Tak ada yang mencoba berkata-kata lagi sehingga menambah sepinya malam yang semakin larut. Banu yang lelah karena bekerja seharian tidak memahami sikap Meyra. Sedangkan Meyra, sikapnya itu justru untuk menahan emosi yang berjolak di dadanya agar tidak meledak.
Banu menghela napas panjang membiarkan istrinya mengambilkan sehelai handuk untuknya dari dalam lemari. Kemudian laki-laki itu beranjak menuju kamar mandi.
Meyra terpaku ketika suaminya mengambil handuk dari tangannya tanpa sepatah katapun. Oh, tampaknya benar suaminya telah.... Ah! Kalau tidak, mana mungkin ia pulang terlambat. Biasanya, kalau pulang terlambat, ia selalu telepon atau sms, tetapi kali ini tidak, pasti lupa karena terjerat.... Tiba-tiba saja Meyra merasakan bahwa sakit hatinya ini melebihi kejadian tragis yang menimpanya hampir dua tahun yang lalu.
"Apa kamu sanggup hidup bersama dia?" begitu Tia tak dapat menyembunyikan kebimbangannya. Hal ini wajar karena tidak ada ibu yang merelakan anaknya tidak dapat menjalani kehidupan rumah tangga secara wajar.
"Maksud Ibu?"Banu tak memahami makna pertanyaan ibunya.
"Meyra sangat membenci laki-laki...bahkan bisa jadi semua laki-laki...."
"Ibu...,"Banu terkejut, "Itu tidak benar."
"Ya, itu benar, "tukas ibunya mantap, "Kita lihat saja nanti."
Banu tertegun. Jelas, ibu tidak merestui pernikahannya dengan gadis itu. Tetapi, pemuda itu pun tak dapat membohongi perasaannya sendiri bahwa ia benar-benar mencintai dan serius ingin menjadikan gadis itu sebagai istrinya.
Banu telah mengenakan baju rumahnya, kaos abu-abu polos dan trining berwarna senada namun bercorak dua garis memanjang dengan warna lebih cerah.
Ibu mungkin benar, mungkin benar Meyra sangat membenci laki-laki, ujar Banu dalam hatinya. Ia memperhatikan Meyra yang meletakkan semangkuk sayur kacang yang masih panas di atas meja makan. Ibu benar, tapi aku akan terus berjuang uintuk mendapatkan cintanya....
Banu menghela napas panjang membiarkan istrinya mengambilkan sehelai handuk untuknya dari dalam lemari. Kemudian laki-laki itu beranjak menuju kamar mandi.
Meyra terpaku ketika suaminya mengambil handuk dari tangannya tanpa sepatah katapun. Oh, tampaknya benar suaminya telah.... Ah! Kalau tidak, mana mungkin ia pulang terlambat. Biasanya, kalau pulang terlambat, ia selalu telepon atau sms, tetapi kali ini tidak, pasti lupa karena terjerat.... Tiba-tiba saja Meyra merasakan bahwa sakit hatinya ini melebihi kejadian tragis yang menimpanya hampir dua tahun yang lalu.
"Apa kamu sanggup hidup bersama dia?" begitu Tia tak dapat menyembunyikan kebimbangannya. Hal ini wajar karena tidak ada ibu yang merelakan anaknya tidak dapat menjalani kehidupan rumah tangga secara wajar.
"Maksud Ibu?"Banu tak memahami makna pertanyaan ibunya.
"Meyra sangat membenci laki-laki...bahkan bisa jadi semua laki-laki...."
"Ibu...,"Banu terkejut, "Itu tidak benar."
"Ya, itu benar, "tukas ibunya mantap, "Kita lihat saja nanti."
Banu tertegun. Jelas, ibu tidak merestui pernikahannya dengan gadis itu. Tetapi, pemuda itu pun tak dapat membohongi perasaannya sendiri bahwa ia benar-benar mencintai dan serius ingin menjadikan gadis itu sebagai istrinya.
Banu telah mengenakan baju rumahnya, kaos abu-abu polos dan trining berwarna senada namun bercorak dua garis memanjang dengan warna lebih cerah.
Ibu mungkin benar, mungkin benar Meyra sangat membenci laki-laki, ujar Banu dalam hatinya. Ia memperhatikan Meyra yang meletakkan semangkuk sayur kacang yang masih panas di atas meja makan. Ibu benar, tapi aku akan terus berjuang uintuk mendapatkan cintanya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar