Minggu, 19 Februari 2012

Di Arung Jeram Cinta (Bab XII)


Sejak tanpa sengaja membaca curahan hati Nada itu, Tantra mencoba mengubah perilakunya. Ia tidak lagi menuntut apalagi kecewa kalau istrinya itu terlihat lelah saat menyambut kedatangannya. Nada telah banyak berkorban untuknya.
Malam itu, Tantra lembur. Ia mendapati istrinya tertidur di ruang tengah berkapet. Di dekatnya, Arsya tengah terlelap pula di kereta.
Lelaki muda itu mengamati wajah keduanya dengan saksama. Kedua manusia yang menjadi tanggung jawabnya. Perlahan diciumnya kening si Kecil. Bayi tujuh bulan itu menggeliat sejenak tetap dengan mata terpejam. Sang Ayah memperhatikan sambil tersenyum geli.
Nada membuka mata. Ia tampak terkejut melihat suaminya. Bergegas wanita itu bangun dan berdiri. "Mas, sudah pulang? Maaf, saya tidak tahu, "ujarnya, "Mas mau makan malam sekarang?"
Tantra tidak menjawab hanya menatap istrinya lekat-lekat. Tentu saja Nada jadi salah tingkah dan mengira suaminya marah.
"Mas, maafkan...."
Tantra menggeleng. "Mbak, aku tahu kamu menungguku, "selanya, "Bagaimana kalau kita makan malam bersama?"
Nada tersenyum. "Biar kuhangatkan dulu sup kacangnya, "ujarnya.
"Aku buatkan teh hangat untukmu, "sambung Tantra, "Kau mau?"
Nada mengangguk. Tantra tersenyum dan berbisik dalam hati, betapa lembut dan menawannya istrinya ini. Tetapi, di balik kelembutan itu, ternyata Nada mampu menahan penderitaannya selama bertahun-tahun. Setelah mengetahui semua itu, betapa Tantra tak ingin lagi menyakiti atau membuat sedih istrinya.


Keperawanan. Bukankah itu syarat utama bagi seorang gadis untuk menikah? Meyra tidak memilikinya. Meyra, gadis bukan, janda pun bukan. Dia, Meyra, memang sangat cantik, menarik, dan begitu sempurna,...tetapi... tetapi, dia tidak memiliki syarat utama itu!
Banu mengakui alangkah terkejut dirinya mendengar pengakuan langsung dari yang bersangkutan. Saking kagetnya, hampir saja ia terguling dari kursinya kalau saja tidak berpegangan pada sisi meja. Ia pun meninggalkan tempat seraya lirih mengucap salam.
Sungguh, Banu tak menyangka. Tidak pernah terbesit pun dalam benaknya kalau Meyra pernah melakukan hubungan yang seharusnya dilakukan setelah menikah. Tiba-tiba terlintas dalam bayangan pemuda itu, sudah berapa kali? Dengan siapa saja? Jangan-jangan dia sendiri sudah tidak ingat lagi dengan siapa saja pernah berhubungan. Lama pemuda itu terpekur di motornya sampai akhirnya memutuskan untuk keliling kota mengusir galau.
Banu tidak tahu, sepeninggal dirinya, Rafa menegur Meyra. "Meyra, kenapa tidak kamu ceritakan yang sebenarnya?"
Meyra menggeleng, "Biar saja, Rafa, "sahutnya lirih, "aku bohong atau tidak, toh tetap saja aku bukan gadis lagi."
"Tapi, menurutku, Banu sangat mencintaimu, ia serius ingin menikahimu."
"Itu sebelum dia tahu, setelah tahu, tak ada bedanya dengan laki-laki lain."
Rafa memilih diam. Gadis itu merangkul sambil menepuk-nepuk bahu Meyra untuk menenangkan hatinya.

Tidak ada komentar: