Selasa, 02 Juli 2013

Di Arung Jeram Cinta

Hari-hari berlalu seperti yang sudah-sudah. Meyra mencoba bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa ia mencintai suaminya, laki-laki yang menerima dirinya apa adanya. Ia sangat ingin membahagiakan suaminya walaupun mungkin dengan cara yang salah.
Meyra nenarik napas panjang. Lagi-lagi Banu pulang terlambat. Agaknya wanita muda itu berhasil melaksanakan tugasnya.
Meya menyodorkan secangkir teh hangat. Banu menerimanya dengan senyuman tanda terima kasih. Ia memberi tanda agar istrinya itu duduk di sampingnya.
"Bagaimana hari ini? Pekerjaan lancar?"

"Alhamdulillah, berkat doa istriku yang cantik dan baik hati."
Mau tak mau Meyra tersenyum mendengar kata-kata itu. "Syukurlah, kalau begitu."
Banu meletakkan cangkir di atas meja. "Kau sendiri, bagaimana? Kalau mau jalan-jalan, tidak apa-apa."
Meyra menggeleng. "Aku masih takut, "tukasnya lirih, "nanti saja kalau kamu ada waktu luang dan ingin jalan-jalan, aku ikut."
"Tentu saja aku akan mengajakmu, "sahut Banu menggenggam tangan istrinya.

                                                                   ***

Sesungguhnya beberapa hari ini Banu sulit memejamkan mata. Pertemuannya dengan Rima, wanita yang dimintai tolong istrinya membuatnya tak bisa lelap. Awalnya, Rima berpura-pura mengalami kesulitan, motornya tertusuk paku. Tentu saja ia sudah mengatur supaya si target mau menolongnya. Begitulah, karena bengkel tak ada yang buka maka Banu mengantar wanita itu sampai rumah.
"Silakan diminum, mumpung masih hangat, "Rima meletakkan secangkir coklat hangat di meja tamu.
Banu mengangguk. Ia mengerutkan kening melihat wanita di hadapannya telah bertukar dengan gaun ketat sebatas lutut. Gaun itu sungguh pas dengan tubuhnya seakan-akan memang menyatu. 
"Terima kasih, "Banu menelan ludah. Teus terang saja ia merasa kikuk berdekatan dengan wanita ini. Mana pernah ibu, kakak, bahkan istrinya berpakaian seperti ini. Pakaian ini bisa membuat pemakainya sesak napas.
"Oh ya, kita belum berkenalan. Nama saya Rima."
"Banu."
"Mas Banu tidak usah buru-buru. Ayo, habiskan dulu minumnya."
"Maaf, istri saya pasti cemas menunggu."

"Tidak."
"Maksud Mbak Rima?"
"Saya tahu pasti, istri Mas akan tenang-tenang saja."
Banu kembali mengerutkan kening. "Saya tidak mengerti, "tukasnya.
"Karena dia ingin agar saya menyenangkanmu."
Merah padam seketika wajah Banu mendengar pengakuan wanita itu. Tanpa bertanya-tanya lagi, ia beranjak dari duduknya. "Sudah malam, saya harus segera pulang."
Rima tak sempat mencegah. Ia sadar bahwa dirinya sudah kelepasan. Seharusnya pantang ia menyampaikan bahwa istri Banulah yang mempunyai rencana ini.
Sementara itu sesampainya di halaman rumah, Banu tak langsung menekan bel. Ia berusaha menenangkan gejolak perasaannya yang berkecamuk.