Sabtu, 15 Agustus 2009
Pertiwi
ibarat gelas ia berkeping-keping
serpihan kacanya menancap tepat
di sela-sela daging yang terluka
percikkan warna semerah darah
Paras bundaku semakin layu
senyum getir penuh duka menyungging
dari bibir yang terkatup rapat
sesakkan dada hempaskan rasa
menitik air mata dari hati bernanah parah
Keris pusakaku kini hanya benalu
terseret jerit badai yang senantiasa melengking
tersapu ombak yang tak henti melompat
ganas menerjang diri tiada berdaya
menerpa tubuh terkapar lemah
Tak ingin menangis lagi ibuku
namun fajar setia yang menyingsing
hanya mampu menyimpan niat
sebab anak-anak yang durhaka
telah menentang lurusnya arah
Apakah Engkau murka, Tuhanku
pertiwiku berseru hingga iba memancing
menggugah pasukan gagah dan kuat
datang hentikan ratap yang menggema
takut Tuhan semakin marah
Tuhan, kembalikan bundaku yang dulu
laksana embun tatapnya bening
yang sanggup bangkitkan semangat
hingga kami tak lagi bermanja-manja
menghalau segala rintang menjamah
Musim dan Masa
hingga tumbuhkan lagi
kelopak serta daun yang gugur
mencium tanah terbujur
Masa yang telah berlalu
tak kan kembali seperti dulu
sebab dia bukanlah surya
yang setia bersama pijarnya
Hidup hanyalah persinggahan
sambil menunggu tiba giliran
bagai rembulan mengintai malam
berdebar dada terasa menghunjam
Berlalulah barisan musim beriring
temani masa telusuri curam tebing
mengantar kita pada yang satu
bersujud diri di hadapan Sang Pemilik Waktu
Kamis, 13 Agustus 2009
Aktor dan Naskahnya
sebuah buku bersampul kelabu
warnanya nyaris pudar dimakan waktu
seperti tak mau lagi menunggu
Bukankah kita telah ditakdirkan untuk bersama
mengapa masih harus lewati masa dengan jeda
serta keraguan yang menyelimuti jiwa
sedangkan semua telah tercatat sejak dahulu
Tahukah kau buku yang baru kubuka
belum ada setetes huruf yang kutulis
singkirkan keraguan yang menepis
sebab kisah kita tercantum di sana
Lembar-lembar itu berkisah tentang kita
walaupun baru saja melangkah
mungkin setiap manusia harus bisa memilah
bagi lakon yang akan dijalaninya
Baiklah , hapus saja coretan yang tak perlu
tulisan itu hanyalah naskah sandiwara
kita telah ditunjuk memeriahkan pentas dunia
improvisasi akan hasilkan karya spektakuler yang bermutu
Marilah, mari kita mainkan
peran kita layaknya bintang terkenal
siapakah yang berani menyangkal
kitalah aktor tanpa tandingan
Selasa, 11 Agustus 2009
Dunia Sejauh Mata Memandang
Mawar baru saja tiba di lantai dasar Fakultas Sastra ketika seorang pemuda menyapanya. Ia membawa sepucuk surat.
"Mawar!"
"Eh, Aksa, ada apa?"
"Surat untukmu, "jawab pemuda yang disapa Aksa itu menyerah surat yang dibawanya.
"Terima kasih, "Mawar menerima surat itu.
Aksa memandang gadis bersahaja yang berbalut busana muslim itu. Mawar memang gadis idaman. Ia selalu ramah dan lemah-lembut. Rasanya aku sudah menemukan pilihan, aku yakin aku tidak salah pilih...tapi....tapi apakah ia juga merasakan hal yang sama....?
Sementara itu Mawar yang sedang membaca, tidak menyadari ada seseorang yang terus memandangnya dengan perasaan tak menentu.
=============================================================
Aalangkah terkejutnya Satya ketika sampai di sekolah Avisha. Anaknya itu sudah pulang sejak tadi siang, begitulah laporan beberapa guru yang berada di sana. Dari keterangan seorang guru, Satya dapat menebak bahwa istrinya yang menjemput Avisha.
Di sudut kamar Avisha duduk menekuk lutut. Ia merasa sangat sedih. Sedih, marah, kecewa, sekaligus benci bercampur aduk menjadi satu. Gadis itu tidak mengerti mengapa Ibu selalu marah-marah kepadanya. Tadi sepulang sekolah, Ibu sempat menyeretnya ke kamar mandi dan menguncinya di sana selama dua jam.
"Bagus! Kamu membuat kepala pusing!"seru Reni menarik tangan anaknya kasar.
Avisha menjerit kesakitan. Ibu membuat pergelangan tangan kanannya serasa putus.
Bukannya kasihan, Reni malah mengancam, "Menangis lagi, aku siram kepalamu dengan air seember!"
Avisha tampak pucat seketika. Ia belum lupa selama dua jam Ibu menyekapnya di kamar mandi. Tidak, ia tidak mau dihukum lagi. Ingin selamat, gadis kecil itu cepat-cepat mengusap airmatanya.
Reni berlalu. Sebentar lagi acara pertemuan di rumah teman, ia tak mau terlambat. Perduli amat dengan suaminya. Makan malam, ia bisa menggoreng telur atau membeli lauk di kedai sebelah. Ia bukan bayi.
Avisha sedih sekali karena kehilangan tasnya. Tas yang berisi buku-buku pelajaran dan buku puisi hasil karyanya.
Dengan langkah gontai, ia mengambil pensil dari meja belajar. Sambil bersenandung lirih anak itu menggoreskan sesuatu di dinding kamarnya.
===========================================================
Damar menepuk dahinya. Ia tampak panik. Irfan menatapnya kebingungan.
"Jadi kamu sudah bertemu gadis berjilbab pakai blouse batik?"
"Iya, Mas. Kenapa?"
"Kenapa tidak kamu antar dia ke ruanganku?"
"Saya sudah menyuruhnya titip pesan, Mas kan sibuk."
"Lalu?"
"Dia menolak."
Damar menarik napas panjang ditatapnya Irfan dengan serius. "Kalau begitu kamu harus menghubungi gadis itu."
Irfan tampak terkejut. "Tapi, saya tidak tahu nomor teleponnya, Mas."
"Itu yang harus kamu usahakan, "Damar semakin serius. "Saya harap dalam waktu dua puluh empat jam, kamu berhasil menghubunginya."
Irfan semakin panik. "Bagaimana saya bisa menghubunginya kalau namanya saja saya belum tahu?"
Lagi-lagi Damar menghela napas panjang. "Dik Irfan, ini suatu pelajaran berharga bagimu supaya jangan meremehkan orang lain. Kaupikir siapa gadis itu?"
"Mungkin dia ingin memasukkan karyanya atau ikut lomba cipta puisi yang kita adakan...."
Damar tersenyum simpul. "Kamu belum berubah, Irfan, selalu menganggap mereka yang berpenampilan sederhana sebagai orang yang tak tahu apa-apa.''
"Lalu siapa gadis itu, Mas?"
"Bukankah selama ini kamu penasaran dengan Tiara Mawar."
"Maksud Mas Damar, dia Tiara Mawar ?"
"Ya."
Irfan tercengang.
===========================================================
Hari ini Satya mengambil cuti kerja. Ia bersyukur karena hanya tinggal menyusun skripsi untuk meraih gelar Sarjana Sains.
Badan Avisha panas. Ia demam, itulah yang membuat Satya cemas. Ia tidak mengerti peristiwa yang telah menimpa putri tunggalnya itu.
Reni tidak perduli sedikit pun dengan keadaan anaknya. Wanita malah sibuk merias diri di depan cermin.
Satya benar-benar geram tapi tak ada waktu untuk mengurusi istrinya. Ia lebih mencemaskan anaknya. Ayah belia itu bersiap-siap hendak membawa gadis kecil itu ke rumah sakit.
"Ayah...Avisha mau dibawa ke mana...?"tanya gadis itu lirih saat ayahnya memakaikan jaket merah muda.
"Kita jalan-jalan sebentar, "sahut Satya berbohong karena Avisha paling takut melihat rumah sakit. Dalam hati ia bertekad akan mencari rumah sakit bernuansa menyenangkan. Ia tak perduli berapa pun biaya yang harus ia tebus.
=============================================================
Tentu saja bukan perkara mudah mencari Tiara Mawar karena ternyata nama itu merupakan nama pena. Irfan nyaris menyerah karena sudah tujuh jam mengelilingi fakultas sastra tetapi tak seorang pun mengenal mahasiswi bernama Tiara Mawar. Begitu pula saat ia memasuki kantor administrasi untuk menanyakan data mahasiswi tersebut.
"Jurusan apa, angkatan berapa?"tanya pegawai administrasi itu dengan wajah keruh. Irfan sempat menggerutu padahal waktu melayani gadis yang baru keluar, pegawai ini tampak ramah.
"Saya tidak tahu, "jawab Irfan jujur. "Tapi penyair terkenal."
"Itu bukan urusan saya, "tukas pegawai itu tak acuh.
Irfan berusaha sabar. Kalau bukan perintah atasan, sudah ia permak wajah laki-laki sok penting di hadapannya ini.
=============================================================
Profesor Afan menatap Satya yang tampak murung. Pria setengah baya itu menepuk-nepuk pundak adiknya.
"Istrimu sudah datang?"
Satya menggeleng. "Rasanya aku ingin cerai saja, Mas. Aku tak sanggup lagi."
"Tidak, jangan, "tukas Profesor Afan. "Kamu tidak kasihan dengan anakmu?"
"Tapi Reni tak pernah mau memperhatikan Avisha, Mas. Aku tidak tahu kenapa ia membenci anaknya sendiri."
Profesor Afan tersenyum. "Bukankah kamu dulu juga begitu? Tapi syukurlah, kamu segera menyadari kesalahanmu."
Satya mengangguk.
"Kamu mau Mawar yang menjaga Avisha malam ini?"
Kali ini Satya menggeleng. "Kasihan nanti kuliahnya terganggu."
"Tapi dia mau, Satya, "sela kakak sulungnya itu. "Sebentar lagi, selepas Isya, ia datang.''
"Aku selalu merepotkan kalian."
"Jangan begitu, kita bersaudara kandung."
Satya beranjak membetulkan selimut anaknya yang mulai acak-acakan. Profesor Afan memperhatikan dengan perasaan terharu.
"Kata dokter, kapan Avisha boleh pulang?"
"Tergantung kondisi jiwanya, Mas."
Profesor Afan bangkit dari kursinya dan memandang wajah gadis kecil yang lugu itu. Wajah tunas bangsa yang memiliki bakat luar biasa tetapi bernasib malang.
Senin, 10 Agustus 2009
Dunia Sejauh Mata Memandang
Benar-benar kehidupan rumah tangga sarat sandiwara. Begitulah keadaan rumah tangga Satya dan Reni. Tinggal di dalam satu atap, tetapi nyaris tidak pernah bertemu. Kalaupun bertemu, tak pernah bertegur sapa kecuali merasa perlu.
Reni selalu menyiapkan sarapan dengan wajah masam dan Satya menyerahkan uang belanja tanpa sudi memandang istrinya. Mereka baru saling memandang jika bertengkar.
Tetapi kali ini Satya merasa tak sanggup berdiam diri. Ia teringat Avisha yang menangis dalam tidurnya.
"Apa salah Avisha?"tegur Satya sebelum berangkat ke kampus. Ia bersiap-siap mengenakan jaket. "Kenapa kamu tak pernah mau menemaninya sebentar saja?"
"Sudah aku katakan sebenarnya aku tak mau melahirkan anak pembawa sial itu, Satya, "sahut Reni meraih tas tangan di atas meja rias. "Tiga kali aku mencoba aborsi tapi selalu gagal."
Satya terbelalak. Aborsi? Ya, Allah, ia baru tahu kalau Reni pernah berniat sekejam itu!
"Itu kesalahan kita, Ren. Anak kita tidak tahu apa-apa."
"Kesalahan yang hanya sekali kita lakukan, "tukas Reni, "Tapi kamu lihat akibatnya? Penderitaan seumur hidup bagi kita."
"Kamu sebut punya anak itu penderitaan? Apa kamu tidak tahu begitu banyak pasangan yang menikah bertahun-tahun tapi belum juga dikaruniai anak?"
Reni mengibaskan tangannya dengan gaya orang sedang bosan.
Satya berjalan keluar kamar. Ia tidak mau bertengkar lagi. Ia mulai cemas jangan-jangan istrinya mengalami gangguan jiwa. Lagipula Avisha yang sudah memakai seragam dan sepatu siap menunggunya di teras.
===============================
"Sudah ada perubahan, Pak?" tanya Ibu menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas.
"Ada, Bu. Tapi...masih versi anak kita, "jawab Bapak mengambil sepotong tempe goreng.
"Versi anak kita bagaimana maksud Bapak?" Ibu menarik kursi dan duduk.
"Salah satunya seperti ini, "Bapak menunjukkan secarik kertas dan membacanya, "Kamu masih harus banyak belajar menulis puisi. Untuk menambah wawasan, kamu bisa membaca antologi puisi saya yang memenangkan anugerah Karya Gemilang tahun lalu."
Ibu tercengang. Benar kata suaminya, komentar itu asli versi Irfan. "Heran, sudah kena batunya masih belum sadar juga."
"Memangnya pingsan? Tapi jangan khawatir, Bapak masih punya rencana lain. Bapak yakin kali ini pasti berhasil."
"Lho kok sekarang jadi Bapak yang sombong?"
"Siapa dulu istrinya?"
"Lho kok?"
Bapak tertawa sambil menerima piring yang disodorkan istrinya.
==========================================================
'Ah, mengapa kamu malu mengakui kalau puisiku ini memang bagus?'
Benar-benar menjengkelkan.
Tetapi Irfan terpaksa mengabaikan masalah itu untuk sementara waktu, Damar memanggilnya ke ruangan.
"Ini daftar juri yang harus kamu hubungi, "ujar Damar sambil menyodorkan selembar kertas.
Irfan menerimanya dan langsung membaca daftar nama yang tertera di sana. Tiba-tiba ia menemukan nama yang asing. "Tiara Mawar? Siapa dia, Mas?"
Karena tak segera mendengar jawaban, Irfan mengangkat kepala. Ia terkejut melihat pria yang lebih tua sepuluh tahun itu tampak keheranan.
"Kamu belum pernah mendengar nama Tiara Mawar?"
"Belum, Mas."
"Aneh. Padahal ketua penyair pusat yang menunjuk Mawar langsung."
Irfan tertegun. Ah, Anggrek Bulan masih misteri, sekarang muncul pula Tiara Mawar.
=========================================================
Merah padam wajah Reni. Ia benar-benar malu, malu bercampur marah. Belum pernah ada orang yang berani menasihatinya panjang lebar seperti walikelas Avisha yang berlagak banyak makan asam garam itu.
Tanpa mengucap salam maupun mohon diri, perempuan muda itu langsung menarik tangan Avisha yang sedang bermain lompat tali di halaman.
"Tas Pisa, Bu!"
"Tidak usah! Kamu tidak perlu tas itu lagi!"
"Tapi, Bu...!"
"Diam! Ayo, pulang!"
Pak Hafiz terpaku. Ia ingin menolong muridnya itu tetapi khawatir sang Ibu akan semakin marah dan melukai anaknya.
==========================================================
Aktivitas Satya sehari-hari memang luar biasa padat. Pagi sampai sore ia kuliah dan selepas asar sampai pukul delapan malam menjadi tutor di salah satu lembaga bimbingan belajar murid SMP. Akhir-akhir ini Ayah Avisha itu semakin bersemangat karena teringat kesalahannya pada masa lalu. Ia merasa sangat berdosa.
Avisha memang lahir karena kesalahan kedua orang tuanya. Pergaulan yang melewati batas dan norma agama membuat Satya dan Reni yang saat itu baru lulus SMP terjerumus. Mereka sulit menerima akibat kesalahan sendiri. Kalau Reni pernah mencoba menggugurkan kandungannya, maka Satya pernah mencoba tidak mengakui anaknya itu.
Peristiwa itu terjadi ketika Avisha masih berusia dua tahun. Satya terpaksa mengajak ke sekolah. Biasanya ibunya, Mawar adiknya,atau salah satu dari keluarga pihak Reni yang mengulurkan jasa menjaga, tetapi entah mengapa hari itu mereka sibuk. Reni? Jangan harap, sejak melahirkan Avisha sampai detik ini, belum pernah sekali pun ia menyentuh anaknya, kecuali terpaksa.
Bayangkan, remaja berseragam putih abu-abu menggendong balita ke sekolahnya? Pasti heboh jadinya. Ya, itulah yang dibayangkan Satya. Tetapi, ia tak punya pilihan dan tidak mungkin meninggalkan balita sendiri di rumah. Itulah sebabnya ia berangkat lebih awal dari biasanya. Hal itu dilakukannya supaya jati dirinya tidak terbongkar. Mana pantas murid SMA sudah menikah dan menggendong anak?
Sesampainya di taman sekolah, Satya mendudukkan Avisha di sana. Sebelum meninggalkan anaknya, ia berpesan agar si Kecil duduk manis di sana. Padahal Satya bermaksud meninggalkan anaknya itu dan bergegas menuju kelas.
Seperti tak terjadi apa-apa, remaja tujuh belas tahun itu meletakkan tas di laci dan duduk tenang.
"Siap ulangan fisika?"tanya Doni yang datang lebih dulu.
Satya menggeleng lesu. Mana mungkin ia bisa belajar kalau setiap hari selalu ada gencatan senjata?
Doni menatap teman sebangkunya itu serius. "Kulihat kamu banyak berubah."
"Berubah?"Satya terkejut. "Maksudmu?"
Doni menarik napas panjang, "Kita sudah berteman sejak SMP dan kamu tidak seperti dulu."
Satya menunduk. Ia merasa belum saatnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ia agak lega karena Reni tidak satu sekolah dengannya.
"Maaf, kalau aku salah bicara."
Satya tersenyum. "Ah, tidak apa-apa, "sahutnya.
Baru selesai Satya menutup mulut, tiba-tiba terdengar anak kecil menangis, "Hu...hu...Ayah....."
Satya terkesiap. Ternyata menelantarkan anak, tidak semudah dugaannya. Avisha bukan balita yang tidak tahu ke mana harus mencari ayah yang telah meninggalkannya di tempat yang asing ini. Untunglah baru satpam dan mereka bertiga yang datang.
Doni tercengang melihat seorang anak kecil bergaun ungu tertatih-tatih memasuki kelas sambil menangis. "Anak siapa. Satya?"
"Aku tidak tahu, "sahut Satya cepat.
"Tapi dia jalan ke arahmu?" Doni keheranan.
Belum sempat Satya mencari alasan, gadis kecil itu sudah menarik-narik tangannya. "Pulang, Yah...pulang...."
Sekarang Doni benar-benar terbelalak. "Dia anakmu, Satya? Kamu sudah punya anak?"
Satya tak mampu lagi mengelak. Ingin sekali ia membungkan mulut anaknya yang terus merengek-rengek minta pulang.
Untunglah Doni teman yang baik, ia berjanji akan menyimpan rahasia Satya.
"Pulang, Yah..., "Avisha merengek-rengek lagi.
Satya yang sedang menulis surat izin pulang menoleh kepada anaknya dengan kesal. "Sst, diam. Mau dipukul?"
Avisha menggeleng kuat-kuat. Wajahnya tampak ketakutan.
......................................
Ah, setiap teringat peristiwa itu, Satya benar-benar merasa berdosa. Ia merasa menjadi ayah paling kejam di dunia. Untuk apa malu mengakui darah daging sendiri? Bukankah ia lahir karena perbuatan orang tuanya?
Pernikahan Satya dan Reni memang sekadar menutupi aib. Meskipun demikian, bukan alasan yang dapat dibenarkan jika Avisha yang menjadi korban.
Satya menoleh jam yang tergantung di dinding. Pukul empat sore. Ia teringat harus menjemput anaknya yang mengikuti latihan deklamasi untuk lomba bulan depan.
"Mau jemput Avisha, Dik?"tegur Pak Asdi pemilik Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) Sukses tempatnya bekerja.
Satya menoleh. "Iya, Pak."
"Baik, besok jadwalmu padat, siap?"
"Insya Allah, Pak."
Pak Asdi tersenyum. "Selamat jalan, hati-hati."
"Terima kasih Pak."
===========================================================