Hari ini Arsya genap sembilan bulan. Alangkah menggemaskan. Ia sudah mulai belajar berjalan. Tampaknya anak itu mewarisi bakat ayahnya yang tidak suka basa-basi. Lihat saja, caranya berjalan. Entah berapa kali anak itu dan nyaris menabrak meja atau kursi. Karena ngeri, Nada meminta Tantra membeli kereta jalan. Hasilnya pun tidak menggembirakan sedikitpun karena yang terjadi justru Arsya jatuh bersama keretanya.
"Makannya pakai tangan kanan, Sayang, "ujar Nada lembut sambil mendekatkan piring berisi biskuit bayi ke pangkuan anaknya.
Arsya mencomot sepotong dan membuka mulutnya lebar-lebar.
"Eh, makannya yang bagus, "Nada berkata lagi dengan sabar, "Gigit dulu sedikit. Nah, pintar."
Tantra memperhatikan istrinya yang mengajari si Kecil dengan begitu sabar dan penuh perhatian. "Mbak...."
Nada menoleh.
"Kalau mau, aku carikan pembantu supaya kamu tidak terlalu repot."
Nada menggeleng. "Terima kasih, Mas, "jawabnya, "Aku masih bisa kok mengurus semuanya."
Tantra membersihkan remah-remah biskuit yang menempel di baju anaknya. Sementara Arsya dengan lagak tak acuh mengambil lagi biskuit dari piring.
"Yang di mulut belum habis, sudah ambil lagi, "ujar Tantra mengambil biskuit dari tangan anaknya. Apa yang terjadi? Tiba-tiba saja Arsya menangis sekencang-kencangnya. Air matanya berlinang-linang sambil menoleh ke arah ibunya seakan-akan minta pembelaan.
"Ayah tidak marah kok, Sayang, "Nada menggendong lalu menepuk-nepuk punggung anaknya lembut. "Cup, cup, cup, tadi Ayah cuma takut kalau Arsya muntah karena makannya cepat-cepat."
Tantra bengong.
"Tuh, lihat, Ayah tidak marah, "Nada membalik tubuh Arsya untuk melihat wajah Tantra. "Ayo, makan lagi ya, sama Ayah."
Arsya menatap ayahnya dengan pandangan bimbang. Bagaimana rasanya dipangku Ayah, mungkin begitu pikirnya. Ayah tidak bisa melakukannya! Jangan-jangan dia malah tertidur! Lagipula Ayah ini bau apa, sih? Gak jelas aromanya!
Tantra tersenyum masam melihat si Kecil hanya menatapnya dengan tak berkedip. "Dia tidak mau kupangku."
Memang, sahut Arsya dalam hati. Enak sama Ibu, Ibu kan wangi terus. Kalau Ayah, kapan ya mandinya?
Nada beranjak sambil menggendong Arsya. "Mas, aku tidurkan Arsya dulu, ya, "katanya, "Mas langsung istirahat saja, biar aku yang bereskan ruangan ini."
Arsya menatap kedua orang tuanya silih berganti. Ih, kok mau ya Ibu dicium pipinya sama Ayah? Padahal Ayah, baunya aneh!
Pertemuan itu tidak terduga sedikitpun. Tetapi, itulah jalan hidup manusia yang penuh liku-liku.
Awalnya Ara merasa tidak pantas untuk menerima uluran perkenalan dari laki-laki itu. Wanita itu berpikir apakah pantas perempuan seusiaku masih juga berharap? Tetapi pria itu dengan sabar dan santun mengajaknya berkenalan.
"Mas sudah tahu, "sambut Cakra mengejutkan.
"Sudah tahu?"
"Iya, Hasta kan teman kerjaku, cuma dia di bagian dalam."
Ara mengangguk-angguk.
"Dia memang menyenangkan. Kukira kalian akan jadi pasangan yang cocok."
"Tapi...apa dia mau? Aku kan...."
Cakra memeluk pundak adiknya, "Ara, jangan merasa tua untuk memulai, Dik. Kau tidak perlu khawatir, Hasta itu belum menikah dan kalian sebaya."
"Benarkah?"
"InsyaAllah, kalau tidak salah dia lahir bulan Februari."
Aku bulan September, sambung Ara dalam hati. Tanpa sadar bibirnya membentuk seulas senyum.
"Ada pesan untukmu."
"Dari siapa, Mas?"
"Hasta. Katanya, Mas, tolong sampaikan apa adikmu mau jadi istriku?" Ketika menatap wajah adiknya yang tampak bercahaya, Cakra merasa ia telah mengetahui jawabannya bahkan sebelum Ara membuka mulut untuk mengatakannya.
Pria itu belum juga melepaskan pelukan di pundak adik yang begitu ia sayangi sampai ia menyadari hari telah beranjak malam. Cepat-cepat ia meraih ponsel yang berdering dari saku celananya. "Assalamualaikum. Iya, Bu, Ayah ada di kosan Ara. Iya, dia baik-baik saja. Sudah, ya, sebentar lagi Ayah pulang. Waalaikumussalam."
"Mas, aku bawakan sayur kacang merah,ya? Kalian kan suka."
Cakra tersenyum dan mengangguk.