Senin, 28 Februari 2011

Di Arung Jeram Cinta

Banu tercengang melihat ibunya belum juga reda marahnya. Tampaknya beliau benar-benar percaya dengan penjelasan gadis misterius yang mengaku telah dihamili Tantra. Lihat saja, sore ini, belum juga kakak iparnya duduk, Ibu sudah bersiap-siap melabrak.
"Putriku dinikahi bukan untuk dipermainkan, "ujar Tia menghampiri menantunya yang baru saja meletakkan sepatu di rak. "Atau sekarang kamu baru sadar kalau istrimu itu lebih tua, lalu kamu mulai cari yang lain?"
Arman beranjak menghampiri keduanya. "Bu, kenapa masih marah?"tegurnya menepuk lembut pundak istrinya. "Kita kan tidak tahu siapa gadis itu?"
"Dia adik direktur tempat saya bekerja, Pak, "sela Tantra.
"Naah!"seru Tia sinis. "Itu dia tahu, berarti ada apa-apa. Istri lagi hamil, malah bertingkah, huh!"
Banu menatap kakak iparnya. "Dari mana kamu tahu, Tantra?"
"Dia memang sering datang ke kantor, menemui kakaknya."
"Terus kamu bagian penerima tamu, khusus kalau tamunya dia?"tuduh Tia ketus.
Nada yang diam saja sejak tadi, akhirnya tidak sampai hati melihat suaminya dibantai mertua. "Bu, mana buktinya kalau gadis itu hamil dan Mas Tantra ayah jabang bayi di perutnya?"
Tia terdiam. "Ya..., belum ada, sih, "jawabnya ragu-ragu. "Tapi, perutnya seperti orang hamil."
Tantra tersenyum. "Bu, apa Ibu tahu yang membuat saya jatuh cinta pada Mbak Nada dan mantap menikahinya?"
Tia menatap menantunya penuh tanya. Ia menggeleng.
"Saya sudah merasakan hal itu ketika dirawat di rumah sakit lima tahun yang lalu. Ayah sempat bercerita bahwa ketika saya dibawa masuk, tidak ada suster yang berani memberikan pertolongan karena luka-luka saya begitu parah."
Banu membenarkan. "Ya, aku juga dengar itu. Tidak ada perawat yang berani memberikan pertolongan pertama. Bagaimana tidak ngeri, kondisimu gawat sekali, Tantra. Kamu koma dengan luka bacok hampir di sekujur tubuh."
"Benar, Ban. Ketika sadar, aku mendengar dokter yang menanganiku memuji suster bernama Nada. Jadi, aku penasaran lalu diam-diam cari informasi."
Merah padam seketika wajah Nada. "Jadi, waktu kamu menyapa aku, sudah cari info?"
"Yang kapan? Aku kan menyapamu tidak cuma sekali?"
"Ah, pura-pura tidak tahu, "Nada melotot geli. "Waktu aku bawa makanan di kereta dorong." Wanita itu menoleh ke arah ibunya. "Waktu SMA, sudah jago merayu, Bu. 'Suster cantik', begitu katanya."
Tiba-tiba Tia ingin menatap menantunya lekat-lekat. Sampai detik ini, ia masih tidak habis pikir, bagaimana putrinya bisa terpikat oleh pemuda sebaya adiknya? Saat melihat, Tantra menuang teh dari poci ke dalam cangkir untuk istrinya, barulah wanita setengah baya itu mengerti.
"Ibu percaya kau tulus, Tantra."
"Terima kasih, Bu, "jawab Tantra sambil memperhatikan istrinya yang sedang meneguk teh.
Arman dan kedua anaknya menghela napas lega.


Tiga malam telah berlalu. Bahkan, sekarang hampir memasuki malam keempat, tetapi Danar belum juga berhasil menemukan istrinya. Tentu saja, ia berpikir seribu kali untuk lapor polisi karena pasti akan tersangkut kasus KDRT. Polisi tidak bodoh. Mereka akan berusaha mencari penyebab kaburnya seorang istri dari rumah suaminya.
Danar menggeram. "Awas, kalau aku berhasil menemukan perempuan sialan itu, akan kuberi dia pelajaran supaya menyesal seumur hidup! Menyusahkan orang saja!"

Sementara itu, di suatu ruang selebar tiga kali tiga meter, seorang wanita bersandar di sebuah kursi panjang. Sudah hampir empat hari, ia bersembunyi di sana.
Kalau sudah tepat waktunya, aku akan muncul. Untunglah, aku punya sahabat dan teman-teman yang begitu baik. Wanita itu mengambil ponsel yang berada di pangkuannya.

Merancang Malam

Kuingin melipat malam
lalu kugunting kelam
agar langit tiada suram

Akan kulekatkan
surya dan rembulan berdampingan
dan kutabur bintang-gemintang sebagai hiasan

Tetapi aku tiada berdaya
sebab jalannya masa
sepenuhnya di tangan Raja Segala Raja

Kini kuingin lewatkan malam
bersama untaian doa bersemayam
yang kubisikkan dalam lingkar kelam

Selasa, 22 Februari 2011

Lumbung Pelangi

Tiba-tiba saja Kakak menyarankan agar aku mengikuti asuransi. Awalnya, aku tidak begitu berminat. Jujur saja, sejak dulu, aku memang hampir bisa dikatakan tidak tertarik dengan yang disebut asuransi. Pengertianku hanya satu, asuransi baru bisa diambil kalau si empunya sudah meninggal dunia, atau paling tidak mengalami kecelakaan. Masa untuk menikmati asuransi harus jadi mayat atau badan babak belur dulu?
Itulah pengertianku selama bertahun-tahun. Tetapi sejalan dengan waktu, pengetahuanku tentang asuransi pun semakin bertambah. Selain itu aku pikir saran kakakku ada baiknya juga. Aku jadi punya tabungan, walaupun sebenarnya aku juga sudah menyiapkan tabungan sendiri, tetapi lebih banyak tabungan bukankah lebih baik?
Kakak merekomendasikan seorang tetangganya yang biasa dipanggilnya Bu Santo alias Lani bekerja di kantor asuransi.
Sampai saat ini aku masih mengikuti asuransi tersebut. Satu hal yang membuatku tenang adalah aku tidak perlu bersusah payah pergi ke kantor asuransi tersebut untuk membayar premi. Cukuplah Lani mengirim sms dan menanyakan kapan dia harus datang untuk mengambil pembayaran dariku tiap tiga bulan sekali.
Aku sangat berterima kasih kepada kakakku yang telah menyarankanku untuk mengikuti asuransi (kuanggap sebagai tabungan masa depan yang kelak bisa kuwariskan).

Di Arung Jeram Cinta

"Aku tidak sampai hati meninggalkan Lisa sendiri, "ujar Nada meminta pengertian suaminya. "Aku tidak bisa membayangkan yang terjadi padanya kalau tiba-tiba suaminya pulang."
"Lalu, maksudmu, kau ingin menginap di sini?"Tantra balik bertanya seraya menatap istrinya dengan pandangan tajam. Nada menunduk.
Ratih jadi tidak enak hati. Untunglah ponselnya berbunyi, ia segera beranjak meninggalkan sepasang suami istri yang sedang bersitegang itu.
"Lisa sahabatku...."
"Ya, dan kau istriku."
Nada mengangkat kepala. Kali ini ia memandang suaminya dengan tatapan meminta pengertian. "Kumohon mengertilah, Lisa korban kekerasan...."
"Mbak, "potong Tantra kali ini dengan intonasi penuh tekanan. "Kita punya tempat tinggal sendiri dan aku ingin kita pulang bersama, sekarang juga."
"Tapi...."
"Suamimu benar, Nada."
Serentak keduanya menoleh. Ternyata Lisa sudah berdiri di hadapan mereka. Wajahnya sudah lebih segar, hanya saja tubuhnya masih tampak lemah.
Nada buru-buru menghampiri sahabatnya. Tantra mengikuti.
"Kau masih lemah, Lisa, "ujar Nada dengan nada cemas.
"Aku tidak apa-apa, "tukas Lisa berusaha menenangkan hati sahabatnya. "Kau tak usah khawatir Mas Danar baru pulang minggu depan. Jadi, aku punya waktu cukup untuk memulihkan tenaga."
"Maksudku, aku ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja."
"Terima kasih, Nada. Aku akan baik-baik saja, percayalah."
Tantra menggamit lengan Nada. Wanita itu menoleh.


Malam semakin larut. Irsan menarik napas panjang mendapati istrinya malah sibuk di depan layar monitor lap topnya.
Laki-laki tiga puluh tahun itu teringat. Tanpa terasa sudah lima tahun ia menjalani bahtera rumah tangga bersama Ratih, teman satu universitas. Seorang anak laki-laki berusia tiga tahun telah hadir mewarnai hari-hari mereka.

Minggu, 20 Februari 2011

Di Arung Jeram Cinta

Ratih tercengang melihat sosok pemuda yang menjulang di hadapannya. Nyaris ia melayang ke negeri khayalan, tetapi untunglah wanita itu segera dapat menguasai diri.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
"Benar ini jalan Pagar nomor satu?"
"Iya, benar. Adik cari siapa?"
"Mbak Nada ada?"
"Oh, ada, silakan masuk, "sahut Ratih, dalam hati ia berpikir mengapa wajah adik Nada jadi berubah? Apa dia operasi plastik? "Sebentar, saya panggilkan."
"Terima kasih, Mbak."

Nada menatap Lisa penuh iba. "Kau harus kuat, Lisa."
"Terima kasih, Nada. Terus terang aku tak tahu berapa lama lagi aku mampu bertahan."
Nada menyodorkan sesuap nasi. Lisa menggeleng. "Aku sudah kenyang, "katanya.
"Kalau begitu, kau harus minum obat. Adik iparku sudah menebus resepnya di apotek."
Pintu terbuka. Ratih menjengukkan kepala. "Nada, adikmu."
Nada menoleh heran. "Banu? Kenapa dia yang datang?"
"Lho, memang kamu tadi telepon siapa?"Ratih ikut heran.
"Suamiku."
"Adikmu kok lain, ya? Tidak seperti dulu, sekarang jadi ganteng."
"Kalau dulu?"
"Ya, ganteng, sih,...tapi...,"Ratih tampak ragu-ragu, khawatir temannya ini tersinggung. "Maksudku, dulu ganteng, sekarang tambah ganteng."
"Ada-ada saja, "Nada tersenyum. "Oh, ya, ini obatnya."
Ratih menerima sekantung plastik berisi obat-obatan.


Hampir pukul tujuh malam. Ratih yang malu setelah mengetahui bahwa Tantra berstatus sebagai suami Nada, masih saja penasaran.
"Aku tidak tahu kalau dia suamimu, "ujar Ratih saat menemani Nada membuat teh hangat untuk suaminya."
"Kami sudah biasa, memang selalu begitu."
"Maksudmu?"
"Ya, mengira aku kakaknya, "Nada tersenyum. "Sebenarnya aku memang pantas jadi kakaknya."
"Yang penting, dia romantis, kan?"
Nada pura-pura memukul lengan Ratih.
"Eh, kok, aku dipukul?"protes Ratih. "Benar, suamimu itu romantis kan? Buktinya kamu kelihatan semakin cantik."
Dasar Ratih, dari dulu sama saja, gerutu Nada dalam hati sambil menutup termos. Suka komentar iseng.


Nada tampak bimbang. Ia tidak sampai hati meninggalkan Lisa seorang diri. Ia khawatir kalau tiba-tiba Danar pulang dan berlaku kasar kepada istrinya itu.
"Kalau Mas mau pulang, pulang saja, "ujarnya kepada Tantra yang tampak kurang setuju dengan sikap istrinya.
"Tidak bisa, Mbak, "tukas Tantra. "Kita pulang sama-sama."
"Tapi bagaimana dengan Lisa? Dia perlu bantuan."
"Aku tahu, "tukas Tantra dengan nada lelah. Hari ini sudah cukup bertumpuk masalah yang dihadapi. Dari komputer terserang virus, kena omel ibu mertua, dan sekarang istrinya malah ngotot menginap di rumah orang lain, yang notabene mantan tunangannya!
Ratih menatap suami istri itu silih berganti. Ia heran dengan sapaan yang digunakan Tantra kepada istrinya. Wanita itu jadi teringat suaminya. Irsan memang baik dan sangat mendukung kariernya, tapi masalah sapaan, pria itu suka seenaknya saja memanggil nama kecilnya di depan tetangga, bahkan di depan Minah, pembantu mereka.

Jumat, 18 Februari 2011

Di Arung Jeram Cinta

Belum sempat Nada mengucap salam, sudah terdengar suara ibunya penuh emosi.
"Ternyata betul kata Ibu dulu, Nada! Suamimu itu cuma pura-pura mencintaimu!"
"Ada...."
"Ibu tidak terima putri Ibu diperlakukan seenaknya! Apalagi dengan anak ingusan macam Tantra! Huh, kamu juga terpikat sama wajah tampan dan rayuan gombalnya!"
"Ibu...."
"Pokoknya kamu harus minta cerai!"
"Tidak mungkin, Bu!"
"Kenapa tidak mungkin? Apanya yang tidak mungkin?!"
"Saya sedang hamil, Bu...."
"Apa?!"suara sang Ibu semakin histeris. Nada sampai sempat menjauhkan ponsel dari telinganya. "Kok, mau-maunya kamu...aargh...."
"Bu, Tantra suamiku dan dia ayah bakal cucu Ibu."
"Ah, cari ayah lain untuk bakal cucu Ibu."
Hubungan diputus sepihak. Nada mematikan ponselnya dengan wajah murung.
"Ada apa, Nada?"tanya Ratih simpati.

Tia menutup ponsel dengan geram. "Huh, mau-maunya anak kita dihamili anak kemarin sore yang kurang ajar itu."
"Jelas mau, Bu, kan suaminya, "sela Anwar membuat istrinya semakin melotot.
"Bapak ini, orang lagi panas malah sempat-sempatnya bercanda."
"Ibu sendiri juga cepat percaya."
"Masa Danar bohong, Pak? Apalagi dia pernah hampir jadi menantu kita."
Anwar meneguk segelas air putih dari meja tamu hingga tandas. "Bu, Ibu masih ingat penyebab Nada memutuskan pertunangan?"
Tia mengangguk perlahan. "Mm...karena Danar selingkuh...?"

Selasa, 15 Februari 2011

Di Arung Jeram Cinta (Bab VI)

Salah satu sifat Tantra yang kurang disukai Nada adalah terlalu mudah menaruh belas kasihan kepada orang lain. Bagi Nada bukan masalah, jika orang tersebut saudara, teman atau tetangga dekat, tetapi kalau orang yang belum pernah dikenal samasekali?
Tetapi itulah Tantra. Ia sudah terbiasa berpikir baik tentang orang lain. Nada tak habis pikir setiap melihat suaminya itu bercanda dengan Banu. Padahal, dulu, adik iparnya membuatnya terkapar koma selama berminggu-minggu di rumah sakit.

Meyra melihat Tantra keluar dari ruang kerja. Dengan langkah bergegas, gadis itu menghampiri.
"Maaf, mengganggu, "ucapnya sopan sambil mengiringi langkah laki-laki itu.
Tantra menghentikan langkah. "Mbak cari siapa?"
Meyra tak segera menjawab. Ia sibuk menenangkan gemuruh di dada. Oh, laki-laki di hadapanku ini benar-benar hasil karya Tuhan yang luar biasa! Bagaimana lagi dengan Nabi Yusuf? Yang ini saja, sudah membuatku ....
Tantra mengerutkan kening melihat gadis di depannya bukannya menjawab, tetapi malah tampak tersipu-sipu.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
Meyra tersentak. Ia tampak gugup bercampur malu.


Nada menyelimuti Lisa yang terbaring di ranjang. Dokter Ratih baru saja menuliskan resep untuknya.
"Terima kasih. Dokter, "ujar Lisa memperhatikan dokter berbusana muslimah yang tampak anggun itu.
"Sama-sama, Mbak, "sahut Ratih tersenyum ramah. Ia menoleh ke arah Nada yang berdiri di dekat pintu. "Kita bicara di luar, "bisiknya.
"Lisa, kamu istirahat, ya, "ujar Nada sebelum menutup pintu.
Lisa tersenyum.

Di ruang tengah Rafa duduk membaca majalah. Gadis itu menoleh saat mendengar suara orang bercakap-cakap. "Bagaimana dengan Mbak Lisa?"
"Dia sedang istirahat, "jawab Nada.
"Mana resepnya? Biar Rafa yang tebus."
Nada menyerahkan selembar kertas putih kepada adik iparnya.
"Nanti di apotek, minta kopi resep, Dik, "saran Ratih.
"Iya, Dok, "sahut Rafa. Ia pun meletakkan majalah yang dibacanya di atas meja.
"Uangnya, Dik?"
Rafa tersenyum. "Pakai uangku dulu, Mbak."
Nada balas tersenyum. "Terima kasih, ya."
Rafa mengangguk dan meraih tasnya.
"Silakan duduk, "ujar Nada.
"Terima kasih."
"Sepertinya ada hal serius yang ingin kausampaikan."
Ratih tersenyum. Nada adalah teman sekelasnya saat duduk di bangku SMA. Ternyata temannya itu tidak banyak berubah, tetap anggun dan lembut.
"Memang, "katanya sejurus kemudian. "Aku menemukan luka-luka di beberapa bagian tubuhnya."
"Maksudmu Lisa?"
"Ya. Dia sahabatmu?"
"Ya, dan juga teman seprofesi. Hanya saja dia sudah tidak bekerja lagi. Lalu, menurutmu bagaimana dengan luka-luka itu?"
Ratih memasang tampang serius. "Aku menduga ini masalah domestik."
"Masalah domestik?" Nada membuka tas karena mendengar ponselnya bernyanyi. Ibu? Wanita itu tampak heran. Tidak biasanya Ibu meneleponku jam sebelas siang?

Kamis, 10 Februari 2011

Di Arung Jeram Cinta

Meskipun telah menikah, bukan berarti Danar telah melupakan dendamnya. Justru sebaliknya, ia semakin memelihara perasaan itu baik-baik di dalam hatinya. Semula ia berharap Lisa, istrinya dapat membantunya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Ternyata Lisa sahabat karib Nada dan menolak mentah-mentah untuk mendukungnya. Inilah yang membuat Danar menjadi beringas.
Lisa tampak ketakutan ketika Nada dan Rafa mengunjunginya. Untunglah, Danar sedang tidak ada di rumah. Akhir-akhir ini suaminya jarang pulang.
"Ya Allah, Lisa, kenapa kamu?"Nada terkejut melihat keadaan sahabatnya yang kurus dan pucat.
"Mbak Lisa pasti sakit, "sela Rafa. Gadis itu berpaling ke arah kakak iparnya. "Bagaimana kalau kita antar ke dokter?"
Lisa menggeleng cepat. "Jangan!"serunya panik.
Nada meraih tangan Lisa lembut. "Lis, kamu sakit. Kamu harus periksa ke dokter."
Lisa menggeleng lemah. "Kau tidak mengerti, Nada, "sahutnya. "Aku tak mungkin keluar."
"Kenapa?"
"Danar melarangku menampakkan diri di luar."
Tak sengaja pandangan Rafa tertuju pada tangan Lisa yang memar. Seketika itu juga darah gadis belia itu mendidih. "Mbak Nada, kita harus lapor polisi, "ujarnya.
"Untuk apa?"Nada tak mengerti.
"Lihat tangannya! Pantas saja Danar melarang Mbak Lisa keluar!"
Bukan saja Nada yang terkejut, tetapi juga Lisa.
Sementara Rafa sudah beranjak dari kursinya di ruang tamu itu. "Ayo, ada praktik dokter di dekat sini. Mumpung masih jam empat!"
Nada terdiam. Ia tampak berpikir mungkin ada jalan keluar yang lebih baik tanpa Lisa harus meninggalkan rumah. Wanita itu mengeluarkan ponsel dari tas tangannya.

Minggu, 06 Februari 2011

Di Arung Jeram Cinta

"Dari siapa?"
"Tidak jelas, "jawab Nada menggeleng. "Tahu-tahu, diputus."
"Kan ada namanya di hp."
"Sepertinya dia telepon dari wartel."
"Kalau penting kan nanti telepon lagi, "ujar Tantra memandang istrinya yang terlihat gelisah. "Kau kenapa?"
Nada menggeleng lemah. "Entahlah, perasaanku tidak enak."
"Penasaran siapa yang telepon tadi?"
Nada mengangguk. "Sudah dua bulan Lisa temanku tidak bekerja lagi."
"Apa hubungannya dengan telepon tadi?"
Nada tidak langsung menjawab. Ia malah memperhatikan suaminya yang sibuk mengunyah rujak manis pesanannya. Kasihan Lisa, pikirnya. Dulu aku sudah memintanya untuk berpikir masak-masak sebelum menerima lamaran itu. Tetapi, tampaknya Lisa sudah terbuai bujuk rayu laki-laki bejat itu....
Melihat istrinya diam saja, Tantra menghentikan kegiatannya. Tangannya menyentuh punggung tangan Nada membuat wanita tersentak kaget.
"Melamun?"
Nada menghela napas. "Aku mencemaskan Lisa."
"Dia kan sudah bersuami."
"Dia sahabatku, adikku. Kami sudah bersama-sama selama lima tahun, "tukas Nada melotot. Ia menggunakan sapaan 'adikku' untuk menggoda suaminya dan tidak bermaksud meremehkan. "Kakakmu ini selalu bisa kalau ada merasakan sesuatu yang menimpa dirinya."
Tantra tersenyum, ia samasekali tidak tersinggung dengan sapaan istrinya yang terkadang memasalahkan perbedaan usia. "Jadi adikmu ini belum apa-apa dibanding sahabatmu itu ya, kakakku."
Gantian Nada yang merasa geli. Ia membatalkan niat menelan es jeruk nipisnya.

Sementara itu Meyra memperhatikan suami istri itu dengan penuh kekaguman. Jadi itu istri Tantra? Aku baru tahu. Tidak ada cantiknya samasekali dan kelihatannya lebih pantas jadi kakak...kok mau ya, suaminya? Tapi, dengan begini, pasti tugasku sedikit lebih ringan..., gadis itu mengulum senyum. Baik, besok, selesai kuliah, aku akan beraksi. Hm...apa susahnya merayu laki-laki? Menurut cerita Mas Herman, Tantra terkenal menjaga jarak dengan rekan wanita. Wah...mesra sekali, pakai peluk pundak istrinya!


Wanita itu terduduk di sudut kamar. Ia seorang diri saat ini. Sinar mentari yang cerah tidak mewakili suasana hatinya. Ia, Lisa, merasa terpuruk dalam kegelapan yang tak kunjung berakhir.
Alangkah berbedanya, Danar yang dulu dengan sekarang. Menyesal, karena tidak menghiraukan nasihat Nada, sahabatnya yang baik hati itu. Malah sempat mengoloknya karena menikah dengan anak kemarin sore.
"Aku sudah pernah mengenalnya, Lisa, "ujar Nada sore itu ketika mereka bersama-sama menuju pintu keluar rumah sakit. "Tolong, pikirkan lagi, kalau kau jadi istrinya...habislah...."
"Nada, kau sudah lama putus dari Mas Danar, kumohon jangan menjelek-jelekkan dia. Justru sebenarnya aku kasihan kepadamu."
"Apa maksudmu?"
"Ya, kamu menikah dengan anak kemarin sore, dia sangat pantas jadi adikmu, Nada. Apa kamu lupa waktu dibawa ke UGD, dia masih pakai seragam SMA? Atau jangan-jangan karena anak ingusan itu, kau tega memutuskan pertunangan dengan Mas Danar?"
Merah padam seketika wajah Nada. Hampir saja ia menjawab, tetapi seseorang meraih tangannya lembut. Ia menoleh.
"Kita pulang, Mbak, "ajak Tantra.
Nada mengangguk sambil tersenyum.

Lisa menarik napas dengan sesak. Ternyata Nada benar, ia tak tahu apa-apa tentang Danar. Nada yang jauh lebih tahu! Belum sebulan menikah, Danar sudah menampakkan sifat aslinya. Melawan? Mana berani! Sekarang Lisa benar-benar tergantung kepada suaminya. Apalagi, sejak Danar melarangnya bekerja dan tabungan pribadinya nyaris tak bersisa.
Brak!
Lisa tersentak. Ingin rasanya lari, tetapi sekujur tubuhnya terasa lemah tak berdaya.


Kamis, 03 Februari 2011

Di Arung Jeram Cinta

Sayang sekali ayah dan ibu sedang menghadiri acara reuni alumni universitas, tetapi, tak mengapa kedatangan kakak dan istrinya membuat Rafa tidak lagi measakan jenuh serta kesepian. Apalagi keduanya berencana menemani dirinya sampai ayah ibu pulang.
Sementara Tantra pergi ke bengkel di seberang jalan, Rafa menyiapkan sarapan. Nada membantu.
"Masak apa, Dik?"
"Yang cepat saja, Mbak, "sahut Rafa membuka pintu lemari es. "Tumis kangkung sama perkedel tahu."
"Wah, Dik Rafa pintar masak ya, ternyata?"
"Cuma iseng, Mbak. Daripada beli, jadi lebih hemat."
Nada tersenyum memperhatikan adik iparnya yang mulai sibuk mengeluarkan bahan-bahan.
Ia menatap Rafa dan baru menyadari walaupun sekandung, Rafa berbeda dengan kakaknya. Tantra berkulit putih bersih dengan tatapan setajam elang. Sedangkan Rafa memiliki warna kulit coklat muda, tatap matanya tidaklah setajam elang, tetapi berkilat-kilat memancarkan kecerdasan.
Tiba-tiba Nada menutup hidungnya dan berlari menuju bak cuci di sudut dapur. Rafa segera meletakkan sesiung bawang putih yang baru saja dikupasnya, cepat-cepat dihampirinya si Kakak ipar.
"Mbak, Mbak Nada sakit?"
Nada menutup kran. "Biasa, tiap pagi selalu begini."
"Oh ya? Mas Tantra sudah tahu?"
Belum sempat Nada menjawab, sudah ada jawaban di belakang Rafa. "Sudah, kan Mas penyebabnya."
Rafa langsung menoleh, menatap kedua makhluk di hadapannya bergantian. "Jadi, Mbak Nada hamil?"
Nada mengangguk.
Rafa menatap kakaknya sambil membelalakkan mata. "Hamil? Kok sempat...eh, maksudku..., "gadis itu cepat menutup mulutnya.
Tantra tertawa. "Ya pasti sempat, adikku manis. Kan tiap hari kami ketemu dan sekamar lagi, "si Kakak mulai kambuh isengnya.
Nada merasa wajahnya merah padam. "Mbak juga sudah berhenti dari pekerjaan, "selanya berusaha mengalihkan pembicaraan.
Rafa melirik kakaknya, "Mas Tantra yang suruh?"
"Tidak, ini niat Mbak sendiri."
Melihat adiknya mengangguk-angguk, Tantra tersenyum geli. "Teruskan memasak, Mas mau mengantar Mbak Nada."
"Ke mana?"
Kali ini Nada yang menjawab, "Yang ngidam Mas Tantra kok, Dik."
Rafa menahan tawa melihat raut muka kakaknya yang mirip tomat matang.


Danar menghantam meja dengan geram. Lagi-lagi rencananya gagal. Sampai habis rasanya mulutnya memaki-maki Herman yang dianggapnya tidak becus. Tetapi, tentu saja ia tidak melampiaskan kekesalannya secara langsung di depan temannya itu. Sebab bagaimanapun juga Herman telah banyak membantunya dan bisa saja menghancurkan kariernya dengan sekali tepuk.
Sementara itu di wartel, Lisa memutar nomor dengan tangan gemetar. Ia berharap suaminya terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga tidak menyadari bahwa seharusnya istrinya sudah pulang sejak lima belas menit yang lalu.
"Asalamualaikum...Nada, ini aku, Lisa! Tolong aku, Nada! Aku...aaa!"