Tiba-tiba saja ide gila itu muncul di benak Meyra. Pagi itu, tanpa sepengetahuan siapapun terutama Banu karena jangan sampai rencana ini diketahui suaminya itu, ia menemui seseorang.
"Aku bersedia membantumu, tapi..."
"Tapi apa? Cepat, katakan."
Wanita itu tampak berpikir keras, kemudian katanya, "Kamu yakin akan melaksanakan rencanamu itu?"
Meyra mengangguk tanpa ragu-ragu.
Wanita berambut ikal sebahu itu menatap Meyra dengan serius. "Kamu sangat cantik, "ujarnya, "Aku yakin suamimu pasti sangat mencintaimu."
"Kau benar...."
"Dia juga penuh perhatian?"
"Kau benar...."
"Dia lembut, penuh kasih sayang, dan belum pernah marah padamu?"
"Kau benar..."
"Oh, "wanita itu menepuk dahinya sendiri, "lalu, apa masalahmu sampai kau punya rencana segila ini?"
Meyra terdiam.
Malam ini hujan deras sekali. Meyra mondar-mandir di ruang tamu. Tidak seperti biasanya Banu pulang terlambat. Wanita itu mencoba menguatkan hati saat membayangkan apa yang tengah terjadi. Sejak lima bulan pernikahan mereka, Meyra merasa tidak bisa berbuat banyak untuk membahagiakan suaminya. Bukan apa-apa, ia hanya merasa tak pantas bersanding dengan laki-laki berhati lapang itu.
"Asalamualaikum."
Meyra tersentak, ia menoleh. "Wa..waalaikumsalam, "jawabnya tergeragap. Ternyata Banu sudah berdiri di sampingnya. Ah, mengapa ia tak mendengar apa-apa, suara motor atau pintu dibuka?
Banu tersenyum. Ada sisa tetes air hujan menempel di tangan dan lipatan celananya.
Tetapi Meyra terpaku. Pedih rasanya membayangkan yang baru saja dilakukan suaminya dengan wanita itu.
"Meyra...."
"Aku...aku ambilkan handuk dulu, "tukas Meyra hendak berbalik.
Banu menarik tangannya. Meyra terdiam.
"Aku mencintaimu, "bisik Banu.
Meyra menunduk.
"Aku tidak pernah melihat wanita lain yang layak kucintai selain kamu."
Meyra tak tahu harus berkata apa.
"Aku bersedia membantumu, tapi..."
"Tapi apa? Cepat, katakan."
Wanita itu tampak berpikir keras, kemudian katanya, "Kamu yakin akan melaksanakan rencanamu itu?"
Meyra mengangguk tanpa ragu-ragu.
Wanita berambut ikal sebahu itu menatap Meyra dengan serius. "Kamu sangat cantik, "ujarnya, "Aku yakin suamimu pasti sangat mencintaimu."
"Kau benar...."
"Dia juga penuh perhatian?"
"Kau benar...."
"Dia lembut, penuh kasih sayang, dan belum pernah marah padamu?"
"Kau benar..."
"Oh, "wanita itu menepuk dahinya sendiri, "lalu, apa masalahmu sampai kau punya rencana segila ini?"
Meyra terdiam.
Malam ini hujan deras sekali. Meyra mondar-mandir di ruang tamu. Tidak seperti biasanya Banu pulang terlambat. Wanita itu mencoba menguatkan hati saat membayangkan apa yang tengah terjadi. Sejak lima bulan pernikahan mereka, Meyra merasa tidak bisa berbuat banyak untuk membahagiakan suaminya. Bukan apa-apa, ia hanya merasa tak pantas bersanding dengan laki-laki berhati lapang itu.
"Asalamualaikum."
Meyra tersentak, ia menoleh. "Wa..waalaikumsalam, "jawabnya tergeragap. Ternyata Banu sudah berdiri di sampingnya. Ah, mengapa ia tak mendengar apa-apa, suara motor atau pintu dibuka?
Banu tersenyum. Ada sisa tetes air hujan menempel di tangan dan lipatan celananya.
Tetapi Meyra terpaku. Pedih rasanya membayangkan yang baru saja dilakukan suaminya dengan wanita itu.
"Meyra...."
"Aku...aku ambilkan handuk dulu, "tukas Meyra hendak berbalik.
Banu menarik tangannya. Meyra terdiam.
"Aku mencintaimu, "bisik Banu.
Meyra menunduk.
"Aku tidak pernah melihat wanita lain yang layak kucintai selain kamu."
Meyra tak tahu harus berkata apa.