Hasil percobaan? Terus terang saya bingung dengan judul yang tepat untuk tulisanku kali ini. Sebenarnya saya akan menulis tentang kemenakanku yang sulung. Ia merupakan hasil percobaanku yang pertama. Tampaknya kata percobaan kurang manusiawi, tetapi jika diganti penelitian apakah tepat? Penelitian apa? Saya bukan ilmuwan.
Saat kemenakan sulungku lahir, kakakku dan istrinya langsung mempercayakan si mungil kepada Ibu dan Ayah. Itu berarti mereka juga berharap bahwa aku akan menimang-nimang boneka hidup mereka. Kami sama sekali tidak keberatan, malah sebaliknya merasa gembira.
Bagiku seseorang yang mendapat kepercayaan mengasuh anak, tidak boleh sekadar membuat dia kenyang atau tidur nyenyak, tetapi lebih dari itu. Apalagi yang akan kuasuh bukan anak orang lain, tetapi putra kakakku sendiri. Jadi aku tidak mau main-main. Tidak lama setelah aku mendapatkan kepercayaan itu, mulailah aku mencari artikel mengasuh bayi.
Orang tua kemenakanku itu adalah sepasang suami istri yang sibuk bekerja. Bukankah lebih aman, jika nenek atau tante yang mengasuh boneka hidup mereka yang mungil? Gratis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Otakku mulai bekerja. Sudah lama aku menunggu saat yang tepat untuk melakukannya. Rencana itu timbul saat aku membaca artikel tentang menjadikan anak cerdas, jauh sebelum kemenakanku lahir. Aku sangat menyukai isinya dan ingin segera menerapkannya.
“Tante, ayo makan.”
Ah, aku tersenyum melihat kemenakanku yang menyapa saat aku mengambil air putih. Rupanya aku sedang mengenang masa kecilnya yang lucu. Aku menatapnya penuh sayang. Betapa cepat waktu berlalu, ia telah tumbuh remaja dan menuntut ilmu di salah satu SMA Negeri kompleks di Surabaya.
Menggambar manga dan tentu saja membaca buku adalah hobinya yang tidak dapat diganggu gugat. Soal menggambar, mungkin menurun dari ayahnya yang pernah menjuarai lomba menggambar saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Nah, kalau membaca, sudah pasti akibat dari rencana yang kujalankan itu.
Bagaimana tidak kutu buku? Sejak bayi, aku sudah memberinya dongeng sebelum tidur dengan boneka-boneka binatang. Usia tiga tahun, aku mengajaknya berkenalan dengan buku cerita bergambar binatang. Bahkan untuk mengembangkan kecerdasannya, aku tidak pernah membelikannya mainan berupa mobil-mobilan. Sebagian besar mainannya berupa bongkar pasang, buku-buku cerita, pensil warna-warni, dan balok-balok bertuliskan angka dan abjad.
Umur lima tahun ia sudah lancar membaca dan berhitung. Memang bukan hal yang istimewa karena aku tidak mau memaksa dia untuk cepat bisa membaca. Usia balita adalah usia bermain. Aktivitas bermain sudah merupakan kegiatan belajar bagi anak seusia mereka. Belum waktunya menuntut balita untuk bisa membaca.
Kemenakanku bisa membaca karena ia sudah terlatih mengenal huruf dan angka sejak kecil. Ia menjadi suka membaca karena aku yang membiasakannya sejak kecil. Waktu itu aku bertekad membuktikan bahwa anak yang dikenalkan gemar membaca sejak dini akan jadi anak yang cerdas.
Aku sempat melihat daftar nilai UNAS SMP di meja belajarnya. Semuanya berkepala sembilan, hanya angka di belakang koma saja yang berbeda. Nilai terendah ternyata bahasa Indonesia. Pelajaran ini memang membuatnya mengeluh. Aku teringat sempat mengajarinya sehari sebelum ujian atas permintaan kakakku.
“Tante pulang, “ujarku sambil menghampiri keempat kemenakanku yang sedang belajar. Satu persatu mereka mencium tanganku dan kucium kedua pipi mereka bergantian.
“Antarkan Tante sampai ke depan, “kata kakakku kepada si Sulung.
“Iya, Pa, “jawab kemenakanku tanpa banyak bicara sambil mengambil kunci motor yang tergantung di dinding ruang tamu.
Jadi hasil percobaanku itu, eh salah, kemenakanku sekarang sudah bisa membonceng tantenya ini walaupun hanya sampai depan jalan raya (karena belum punya SIM C). Aku suka menggodanya saat turun dari motor. “Cium Tante dulu, “kataku iseng. Sambil tersenyum malu, ia pun mencium kedua pipiku. Biasanya remaja belasan tahun kan malu kalau disuruh mencium ibu atau tantenya di depan umum. He he he.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar