Lima belas menit lagi azan magrib berkumandang. Hidangan untuk berbuka puasa telah tersedia di meja makan. Tidak mewah, hanya beberapa butir kurma, empat pisang goreng, dan dua cangkir teh hangat. Berbuka puasa memang sebaiknya tidak berlebihan supaya kita dapat melaksanakan salat tarawih dengan tenang.
Banu menghampiri Meyra yang sedang menaburkan parutan keju di atas pisang goreng yang sudah ia lumuri dengan mentega cair. "Hm, kelihatannya lezat sekali, "ujar Banu mengulurkan tangan hendak mencomot pisang goreng.
"Eh, belum waktunya berbuka, "tukas Meyra pura-pura marah sambil menepis tangan suaminya.
"Aduh, hampir saja, aku lupa kalau hari ini kita puasa."
Meyra tersenyum, "Duduklah dulu, "katanya.
"Baiklah."
Keadaan rumah tangga Banu dan Meyra kembali harmonis. Syukurlah, keduanya dapat menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadan dengan perasaan damai. Tentu saja keluarga besar dari kedua pihak merasa lega dan berbahagia atas kejadian ini.
Terdengar suara azan dari masjid di tepi jalan raya.
"Waktunya berbuka, "ujar Banu.
"Kau mau air putih?"
"Boleh."
********
Aku jatuh hati kepadanya saat pertama melihatnya. Jatuh cinta pada pandangan pertama, begitu istilahnya. Gadis itu tampak berbeda dalam pandanganku. Dia memang bukan gadis yang lemah lembut sikap dan tutur katanya tetapi aku tahu perasaannya begitu mudah tersentuh.
Sebenarnya aku bimbang, sudikah ia menerima pinanganku menjadi istrinya. Tetapi aku yakinkan diriku bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang berniat tulus.
Allah mengabulkan harapanku. Gadis bersorot mata penuh cahaya itu menerima diriku apa adanya tanpa syarat. Akhirnya kami menikah hanya selang dua minggu setelah pinanganku resmi diterima.
Aku teringat banyak yang ingin menghalangi saat kusampaikan niat baikku itu. Mereka berpendapat sayang sekali kalau aku sampai berjodoh dengannya. Kata mereka, aku terlalu tampan untuk gadis yang suka bersikap dan berkata semaunya itu. Lucu sekali mereka itu, tentu saja aku terlalu tampan untuk gadis itu, sebab aku laki-laki sedangkan dia perempuan.
Ibuku juga ikutan demo waktu tahu gadis pilihan putra sulungnya pernah terlibat perkelahian semasa sekolah.
"Masa anak perempuan berkelahi, "begitu katanya, "jangan-jangan nanti suaminya juga akan dia tantang berkelahi."
"Ah, Ibu, ada-ada saja, "tukasku waktu itu, "mana mungkin suami sendiri ditantang berkelahi, lagipula itu kan sudah lama berlalu dan waktu itu dia kan masih remaja."
"Kamu ini kalau dinasihati orang tua, ada saja jawabannya."
Aku tersenyum dan mencium kedua pipi perempuan yang paling kusayangi itu.
Tahukah Ibu, mengapa aku begitu terpikat kepada gadis itu? Memang, dia bukan gadis yang lemah lembut apalagi keibuan seperti Elisa, Nindya, atau Rianti, teman sekantorku, tetapi hatinya begitu lembut dan tulus. Mas Banu, kakak tingkatku waktu kuliah cerita kalau gadis itu sangat membenci orang yang memperlakukan sesamanya dengan semena-menanya. Bukan sekali dua kali gadis itu terlibat perkelahian yang membahayakan dirinya karena membela kebenaran.
"Itu namanya cari mati, "komentar Ibu setelah aku selesai bercerita.
"Lalu kalau diganggu, harus bagaimana, Bu? Apa harus diam saja?"
"Ya, jangan tanya Ibu, kan Ibu bukan perempuan pilihanmu itu."
"Tentu saja bukan, Bu, Ibu kan ibuku."
Benar-benar aku kalang kabut berjuang untuk mendapatkan restu satu-satunya orang tuaku yang masih ada. Tetapi berbeda dengan gadis itu, ia menanggapi kepanikanku dengan sangat santai, tidak terlihat kecemas terpancar dari sorot matanya seandainya kami tidak berjodoh. Sampai-sampai aku sempat berpikir jangan-jangan dia tidak serius ingin menikah denganku.
"Tentu saja aku serius."
"Eh, jam berapa?"
Perempuan itu tersenyum.Waktunya makan sahur, "ujarnya.
"Apa katamu tadi?"
"Waktunya makan sahur."
"Bukan, yang sebelumnya."
"Oh, tentu saja aku serius."
"Hah?"Laki-laki itu langsung beranjak duduk. "Memangnya aku tadi...?"
"Iya, katamu tadi, 'kamu serius mau menjadi istri dan ibu untuk anak-anak kita?' Langsung saja aku jawab, 'tentu saja aku serius', begitu ceritanya."
Merah padam seketika wajah laki-laki itu. Istrinya memang suka jahil, masa menjawab orang mengigau.
Istrinya mengulum senyum dan berkata, "Ayo, keburu azan subuh. Aku buatkan tahu telur kesukaan suamiku."
"Memang siapa suamimu?"
"Menurutmu siapa?"
Laki-laki itu tertawa dan meraih tangan istrinya. Merekapun menuju ruang makan.
Aku jatuh hati kepadanya saat pertama melihatnya. Jatuh cinta pada pandangan pertama, begitu istilahnya. Gadis itu tampak berbeda dalam pandanganku. Dia memang bukan gadis yang lemah lembut sikap dan tutur katanya tetapi aku tahu perasaannya begitu mudah tersentuh.
Sebenarnya aku bimbang, sudikah ia menerima pinanganku menjadi istrinya. Tetapi aku yakinkan diriku bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang berniat tulus.
Allah mengabulkan harapanku. Gadis bersorot mata penuh cahaya itu menerima diriku apa adanya tanpa syarat. Akhirnya kami menikah hanya selang dua minggu setelah pinanganku resmi diterima.
Aku teringat banyak yang ingin menghalangi saat kusampaikan niat baikku itu. Mereka berpendapat sayang sekali kalau aku sampai berjodoh dengannya. Kata mereka, aku terlalu tampan untuk gadis yang suka bersikap dan berkata semaunya itu. Lucu sekali mereka itu, tentu saja aku terlalu tampan untuk gadis itu, sebab aku laki-laki sedangkan dia perempuan.
Ibuku juga ikutan demo waktu tahu gadis pilihan putra sulungnya pernah terlibat perkelahian semasa sekolah.
"Masa anak perempuan berkelahi, "begitu katanya, "jangan-jangan nanti suaminya juga akan dia tantang berkelahi."
"Ah, Ibu, ada-ada saja, "tukasku waktu itu, "mana mungkin suami sendiri ditantang berkelahi, lagipula itu kan sudah lama berlalu dan waktu itu dia kan masih remaja."
"Kamu ini kalau dinasihati orang tua, ada saja jawabannya."
Aku tersenyum dan mencium kedua pipi perempuan yang paling kusayangi itu.
Tahukah Ibu, mengapa aku begitu terpikat kepada gadis itu? Memang, dia bukan gadis yang lemah lembut apalagi keibuan seperti Elisa, Nindya, atau Rianti, teman sekantorku, tetapi hatinya begitu lembut dan tulus. Mas Banu, kakak tingkatku waktu kuliah cerita kalau gadis itu sangat membenci orang yang memperlakukan sesamanya dengan semena-menanya. Bukan sekali dua kali gadis itu terlibat perkelahian yang membahayakan dirinya karena membela kebenaran.
"Itu namanya cari mati, "komentar Ibu setelah aku selesai bercerita.
"Lalu kalau diganggu, harus bagaimana, Bu? Apa harus diam saja?"
"Ya, jangan tanya Ibu, kan Ibu bukan perempuan pilihanmu itu."
"Tentu saja bukan, Bu, Ibu kan ibuku."
Benar-benar aku kalang kabut berjuang untuk mendapatkan restu satu-satunya orang tuaku yang masih ada. Tetapi berbeda dengan gadis itu, ia menanggapi kepanikanku dengan sangat santai, tidak terlihat kecemas terpancar dari sorot matanya seandainya kami tidak berjodoh. Sampai-sampai aku sempat berpikir jangan-jangan dia tidak serius ingin menikah denganku.
"Tentu saja aku serius."
"Eh, jam berapa?"
Perempuan itu tersenyum.Waktunya makan sahur, "ujarnya.
"Apa katamu tadi?"
"Waktunya makan sahur."
"Bukan, yang sebelumnya."
"Oh, tentu saja aku serius."
"Hah?"Laki-laki itu langsung beranjak duduk. "Memangnya aku tadi...?"
"Iya, katamu tadi, 'kamu serius mau menjadi istri dan ibu untuk anak-anak kita?' Langsung saja aku jawab, 'tentu saja aku serius', begitu ceritanya."
Merah padam seketika wajah laki-laki itu. Istrinya memang suka jahil, masa menjawab orang mengigau.
Istrinya mengulum senyum dan berkata, "Ayo, keburu azan subuh. Aku buatkan tahu telur kesukaan suamiku."
"Memang siapa suamimu?"
"Menurutmu siapa?"
Laki-laki itu tertawa dan meraih tangan istrinya. Merekapun menuju ruang makan.