habis meranggas jiwa
Sinar itu tiada sekejap
yang datang lalu lenyap
tetapi hadirkan impian
menggenggam berjuta angan
Selaksa pelangi hiasi angkasa
walau tiada hujan yang menerpa
sebab pelangi itu bersemayam di hati
menyambut hari yang fitri
Catatan: Puisi kilat usang yang kuketik di depan layar komputer adik sepupu, di kota dingin Malang (1 Oktober, 2008).
Selasa, 06 September 2011
Di Arung Jeram Cinta
Siapa yang dapat menghalangi niat seorang ibu? Apalagi demi buah hatinya? Begitu pula Herman dan Meyra, keduanya tak sanggup mencegah keinginan ibu mereka yang ingin menemui Danar untuk melabraknya, tentu saja. Ternyata Dewi tak mau tahu bahwa peristiwa itu sudah berlalu berbulan-bulan, baginya laki-laki semacam Danar harus diberi pelajaran. "Antarkan, Ibu, "ujar Dewi meraih tas tangannya dari sofa ruang tamu. "Bu, Meyra sudah tidak apa-apa, "sela Meyra mengikuti ibunya. "Meyra sudah melupakan peristiwa itu."
Dewi menatap putrinya tajam. "Kamu bukan melupakan, tapi berusaha melupakan, "tukasnya. "Dan Ibu tahu, kau belum berhasil."
Melihat adiknya tertunduk, Herman tak sampai hati. "Bu, tolong jangan ungkit peristiwa itu lagi."
Dewi melotot. "Kau belum punya anak perempuan, Herman! Kalau sudah, kau akan tahu bagaimana rasanya kalau anak perempuanmu...,"wanita empat puluh delapan tahun itu terdiam. "Maafkan Ibu, Herman, Meyra... tolong antarkan Ibu ke rumah laki-laki bejat itu."
Herman mengerti bahwa ibunya tak mungkin dibantah lagi.
Perusahaan yang dikelola Rafa sejak awal kuliah hingga saat ini bergerak di bidang jasa. Gadis yang lincah itu sangat prihatin dengan kasus kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Dengan modal nekat, ia berusaha mencari psikolog dan psikiater yang bersedia membantunya.
"Ayah, Rafa tidak cari keuntungan, "ujarnya saat Cakra mengingatkan bahwa usaha semacam itu lebih banyak risikonya dibanding hasil yang diperoleh.
"Kau harus tetap waspada, Rafa,"sahut Cakra serius."Ayah tidak ingin kamu bertindak gegabah."
"Rafa mengerti, Ayah." Sekarang perusahaan milik Rafa telah memiliki tiga cabang yang didirikan di kota-kota kecil, hal itu untuk memudahkan para pelanggan yang bermukim di kota kecil jika ingin menggunakan jasa perusahaan tersebut.
"Silakan duduk, Pak, "Rafa menunjuk kursi di hadapannya yang dibatasi dengan meja presiden direktur. Pak Satpam menurut dengan laku yang kikuk. "Sepertinya Bapak belum lama bekerja di sini, "Rafa membuka percakapan. "Berapa lama?"
"Satu bulan, Bu...."
Rafa mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Sebulan memang aku tidak sempat ke sini karena mengurus tetek bengek kelulusan.
Dewi menatap putrinya tajam. "Kamu bukan melupakan, tapi berusaha melupakan, "tukasnya. "Dan Ibu tahu, kau belum berhasil."
Melihat adiknya tertunduk, Herman tak sampai hati. "Bu, tolong jangan ungkit peristiwa itu lagi."
Dewi melotot. "Kau belum punya anak perempuan, Herman! Kalau sudah, kau akan tahu bagaimana rasanya kalau anak perempuanmu...,"wanita empat puluh delapan tahun itu terdiam. "Maafkan Ibu, Herman, Meyra... tolong antarkan Ibu ke rumah laki-laki bejat itu."
Herman mengerti bahwa ibunya tak mungkin dibantah lagi.
Perusahaan yang dikelola Rafa sejak awal kuliah hingga saat ini bergerak di bidang jasa. Gadis yang lincah itu sangat prihatin dengan kasus kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Dengan modal nekat, ia berusaha mencari psikolog dan psikiater yang bersedia membantunya.
"Ayah, Rafa tidak cari keuntungan, "ujarnya saat Cakra mengingatkan bahwa usaha semacam itu lebih banyak risikonya dibanding hasil yang diperoleh.
"Kau harus tetap waspada, Rafa,"sahut Cakra serius."Ayah tidak ingin kamu bertindak gegabah."
"Rafa mengerti, Ayah." Sekarang perusahaan milik Rafa telah memiliki tiga cabang yang didirikan di kota-kota kecil, hal itu untuk memudahkan para pelanggan yang bermukim di kota kecil jika ingin menggunakan jasa perusahaan tersebut.
"Silakan duduk, Pak, "Rafa menunjuk kursi di hadapannya yang dibatasi dengan meja presiden direktur. Pak Satpam menurut dengan laku yang kikuk. "Sepertinya Bapak belum lama bekerja di sini, "Rafa membuka percakapan. "Berapa lama?"
"Satu bulan, Bu...."
Rafa mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Sebulan memang aku tidak sempat ke sini karena mengurus tetek bengek kelulusan.
Senin, 05 September 2011
Langit di Awal Syawal
Langit tak pernah sebiru ini
berselimut kemilau bak intan baiduri
Angkasa belum pernah cerah begini
berpendar cahaya berwarna-warni
Apakah kalbumu secerah langit biru
Adakah hatimu seluas angkasa tanpa awan kelabu
Sebab alam semesta tengah bersuka ria
menyambut tiba hari sang juara
Pasrahkan diri ke pangkuan Illahi
alunkan senandung dari bait kitab suci
Jagad raya kan iringi
luruh jiwamu dalam kasih tak bertepi
berselimut kemilau bak intan baiduri
Angkasa belum pernah cerah begini
berpendar cahaya berwarna-warni
Apakah kalbumu secerah langit biru
Adakah hatimu seluas angkasa tanpa awan kelabu
Sebab alam semesta tengah bersuka ria
menyambut tiba hari sang juara
Pasrahkan diri ke pangkuan Illahi
alunkan senandung dari bait kitab suci
Jagad raya kan iringi
luruh jiwamu dalam kasih tak bertepi
Langganan:
Postingan (Atom)