Jumat, 17 April 2009

Perang Dingin

Ringtone Nokia membuat Andra yang sedang memasang dasinya, berdecak kesal. Bergegas ia menyambar hp abu-abu dari atas ranjang dan membaca pesan yang baru tiba itu.
Sarapan sudah siap.
Itu sms dari Saskia, istrinya. Sambil membetulkan krah kemejanya, Andra menuju ruang makan.
Di ruang makan Saskia tampak sibuk membuat sambal kecap. Wanita yang mengenakan daster batik itu memang menyukai jenis sambal yang satu itu. Ia tidak perduli kalau suaminya mulai bosan dengan sambal yang itu-itu juga.
Andra menatap istrinya sambil memendam jengkel. Meskipun demikian, ia tidak berminat mengirim sms karena khawatir pulsanya yang tinggal 20 ribu terbuang sia-sia. Mau menyapa lebih dulu? Enak saja, memangnya siapa yang salah?
Sementara itu dengan lagak tak acuh, Saskia menarik kursi dan duduk berhadap-hadapan dengan suaminya yang dibatasi meja makan bundar. Bahkan tanpa berniat menawari suaminya lebih dulu, ia mengambil sepotong tempe goreng.

====================================================================

Sudah tiga hari Andra dan Saskia saling mogok bicara. Tidak ada yang mau mengalah untuk mengakhiri perang dingin itu. Keduanya memang kepala batu dan mau menang sendiri.
Awalnya sederhana saja. Andra kecewa karena gurami bakar idamannya dibawa lari kucing. Sempat juga ia bermain petak lari dengan kucing loreng itu mengelilingi dapaur bahkan sampai halaman samping rumah. Sayangnya si Pencuri lebih gesit menggigit hasil jarahannya dan berlari-lari kecil meninggalkan tuan rumah yang menatap dengan pandangan marah namun tak berdaya.
"Lain kali kalau simpan makanan jangan sembarangan."
Saskia yang sedang membaca majalah di teras berpaling dengan tersinggung, " Sembarangan bagaimana?"
"Kenapa gurami bakar kamu taruh di meja dapur?"
"Lho, apa salahnya?"
"Jelas salah! Keburu digondol si Loreng!"
"Itu kan salahmu sendiri, kenapa kamu buka pintu dapur? Padahal kan sudah aku tutup?!"
Jelas Andra tak mau kalah. Ia menyahut sambil melotot, "Dapur pengap, bau asap! Kalau tidak dibuka, bisa sesak napasku!"
"Kalau begitu jangan salahkan aku?"
"Tidak bisa! Seharusnya kamu simpan gurami bakar itu di lemari makan!"
Habis sudah kesabaran Saskia. Ia berdiri sambil membanting majalah ke kursi. "Nah, kenapa tidak kaulakukan sendiri?!"
"Masa suami harus repot-repot mengurusi masalah sepele begitu?"
"Dasar mau enak sendiri! Lalu tugas suami apa?!"
Begitulah. Tidak ada yang mau mengalah. Kebetulan keduanya sama-sama nyinyir kalau sudah ribut. Tetapi biar bagaimanapun, laki-laki jarang tampil sebagai pemenang kalau adu mulut dengan perempuan. Akhirnya Andra memilih diam. Selain bereharap istrinya mengakui kesalahan dan minta maaf, ia juga tidak mau mendapat gelar 'laki-laki bermulut perempuan'.
Tetapi menginjak hari ketiga harapannya tak kunjung menjelma kenyataan. Ternyata bukan hanya adu mulut Saskia lihai, tetapi di tengah-tengah arena perang dingin pun ia cukup perkasa.
Walaupun sedang terjadi perang dingin, tetapi komunikasi harus tetap berjalan. Mau tak mau. Karena sedang mogok bicara, mereka mengirim sms dan menempel memo di depan pintu kamar.

====================================================================

Kasihan Farah, adik Andra yang baru kelas X itu. Ia cuma bisa bengong menyaksikan drama percintaan yang paling tragis diantara drama-drama percintaan yang pernah ditontonnya. Semula ia datang untuk melihat pengantin baru. Menurut sinetron yang pernah ditayangkan, suasana rumah tangga pengantin baru pasti serba menyenangkan, serba indah, serba-serbi...pokoknya seperti di surga....
Aku bosan. Apa kamu tidak bisa masak selain tempe goreng, sayur manisa, dan sambal kecap? begitulah sms yang dikirim Andra di meja makan.
Lucu, padahal saat itu istrinya berada di hadapannya sedang menikmati secangkir teh hangat.
Kalau tidak mau lauk-pauk yang ada di rumah, masak atau beli saja sendiri.
Farah garuk-garuk kepala. Satu jam lagi aku di sini pasti jadi gila! keluhnya dalam hati.

====================================================================

Tidak tahan berlama-lama di tengah-tengah medan perang dingin itu, Farah memutuskan pulang hari itu juga. Ia mengubah niat semula untuk menginap di rumah kontrakan pengantin baru itu dan pulang jam 09.00 keesokan hari.
"Pulang?"tanya Ibu heran saat putri bungsunya itu menelepon ke rumah.
"Iya, Bu, "jawab Farah dengan nada sedih.
"Kenapa, Fa? Katanya mau menginap? Bapak sama Ibu malah siap-siap mau ke sana?"
"Jangan!"Tanpa sadar Farah berteriak membuat Ibu tersentak kaget.
"Ada apa, Farah?"
Aduh, bagaimana ya? tiba-tiba saja Farah merasa lidahnya kelu.
"Kalau begitu, jangan pulang dulu. Bapak Ibu menyusul ke sana."

====================================================================

Pantas saja Farah jadi imgin cepat-cepat pulang. Ibu dan Bapak menatap sepasang pengantin baru itu dengan gusar bercampur geli. Masa baru sebulan menikah sudah seperti ini? Bagaimana nanti kalau sudah...ah, kedua orang tua itu buru-buru membuang pikiran buruk yang sempat melintas.
Ibu memanggil keduanya di ruang tamu. Bapak telah menunggu.
"Bapak heran melihat kalian, "ujar pria lima puluhan itu. "Memang teknologi semakin berkembang sampai-sampai bisa sms dengan orang yang duduk di depan kita."
"Iya, kalau dulu kan telepon juga masih jarang, "sambung Ibu.
Tanpa sadar Andra dan Saskia saling menatap gusar.
"Gara-gara kamu!"mereka saling menuding.
"Kamu!"Saskia melotot.
"Kamu!"Andra tak mau kalah.
"Kamu yang mulai dulu!"
"Kamu yang salah!"
"Sudah! Sudah!"
Suara Bapak membuat kedua anak muda itu terdiam.

====================================================================

Andra mencoba mengikuti saran ayah mertua. Kalau seorang suami marah, jengkel, atau bahkan membenci istrinya carilah kebaikan dan keistimewaannya. Semalam sesudah mertua dan adik iparnya pulang, ia memperhatikan Saskia yang sibuk membereskan ruang tamu. Bahkan ia mengikuti juga saat istrinya itu merapikan kamar mereka.
Bapak benar, ujar pria muda itu dalam hati. Kenapa ya aku baru menyadari biarpun keras kepala, tapi sebenarnya Saskia istri yang baik dan tahu kewajiban?
Menyadari ada yang memperhatikan, Saskia yang sibuk merapikan sprei menoleh. Teringat kembali nasihat ibunya, "Mengalah bukan berarti kalah. Minta maaf lebih dulu adalah perbuatan mulia. Ibu yakin Andra akan semakin mencintaimu."
"Aku...."
Keduanya sama-sama terdiam. Menyadari telah melontarkan kata yang sama dengan serentak.
Tetapi Andra telah berdiri di samping istrinya.
"Besok aku masak gurami bakar lagi, "ujar Saskia hampir berbisik.
"Besok aku buatkan kamu sambal kecap, "sahut Andra tersenyum.
Saskia menatap suaminya. Seulas senyum menghiasi bibirnya.
Andra mengerutkan kening menatap gaun yang dikenakan istrinya.
"Kenapa?"Saskia tampak heran.
"Aku tidak suka kamu pakai baju warna coklat."
"Tapi aku suka."
"Aku yang tidak suka."
Tiba-tiba kedua terdiam dan saling tersenyum geli.
"Sudahlah, terserah istriku yang cantik saja, "ujar Andra yang segera menyadari keributan yang hampir terjadi karena masalah sepele.
Saskia ganti menatap suaminya yang masih menyampirkan handuk di pundaknya.
"Sejak kapan kamu suka bawa handuk ke mana-mana?"
Andra cepat menoleh ke arah pundaknya yang ditunjuk Saskia. Ia tampak terkejut. Wajahnya merah padam seketika. "Aduh, jangan-jangan tadi Ibu sama Bapak melihatku seperti ini."
Saskia tersenyum geli. "Asal jangan waktu ke luar saja, "tukasnya.
Andra tertawa.

====================================================================




Kamis, 16 April 2009

Aku dan Orang-Orang Tercinta

Kehilangan orang tua atau anak adalah hal yang paling menyakitkan. Tidak jarang seseorang bisa menghujat Tuhan bahkan kehilangan iman karena masalah yang satu itu. Alhamdulilllah, Allah memberiku kekuatan dan tetap menjagaku. Walaupun bukan hal yang mudah untuk melewati masa-masa itu, tetapi syukurlah aku cukup tegar menghadapinya.
Putri tersenyum. Ditutupnya buku harian bersampul biru laut, warna kesayangannya. Buku harian yang menyimpan kenangan sarat warna.
Sekarang ia bukan Putri yang dulu lagi. Meskipun ia masih sering lupa tempat menyimpan barang, paling tidak dia tidak lupa kalau dirinya....
"Ibu...!"
Terdengar teriakan Intan, anaknya yang paling kecil. Tergopoh-gopoh Putri bangkit dari kamar menuju ruang tengah.
Alangkah terbelalaknya Putri melihat keadaan ruang tengah yang porak poranda bagai diserang badai. Bola-bola plastik menggelinding dari berbagai arah sehingga nyaris ia terpeleset. Boneka-boneka, mobil-mobilan berserakan di lantai. Sementara lantai yang semula bersih mengkilap kini berubah menjadi lautan pelangi. Barulah Putri menyadari ada beberapa botol pewarna kue di sana. Entah bagaimana caranya benda-benda itu berpindah dari lemari gantung di dapur ke ruang ini.
Kepala Putri berdenyut-denyut seketika.
Ketiga anaknya terpaku ketakutan melihat wajah ibunya yang tampak marah.
Putri menghela napas panjang. Sebenarnya ia ingin sekali mencubit anak-anaknya yang memang tidak bisa diam kecuali saat tidur. Heran juga padahal dia dulu tidak seperti ini. Pasti keturunan dari bapaknya.
"Aksan, "panggil Putri setelah berhasil menata emosinya.
"Iya, Bu, "sahut si Sulung kelas V SD itu.
"Ambil kain pel di samping kamar mandi."
"Baik, Bu."
"Damar, Intan, ayo bantu Ibu memasukkan mainan kalian ke kotak."
Tepat pukul dua siang.

==================================



"Intan! Ayo turun!" seru Putri panik melihat anaknya yang empat tahun itu berusaha mengambil spidol berwarna di atas meja. Meja itu cukup tinggi sehingga Intan harus naik kursi untuk mencapainya
"Ambil pidol, Bu!"sahut Intan.
Putri menghampiri anaknya. "Ayo turun, masa anak perempuan naik-naik begitu."
"Mirip ibunya," mendadak terdengar bisikan.
Putri menoleh. Ada Haydar, suaminya yang telah berdiri di sampingnya.
"Mana pernah Ibu naik-naik seperti ini?"tukas Putri tidak terima.
"Mungkin tidak, "Haydar tersenyum. "Tapi rasanya Ibu lebih parah. Siapa yang pernah nekat memanjat pintu gerbang sekolah gara-gara terlambat? Lalu siapa yang menendang pintu kantor sampai jebol gara-gara terkunci dari luar? Lalu siapa yang...."
"Ssst....,"potong Putri dengan wajah khawatir. Ia melihat sekeliling kamar.
"Rahasia Ibu aman, "bisik Haydar. "Aksan dan Damar main sepak bola di halaman."
Putri menarik napas lega. Syukurlah, bisa jatuh martabat keibuannnya kalau sampai kedua anaknya tahu yang satu ini. Kalau Intan, tak apalah. Masih kecil jadi pasti belum mengerti.
Tetapi....
"Jadi waktu kecil Ibu suka naik-naik pagal ya?"
Putri menatap suaminya kesal. "Ayaah..."ia nyaris menjerit.
Haydar buru-buru lari menyelamatkan diri sebelum istrinya sempat mencubit lengannya.
Sambil menahan kesal bercampur geli, Putri membantu anaknya turun dari kursi.
"Ayo bantu Ibu masak. Intan kan suka petik kecambah?"
"Iya, mau, mau!"

Tamat

Aku dan Orang-Orang Tercinta

Secara fisik, aku memang lebih mirip ayah dibanding ibu. Hanya saja untuk sifat aku dapatkan secara rata dari keduanya. Ya, walaupun sifat yang menurun itu menurut orang adalah sifat yang kurang baik (sifat-sifat yang baik itu menurun pada kakakku). Aku sendiri tidak pernah menampik apalagi menyesali kenyataan itu. Bagiku setiap manusia dikaruniai Allah dua sisi yang berbeda. Orang-orang hanya melihat tampak luar, kasat mata. Masih banyak dari kita yang menaruh prasangka hanya karena melihat seseorang yang tidak pernah tersenyum. Sebaliknya sering pula kita terjebak oleh senyum dan kata-kata manis dari orang yang baru kita kenal.
Justru, dalam kepribadianku yang sering mendapat cela dari para manusia di sekitarku inilah, aku mendapatkan pelajaran yang berharga. Pelajaran bahwa Allah tidak pernah berbuat tidak adil kepada hamba-Nya. Sebab ternyata teman-teman dekatku justru menyukai sifatku yang unik. Entahlah, aku juga tidak habis pikir, tetapi itulah pengakuan mereka.
Bicara soal kepribadian, dari sudut empat tipe kepribadian (menurut siapa, saya lupa) mungkin saya merupakan perpaduan tipe koleris melankolis (yang terakhir lebih menonjol). Tidak mau mengubah pendirian sampai menemukan sesuatu yang dapat mengubahnya dan selalu menanyakan sesuatu hal secara detail. Walaupun pembawaanku tidak terlalu feminin (terkesan semaunya), tetapi sebenarnya hatiku mudah tersentuh.
Sayangnya, aku sulit jatuh cinta.

=================

Aku takut durhaka kepada orang tua jauh sebelum mengetahui ada hadist Nabi Muhammad saw tentang surga di bawah telapak kaki ibu.
Aku mengetahui dari cerita ibu bahwa walaupun proses kelahiranku lancar tetapi ada kelainan dan ibuku merngalami pendarahan hebat (sampai-sampai dokter sendiri yang mendonorkan darahnya. Terima kasih, Oom dokter). Cerita itu selalu kuingat sampai sekarang. Bukan untuk membayangkan bagaimana nanti kalau aku melahirkan, bukan itu. Aku ingin mengingat bahwa ibuku (juga ibu kita semua) telah melahirkan anak-anaknya dengan taruhan nyawa. Memang benar, Allah memberikan keistimewaan pada kaum hawa untuk memiliki kekuatan menahan sakit saat melahirkan. Tetapi kalau taruhannya nyawa, dengan apa kita membalas jasa wanita yang telah mengeluarkan kita dari rahimnya dan membesarkan kita tanpa pamrih?

===============

Akhirnya aku berhasil juga meraih gelar sarjana. Semua itu karena jasa kedua orang tuaku. Ibuku tidak pernah berhenti mendorong semangat supaya aku tidak patah di tengah jalan. Ayah selalu membisikkan padaku bahwa beliau ingin aku menjadi seorang yang ahli dalam jurusan yang kuambil ini.
Sungguh perjalanan yang tidak mudah. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Kukira semua telah selesai dan tinggal melanjutkan kehidupan ini seperti air sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Arus sungai yang tenang. Tetapi aku salah, justru mulai saat itulah badai kehidupan seakan-akan menghempaskan diriku.

==================

Aku dan Orang-Orang Tercinta

Aku mewarisi sifat pelupa dan keras kepala dari ayahku, sementara sifat nekat dari ibu. Hanya saja bedanya aku lebih parah. Ya, lebih pelupa, lebih bandel, dan lebih nekat. Semua itu semakin lengkap karena kehadiran beberapa helai uban saat aku masih duduk di bangku SD. Persis nenek-nenek!
Bayangkan saja, jika father and his daughter ini bersatu. Selama beberapa tahun ternyata kami mengulangi adegan yang sama.
Semasa SMU (dulu SMA), aku selalu berangkat sekolah bersama ayah. Kebetulan jalan menuju kantor ayah melewati sekolahku, jadi sambil menyelam minum air.
Baru saja aku naik dan menutup pintu FIAT biru, ayah berkata, "Wah, Dik, kacamata Bapak ketinggalan, ambilkan."
"Di mana, Pak?"
"Di atas tivi."
Aku bergegas turun dan mencari di tempat tersebut tetapi tidak ada. Aku juga sempat berputar mencari kacamata ayahku di beberapa tempat tapi hasilnya nihil. Aku segera menemui ayah.
"Tidak ada, Pak."
Ayah berdecak kesal, "Ck, cari kacamata saja tidak bisa, biar Bapak cari sendiri!"ayah pun turun dari mobil.
Tidak lama kemudian, beliau datang sambil membawa kacamata kesayangannya.
"Ketemu di mana, Pak?"
Di meja makan."
Ayahku memang selalu ingat saat beliau meletakkan sebuah barang pertama kali. Jadi, kalau kemudian beliau memindahkan barang itu, beliau tidak akan mengingatnya malah mengira aku dan kakakku yang suka memindah-mindahkan barang.
Bagaimana halnya dengan diriku? Aku jauh lebih parah sebab kadang-kadang aku tidak dapat mengingat secuil pun tempat barang yang kucari, padahal jelas akulah yang menyimpannya.
Ini pengalaman konyol yang tidak pernah kulupa.
"Bu, tanda peserta ini tidak boleh hilang, "ujarku menjelang magrib sambil meletakkan kartu tanda peserta OSPEK di atas lemari es.
"Ya, kalau begitu simpan baik-baik, Mbak, "sahut Ibu tersenyum. Oh ya, ibuku kadng-kadang memang menyapa kami dengan sebutan 'mas' untuk kakakku dan 'mbak' untuk aku.
"Kalau hilang, tidak boleh beli lagi, "kataku lagi sambil meraba saku seragam. Tiba-tiba aku berteriak kaget, "Aduh, kartuku hilang, Bu!"
"Ah, masa? Coba kamu teliti dulu."
Dengan panik aku membongkar isi tasku. Aneh, benda mungil berlaminating dan berbentuk persegi panjang itu mendadak raib. Lemas rasanya sekujur tubuhku.
"Sudahlah, beli lagi saja, "hibur Ibu.
Aku menggeleng. "Mungkin jatuh di jalan, Bu."
"Kalau begitu, ayo kita cari, jangan lupa bawa senter."
Jadilah kami berdua, aku dan ibuku menyusuri jalan yang kulewati tadi. Aku menyalakan senter karena langit mulai gelap dan lampu-lampu kompleks belum menyala. Benar-benar seperti pemulung kehilangan barang yang sudah ia kumpulkan sepanjang hari.
"Lho, Dik Putri cari apa?"Leli, mahasiswi yang juga tetanggaku menyapa. Tampaknya ia baru saja pulang kuliah.
"Kartu tanda pesertaku hilang, Mbak, "jawabku.
"Aduh, mudah-mudahan ketemu, ya, "sahutnya prihatin. "Mari Bu, Dik Putri."
"Iya, Mbak, "jawab kami serempak.
Setengah jam mencari, akhirnya Ibu mengajakku pulang. Sepanjang jalan beliau mencoba menghiburku dan menyarankan sebaiknya aku membeli kartu tanda peserta itu.
Sesampai di rumah, tiba-tiba saja aku ingin menyentuh bagian atas lemari es...dan..."MasyaAllah!"seruku. "Bu, sudah ketemu!"
"Alhamdulillah, di mana?"beliau menghampiri.
"Di atas kulkas."
Perempuan anggun itu menggeleng-gelengkan kepala.

========================

Kupikir aku mulai terpengaruh kata-kata kakakku. Sehabis mandi dan berpakaian, aku selalu bercermin. Masa iya, aku hitam? Memang, kata siapa aku putih? Dari dulu juga tidak ada. Tapi... kalau hitam, ya tidak kok. Cuma, sawo matang begitu....
Tetapi...memang tidak ada salahnya sedikit berdandan. Tujuanku supaya tampak lebih segar dan bukankah saran kakakku memang baik?
Aku tersenyum. Baiklah, besok sepulang mengajar, aku akan mampir ke supermarket membeli bedak dan handbody.
Saran yang membawa kita kepada kebaikan, apa salahnya kita mencobanya? Walaupun cara menyampaikannya memang kadang-kadang menjengkelkan. Aku maklum kakakku merasa bertanggungjawab atas diriku. Sejak ia mempelajari ajaran agama lebih dalam, tampaknya ia menyadari bahwa selain istri dan anak-anaknya, aku juga menjadi tanggung jawabnya.
Pintu kamar diketuk.
"Tante...."
Ah, pasti kedua kemenakannku yang laki-laki itu. Mereka ingin menonton film kartu. Televisinya memang ada di kamarku.
Aku segera membukakan pintu.

Aku dan Orang-Orang Tercinta

Baru beberapa hari berada di kampung halaman, datanglah keluhan kakakku satu-satunya. Ia memandangku dengan prihatin dan berkata, "Ya Allah, Dik, kenapa kamu jadi hitam? Lihat itu kakak iparmu, kulitnya putih."
Aku tercengang. Apakah kakakku ini terjangkit penyakit iklan pemutih kulit yang akhir-akhir ini semarak? Lagipula kalau soal warna kulit, ya memang sudah dari lahir. Jangankan dibandingkan dengan kulit kakak ipar yang putih mulus, dibandingkan dengan my brother (kakakku laki-laki) saja, aku masih kalah.
Aku garuk-garuk kepala. Tidak tahu harus berkata apa.
"Coba pakai sabun merek anu, biar putih."
Iya, seperti tembok, sahutku dalam hati. Kalau sedang jengkel, aku memang memilih diam. Ya, daripada kalau bicara akhirnya semakin marah, lebih baik diam saja. Silent is gold.
"Jadi perempuan itu harusnya dandan, "lanjut kakakku lagi.
Soal berdandan, sejak lahir, orang tua dan kakakku selalu saja harus memaksa. Aku memang paling tidak suka berdandan, bersolek, atau apapun namanya.
"Pakai bedak, pakai lipstik...."
Masih lumayan adikmu bukan setengah laki-laki, sungutku dalam hati. Pakai bedak sama lipstik? Bukannya nanti malah seperti boneka kabuki?
Karena tidak mendapat tanggapan, kakakku berlalu dari kamarku.
Aku mengangkat bahu dan segera menutup kamar. Hampir jam sepuluh malam.

=========================

Entah sejak kapan, kakakku berubah posesif. Semua gerak-gerikku menjadi perhatian. Ia bahkan memiliki mata-mata, yaitu keempat anaknya alias kemenakanku. Aku sendiri berusaha berpikir positif menyikapi hal ini.Kuanggap saja ini sebagai ungkapan sayangnya kepadaku.
Lagipula, kakakku yang memang selalu menganggap orang yang lebih muda di atas tiga tahun darinya sebagai anak kecil. Kalau dulu, waktu aku SMP atau SMU masih wajarlah. Tapi sekarang? Aku sudah bekerja, sudah bertahun-tahun pula! Kemenakanku yang sulung tahun depan sudah lulus SMP! Kakakku ini memang ada-ada saja.
Tetapi aku tidak mau ambil pusing dengan keempat telik sandi pilihan kakakku itu. Memangnya siapa yang bisa memaksaku? Keras kepala?Ya, ini memang salah satu kelemahanku. Keras kepala! Walaupun kakakku pernah mengatakan bahwa aku ini bukan keras kepala tapi keras dalam pendirian.
Malam ini selepas makan malam, seperti biasa aku menuju kamar atas yang menjadi gua persembunyianku. Aku harus menyusun rencana untuk menyambut hari esok.

Debur Ombak Kehidupan

Dokter spesialis kandungan itu ternyata seorang wanita yang lembut dan anggun. Farah, namanya. Lima bulan yang lalu ia baru saja melahirkan seorang bayi perempuan. Netty langsung merasa dekat dengan perempuan yang dikenalnya lewat Linda itu.
Dokter Farah tertarik mendengar masalah Netty yang unik itu. Ia segera mengundang wanita itu untuk berbicara empat mata di ruang praktiknya.
"Jadi Ibu hanya pura-pura hamil?"
Netty mengangguk perlahan. "Benar, Dokter."
"Bukankah Ibu tidak perlu berpura-pura? Ibu tidak perlu berbuat begitu karena Ibu sudah bersuami."
"Saya...saya tidak ingin dia meninggalkan saya, Dokter."
Dokter Farah mengerutkan kening. "Ibu cantik, kenapa takut suami meninggalkan Ibu?"
Netty menunduk.
Dokter Farah meletakkan secangkir teh hangat untuk Netty. "Silakan, "katanya.
"Terima kasih, Dok."

==========***==========

"Kalian bertengkar lagi?"tegur Ibu memperhatikan Anfa yang meninggalkan Rana di kamar. "Anfa, kau harus memahami kondisi istrimu."
"Iya, Bu, "jawab Anfa singkat. Ia tidak ingin menceritakan masalah yang sedang berkecamuk dalam rumah tangganya. Laki-laki itu berusaha bersikap wajar padahal pagi tadi ia nyaris menghajar tamu tak diundang yang lagi-lagi datang itu. Ya, nyaris, kalau saja Arya dan Shafa tak segera datang.
"Istrimu sedang apa?"
"Mendengarkan siaran berita."
"Kau tidak temani?"
"Nanti saja, Bu. Saya harus membersihkan garasi."
Ibu menatap wajah putra sulungnya yang tampak kalut. Sejak pernikahannya dengan Netty, Anfa seperti tidak pernah lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Wanita itu tak habis pikir karena memang ia belum mengetahui alasan sebenarnya Anfa menikah lagi.
"Bapak ke mana, Bu?"
"Bapakmu sedang bersih-bersih rumah kita. Oh ya, jam sebelas nanti, Ibu pulang dulu. Kasihan bapakmu, tidak ada
yang membantu."
"Perlu Anfa panggilkan taksi?"
"Tidak usah, Ibu bisa naik mikrolet. Ayo, temui istrimu. Sudah dua hari ini Ibu Bapak melihat kamu dan Rana saling memasang tampang masam. Percuma kamu ambil cuti empat hari, kalau seperti ini. Dengan Netty pun, kamu tidak pernah perduli. Anfa, Ibu kecewa. Seharusnya kau jadi suami yang baik."
Anfa diam saja. Maafkan aku, Bu, ujarnya dalam hati. Aku tidak bisa. Aku marah karena menyadari bahwa sebenarnya Rana dan laki-laki itu memang saling mencintai. Sedangkan aku begitu mencintai Rana. Dan Netty, Ibu belum tahu kalau dia hanya menjebakku. Aku pun tidak tahu siapa laki-laki yang telah menghamilinya.
"Anfa..."
Anfa memandang ibunya. Ia tersenyum.
"Temui istrimu."
"Baik, Bu."

========********=========

Arya dan Shafa gembira karena Tante Afna datang ke rumah kakek. Sayangnya, tanpa suami. Kata Tante Afna, Oom harus bekerja.
"Wah, sudah berapa bulan, Nak?"sambut Bapak mencium kening putrinya.
"Enam bulan, Pak."
"Ayo masuk, "Bapak meraih tangannya. "Tadi Bapak coba masak nasi goreng, mudah-mudahan enak."
"Tante, biar Arya yang bawakan tasnya."
"Oh, ini oleh-oleh. Bawa saja, Arya."
Shafa memperhatikan perut tantenya. "Tante mau melahirkan?"
"Iya, tapi masih lama."
"Lho, kalian tidak sekolah?"
"Arya masuk siang, Tante. Kalau Dik Shafa memang libur."
Shafa mengangguk-angguk.
Bapak mengajak Afna ke ruang makan.
Arya dan Shafa mengikuti.

=========0000=========

Jam praktik sudah tutup sejak tadi. Farah pun bersiap-siap pulang.
Ia teringat Netty pasien yang unik itu. Ia bersedia membantu wanita itu dari kemelut yang sedang dihadapinya.
"Jadi saya harus jujur, Dok?"
"Benar, Ibu harus jujur."
"Suami saya pasti sangat marah."
"Itu resiko yang harus Ibu hadapi."
Netty terdiam. Ia tampak gelisah.
Farah menghela napas. Ia melangkah keluar ruangan dan mengunci pintu.

======00000000===========


Hani menyerahkan setumpuk berkas yang harus ditandatangani Anfa.
"Cepat sekali kamu masuk, Han? Cuti bulan madumu masih seminggu lagi kan?"
Hani tersenyum malu. "Faisal juga masuk, Pak, "jawabnya.
"Jadi ceritanya ikut suami?"
"Sebaiknya kan begitu, Pak."
Anfa tersenyum. "Baiklah, mana yang harus saya tandatangani?"
Hani membuka map berisi berkas-berkas itu.
Hani bergegas meninggalkan ruangan direktur setelah Anfa menandatangani berkas-berkas itu.
Anfa membuka laptop yang tersedia di meja kerjanya. Tetapi ia tidak segera membuka filenya melainkan melihat foto-foto kedua anaknya yang cerdas dan periang itu. Ia tersenyum memandang gambar-gambar yang bersejarah dalam hidupnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, "Anfa menoleh. Ia terkejut.
"Boleh aku duduk?" tanya Netty menunjuk kursi.
"Ya, duduklah."
Netty memeluk erat tas tangan yang dibawanya. Ia memandang suaminya penuh arti.
"Ada yang ingin kaubicarakan?"
"Iya, Mas. Tapi Mas tidak sibuk kan?"
"Belum, tapi ceritakan saja."
"Aku tadi sempat bertemu Afna. Ia kaget sekali waktu tahu bahwa saya istrimu juga. Kami sempat ribut. Ia marah sekali. Untunglah Ibu berhasil memberinya pengertian."
"Maafkan adikku. Dia memang belum tahu kakaknya menikah lagi."
"Kenapa Mas tidak ceritakan saja?"
"Aku tidak mau mengecewakannya karena tahu ia sedang hamil. Ah, mudah-mudahan dia tidak apa-apa."
"Ya, mudah-mudahan. Sebenarnya sejak kemarin aku ingin menyampaikan satu hal kepadamu...tapi aku takut...."
"Takut?"
"Aku takut kau marah."

=======00000========

Farah meletakkan sepiring pisang goreng di ruang tamu.
"Mas, untuk apa menunggu sesuatu yang tidak pasti? Bukankah itu pekerjaan yang sia-sia."
"Entahlah, Farah. Mas benar-benar mengagumi wanita itu."
"Pasti dia sangat cantik."
"Samasekali tidak. Tapi entahlah, kenapa aku bisa begitu tergila-gila padanya."
"Mas harus ingat, ia sudah berkeluarga."
"Ya, aku tahu, Farah. Tapi Mas tidak bisa menahan diri untuk tidak menemuinya."
"Dan suami wanita itu hampir saja membuatmu babak belur?"tukas Farah menatap kakaknya tajam.
Sang Kakak terdiam.
"Masih banyak gadis atau wanita yang masih sendiri. Mas harus belajar melupakan wanita itu."
"Saat aku tahu dia lumpuh, aku malah gembira. Harapanku suaminya pasti akan menceraikannya. Sayangnya aku salah, ternyata suaminya begitu setia. Aku juga menyadari bahwa suaminya bukan hanya mencintainya tetapi juga sangat menyayanginya."
"Mas memang harus sadar. Jangan merusak rumah tangga orang."
Si Kakak mengangguk-angguk.
Terdengar suara tangis bayi dari kamar.
"Sebentar ya, Mas, "Farah beranjak dari duduknya.'
"Suamimu belum pulang?"
"Belum, dia lembur."

=========))))((((========


Netty duduk di samping Anfa.
"Kau marah, Mas? Maafkan aku."
"Jadi sebenarnya kau tidak hamil?"
Netty menggeleng.
"Kenapa kau lakukan ini?"
"Aku putus asa, aku ingin kau menikahiku."
"Aku tidak menghamilimu, Netty."
"Tapi aku sangat mencintaimu. Keinginan untuk memilikimu begitu besar."
"Sampai-sampai kau rela menyakiti sesama kaummu?"
"Cinta memang buta. Maafkan aku."
Anfa memandang Netty yang menunduk. Sebenarnya perempuan ini jauh lebih cantik dibanding Rana, tetapi tetap saja ia tak merasakan sesuatu yang lain itu. Cinta memang ajaib.
Suasana hening sejenak. Anfa mencium pipi Netty lembut.
Dada wanita itu berdebar keras. Ini kedua kali suami menciumnya, yang pertama setelah akad nikah.
Braaak!
Keduanya tersentak. Mereka langsung melompat menghampiri Rana yang terjatuh dari kursi roda. Anfa memapah istrinya duduk di sofa. Sementara Netty menyiapkan bantal dan segelas air hangat.
Rana tidak menolak saat Netty membantunya untuk meneguk air putih itu.
Anfa mencium keningnya.
"Bagaimana laki-laki bisa mencium dua wanita sekaligus dalam satu ruangan?"tanya Rana lirih tetapi Anfa dapat mendengarnya dengan jelas. Juga Netty.
"Rana...."
"Biarkan aku sendiri."
Anfa dan Netty terdiam.

=============((())))=============


Tujuh tahun kemudian.
"Oom dan Tante harus datang, "ujar Arya sore itu. Ia menyerahkan sepucuk amplop hijau muda.
"Lho, kamu mau menikah, Arya?"
Arya mengangguk "Benar, Tante."
Netty tersenyum. Ia menatap pemuda yang dulu pernah menjadi anak tirinya itu. Ia teringat Arya pernah protes dengan kehadiran dirinya yang tiba-tiba itu. Hanya saja Arya adalah anak yang sopan sehingga memutuskan untuk tidak ikut campur urusan orang tua.
"Kita ada acara apa tidak, Ma?"tanya pria yang duduk di samping Netty.
Arya memandang laki-laki itu. Ia adalah teman ibunya yang beberapa kali datang bertamu.
"Mudah-mudahan tidak, "jawab Netty.
"Kalau begitu, saya pulang, "Arya berdiri. "Permisi, Oom, Tante."
Sepasang suami istri itu mengiringi kepulangan Arya yang mengendarai Supra X dengan pandangan mata.
"Dia anak...."
Netty tertawa. "Ya, dia anak dari perempuan yang suaminya nyaris menghajar Papa, kan?"
Suaminya terbahak. "Papa perlu belajar banyak dari suami yang setia itu."
"Dia memang sangat setia."
"Bagaimana dengan Papa? Apa Papa kurang setia sampai anak kita tiga?"
"Ih, Papa asal, "Netty gemas. "Apa hubungannya?"
Si Suami tersenyum. "Lalu bagaimana dengan Rana, istrinya itu?"
"Kabarnya Mbak Rana sudah bisa berjalan lagi."
"Aku senang mendengarnya. Kapan?"
"Mama tidak tahu. Tapi Mama pernah melihat dia dan Mas Anfa belanja di supermarket bersama dua balita laki dan perempuan."
"Wah, pasti itu anak-anak mereka."

Benar. Pada saat yang sama Anfa dan Rana sedang kewalahan melerai si Kembar yang berebut mainan.



Tamat

Rabu, 15 April 2009

Debur Ombak Kehidupan (7)

"Ibu ada?" seorang pria berkacamata hitam menyapa Shafa ramah.
Gadis kecil yang sedang bermain lompat tali di halaman itu terdiam. Ia menatap orang asing itu penuh selidik.
"Oom siapa?"
"Oom ini teman ibumu waktu sekolah. Nama Oom, Surya."
"Oom Surya, "ulang gadis itu.
"Iya, anak cantik. Oh ya, siapa namamu?"
"Shafa, Oom."
Seorang remaja keluar. Ia mendekati keduanya.
"Maaf, Oom cari siapa?"
Laki-laki itu tersenyum menatap sang remaja. "Kamu pasti Arya."
"Benar, Oom."
"Ibu ada?"
"Ada, tapi...."
"Tapi apa?"
"Silakan masuk, Oom."

===========********=============

Sore itu Netty menemui teman semasa kuliah. Linda menyambutnya dengan gembira. Maklum sudah lima tahun mereka tidak berjumpa.
"Kau hamil?"Linda menatap perut Netty yang membuncit. "Sudah berapa bulan?"
"Itulah, aku mau minta tolong."
Linda menuangkan es jeruk dari poci ke dalam dua gelas. "Maksudmu?"
"Aku tidak hamil tapi aku sudah menikah."
"Aku bingung."
"Suamimu kan dokter, Lin."
"Apa hubungannya dengan suamiku?Lagipula suamiku psikiater bukan dokter kandungan."
"Iya, tapi dia pasti punya teman dokter kandungan kan?"
Linda mengangguk.
"Naah, aku ingin minta tolong."
Linda mengerutkan kening. Tangannya sibuk membuka kaleng biskuit yang tertutup rapat.
"Sebenarnya aku tidak hamil, Lin. Aku cuma pura-pura."
"Kenapa, Netty? Kenapa harus pura-pura, toh kamu sudah bersuami?"
"Aku terpaksa supaya dia mau menikahiku."
"Maksudmu supaya dia mau bertanggungjawab?"
Netty menggeleng. "Bukan, tetapi supaya dia mau menikahiku."
"Ah, pusing, "Linda menepuk dahinya. "Apa bedanya? Atau maksudmu, sebelum menikah kalian sudah pernah...?"
Netty menggeleng. "Tidak. Laki-laki itu ah, aku tidak tahu bagaimana cara menaklukkan dirinya. Ia memang laki-laki yang sangat setia."
"Lho...harusnya kamu bangga."
"Dia setia pada istrinya, istri pertamanya."
Linda memeluk kaleng yang belum berhasil dibukanya. Ia merasa telinganya salah mendengar. "Tunggu dulu, istri pertama katamu.Jadi maksudmu suamimu bukan lajang saat kalian menikah."
"Ya, aku istri kedua."
Linda langsung mencibir. "Begitu kok setia? Memangnya satu istri belum cukup, ya? Dasar laki-laki, di mana-mana sama. Pasti kamu kena rayuannya, makanya mau dimadu."
Senyum Netty langsung memudar. Ia berusaha menahan gejolak hatinya. Kau salah, sahutnya, tetapi dalam hati. Bahkan aku yang berusaha mendapatkan dirinya, sampai-sampai aku harus pura-pura bunuh diri.
Linda melihat Netty yang mendadak murung. Ia merasa bersalah.

-------------------------**********---------------------

Surya terkejut bukan kepalang melihat keadaan perempuan cinta pertamanya itu. Rana bukan lagi seperti yang dulu. Ia tidak bisa berjalan tanpa bantuan kursi roda.
"Kenapa kamu jadi seperti ini?'
"Aku mengalami kecelakaan."
"Kapan?"
"Lima tahun yang lalu."
"Kapan kau bisa berjalan lagi seperti dulu, Rana?"
"Aku tidak tahu. Kata Dokter, paling cepat dua tahun lagi."
"Apa?"Surya terbelalak.
"Silakan dicicipi kacang bogornya."
"Terima kasih, "Surya membuka stoples mungil di atas meja tamu. "Berapa lama kau di rumah sakit?"
"Lama juga. Setahun, selebihnya rawat jalan, sampai sekarang."
"Suamimu?"
"Dia baik-baik saja."
"Bukan itu maksudku, tapi...."
Tatapan Rana begitu nanar tetapi Surya yakin bahwa sebenarnya tatapan itu penuh arti.
"Aku belum menikah, Rana. Aku tetap setia...."
Rana menggeleng. "Ada anak-anakku."
"Mereka sedang belajar kan?"
Rana tidak menjawab.
"Kalau suamimu tidak sudi melihatmu lagi, aku siap menerima dirimu."
Suasana hening. Di luar sore begitu cerah. Tampaknya hujan tidak akan turun menyapa bumi hari ini.
"Asalamualaikum."
"Wa..waalaikumussalam..."serentak keduanya menoleh.
"Anfa, "sapa Surya berdiri. "Kau masih ingat aku?"
Anfa menatap Surya tajam. "Tentu saja aku ingat. Anda adalah laki-laki yang gemar mengganggu istri orang, "setelah berkata demikian, laki-laki itu berlalu ke dalam.
Rana ingin mengejar atau berteriak memanggil suaminya tetapi ia tidak berdaya.
"Maafkan aku, "Surya tampak bersalah. "Sebaiknya aku pulang saja. Sungguh, aku tidak bermaksud...."
Rana membisu.
Surya berlalu.

=============00000==============


Malam itu suasana agak sepi. Bapak dan Ibu mengajak kedua cucunya menonton film animasi di bioskop. Beliau ingin memberi kesempatan kepada Anfa supaya dapat bersantai dengan kedua istrinya.
Netty menghidangkan semangkuk mi goreng di atas meja makan. Malam ini ia bertekad akan menyenangkan hati suaminya.
Sementara itu di ruang tengah, Anfa berdiri di samping Rana dengan wajah dingin.
"Ayah masih marah?"
"Kenapa laki-laki itu selalu hadir saat aku tidak ada di rumah?"
"Aku tidak tahu."
"Tapi kau suka bukan?"
Rana nyaris menangis mendengar pertanyaan bernada menuduh itu.
Anfa tidak berkata-kata lagi. Ia duduk di sofa dan meraih surat kabar di atas meja.
Netty menghampiri suaminya dengan senyum ceria. "Mi gorengnya sudah siap, "ujarnya. "Mas mau makan sekarang?"
"Ajak Mbak Rana makan dulu, "jawab Anfa tanpa mengalihkan perhatiannya dari koran yang ada di tangannya.
Netty melengos kesal. "Dia tidak mau kalau aku yang mengajak."
Anfa meletakkan koran di atas meja. Ia beranjak mengampiri istrinya yang terdiam di sudut.
"Kita makan dulu, Bu, "ujarnya sambil mendorong kursi roda istrinya.
"Aku mau jalan saja."
Anfa membantu istrinya berdiri. Tetapi Rana menggeleng.
Netty tersenyum mengejek. Ia memeluk lengan Anfa dengan sengaja.
Rana yang marah berusaha untuk berdiri sambil berpegangan pada sisi kursi roda. Hampir saja ia terjatuh.
Anfa tampak cemas. "Hati-hati...."
"Lepaskan aku."
Rana berhasil beberapa langkah. Meskipun demikian, Anfa masih cemas karena Rana tampak masih lemah. Ia terus mengikuti langkah wanita itu dan sedikit pun tidak mengacuhkan Netty yang setia menggandeng lengannya.
Beberapa kali Rana hampir terjatuh. Tetapi ia tetap keras kepala dan menolak pertolongan suaminya.
Perempuan sombong, sembur Netty dalam hati. Sudah tahu pegang sendok saja tidak becus, mau makan sendiri. Ia melihat Rana menolak saat Anfa hendak menyuapinya.
Anfa meletakkan piring berisi mi goreng itu. Ia menatap wajah istrinya sambil tersenyum. Tetapi ia terkejut ketika melihat bola mata Rana yang berkaca-kaca.
"Eh, tadi aku masak bolu kukus, "Netty menarik tangan Anfa. "Ayo, ikut aku ke dapur."
Anfa terpaksa menurut.
Ternyata kau sama saja dengan yang lain, Anfa, desis hati Rana kecewa. Semua laki-laki memang sama saja. Katanya setia, nyatanya menikah lagi!

Debur Ombak Kehidupan (6)

Pagi itu ada keributan di halaman kantor. Orang-orang berkerumun bahkan beberapa wartawan dan repoter dari berbagai media massa dan elektronik juga datang. Mereka sudah bersiap-siap dengan kamera dan alat rekam.
Ada wanita cantik nekat akan terjun dari lantai tiga. Ia tampak putus asa dan tak memilliki lagi harapan untuk hidup lebih lama di dunia ini.
Faisal selaku kepala personalia tentu saja kalang kabut. Ia harus mengatasi masalah mendadak itu seorang diri. Direktur sedang menghadiri undangan di Jakarta sedangkan wakil direktur belum datang karena harus mengantar istrinya rawat jalan.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Faisal menoleh. Ia menarik napas lega.
"Syukurlah, Bapak sudah datang. Netty, Pak."
"Netty, ada apa dengan dia?"
"Coba Bapak lihat ke atas."
Anfa mengikuti arah telunjuk Faisal. Alangkah terkejut laki-laki itu. Ia melihat sekretaris direktur itu berdiri di jendela lantai tiga.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Faisal?"
"Saya tidak tahu, Pak. Kemarin dia biasa-biasa saja."
"Sudah ada tindakan?"
"Sudah. Tapi dia malah mengancam akan loncat."
Seorang wanita berjilbab coklat muda menghampiri keduanya. "Saya tadi juga sudah naik dan berusaha membujuk.Tapi saya hanya berhasil mengetahui sebab dia nekat seperti itu."
"Apa?"
"Maaf, katanya dia nekat karena Bapak telah melukai hatinya."
Anfa tersentak. "Saya?"
Wanita itu mengangguk.
Faisal menatap atasan sekaligus sahabatnya itu.

==================88888===============

Bapak mengupas rambutan dan memberikannya kepada Shafa. Gadis kelas II itu tampak gembira duduk di dekat kakeknya.
"Sudah makan belum?"
"Sudah, Kek."
"Oh ya, kemarin kan ulangan matematika, dapat nilai berapa?"
"Belum Shafa lihat."
"Lho, kenapa?''
"Takut kalau dapat jelek."
Kakek mengambil tas merah muda dari pangkuan cucunya. "Coba Kakek lihat."
Ibu mendorong kursi roda yang diduduki Rana, menantunya. "Kita berkumpul di ruang tengah saja, ya."
"Iya, Bu."
"Aduh, asyik sekali. Manis ya rambutan aceh dari Tante Afna?"
"Eh, Ibu, "Bapak tersenyum. "Iya, manis sekali. Kapan Afna dan suaminya mampir ke sini lagi, ya?''
"Bapak ini, "tukas Ibu. "Belum sehari berpisah, sudah mau ketemu lagi."
"Entahlah, Bu. Sejak Afna menggenapkan setengah dien setahun yang lalu, mendadak Bapak merasa kesepian.
Lebih-lebih setelah itu Bapak pensiun."
"Bapak, post power syndromenya jangan lama-lama, "Ibu duduk di kursi plastik dekat Bapak.
Bapak tersenyum. Ia membuka kertas di tangannya. "Lho, bagus kok."
"Berapa, Kek?"
"Seratus."
"Ah, yang benar, Kek?" Shafa terbelalak riang.
"Ini Shafa lihat sendiri."
Sementara itu Rana hanya memandang suasana riang itu dengan tatapan hampa. Tetapi bukan berarti ia tidak dapat memahami semua yang didengarnya.

==============*********===============

Akhirnya Anfa terpaksa menuju lantai tiga. Sementara itu Netty tetap bertengger di jendela.
Khawatir akan terjadi sesuatu pada keduanya, Faisal mengajak Hani wanita berjilbab itu menyusul.
"Jangan mendekat!"seru Netty saat melihat Anfa mendekatinya.
"Saya tidak akan mendekat, "Anfa langsung menghentikan langkahnya. "Tapi tolong, kau harus turun."
"Aku tidak mau!"
"Netty, jangan nekat, "ternyata Hani sudah tiba di lantai tiga bersama Faisal.
"Kau tidak usah ikut campur!"
"Tapi..." Hani berjalan mendekat.
"Jangan mendekat, atau aku akan loncat!"
"Baiklah, "sela Anfa dengan kepala pening. "Apa maumu?"
Tiba-tiba Netty tersenyum, ditatapnya pria tampan dan gagah itu penuh arti.
Anfa dan yang lain menunggu dengan tegang.
"Saya ingin Bapak menikahi saya."
"Itu tidak mungkin...."
"Atau Bapak lebih suka melihat saya terjun bebas?"
Anfa terdiam.
"Satu...," Netty bersiap-siap berdiri sambil berpegangan pada sisi jendela. "Dua..., " wanita itu sudah berdiri sambil bersandar. "Ti...."
"Baiklah, "jawab Anfa. "Sekarang turunlah."
Netty tersenyum simpul.
Hani bergegas menolong Netty.
Faisal menepuk pundak Anfa. "Bapak sungguh-sungguh akan menikahi dia?"
Anfa terdiam. Ia menyadari bahwa ia telah mengucapkan satu kata yang fatal akibatnya jika sampai mengingkari.

============****=============

Anfa terkejut. Ia memegang pipinya yang terasa panas. Laki-laki itu menunduk. Ia tak berani menatap ibunya yang tampak sangat marah.
"Terlalu kamu, Anfa, "suara wanita yang masih tampak cantik diusia senja itu terdengar geram. "Kenapa kau tega menyakiti istrimu?"
Anfa hanya menunduk.
"Jawab, Anfa! Kenapa kau menghamili gadis itu?!"
Kali ini Anfa terkejut luar biasa. Ia memandang ibunya.
"Ibu, saya tidak...."
"Tidak apa? Tidak menghamili gadis malang itu? Tetapi kamu telah merusak masa depannya, kau...,"Ibu tidak melanjutkan kata-katanya. Beliau menyadari bahwa Rana berada di ruang tengah itu.
Anfa cepat-cepat menghampiri istrinya.
"Rana...."
"Aku mau sendiri."
Anfa terpaku.

=============8888=================

Netty merasa sangat bahagia. Hari ini adalah adalah hari yang paling bersejarah baginya. Dengan hati berbunga- bunga ia duduk di ranjang pengantin bertabur bunga melati itu.
"Akhirnya aku berhasil mendapatkanmu, "bisik wanita kepada dirinya sendiri.
Pintu terbuka. Melihat Anfa masuk, Netty segera berdiri.
"Mau kuambilkan minum?"
"Saya harus pergi ke kantor, "sahut Anfa meraih kunci sedan di atas meja kecil di dekat ranjang.
Netty tampak kesal. Jadi kau mau menghindari aku, Anfa? Baiklah, tunggu saja nanti, siapa yang menang.

===========0000==========

Debur Ombak Kehidupan (5)

Hari ini Anfa terpaksa pulang terlambat. Ia harus bekerja lembur untuk menyelesaikan tugasnya. Setelah menelepon ibunya, ia segera kembali menuju meja kerja.
Seluruh karyawan sudah pulang, hanya dua satpam dan tiga petugas kebersihan yang masih menjalankan tugasnya.Netty pun mengurungkan niatnya untuk pulang begitu mengetahui Anfa akan pulang terlambat.

Netty meletakkan secangkir teh hangat di meja kerja Anfa.
"Silakan, Pak. Mumpung masih hangat."
"Terima kasih."
"Bagaimana keadaan Bu Rana, Pak?"
"Alhamdulillah, baik."
Netty mulai mencari celah kelengahan wakil direktur yang menjadi idolanya itu.

================0000000000000000====================

Afna mengupas mangga gadung dan memotong-motongnya sehingga berbentuk dadu. Ibu yang sudah siap membawa garpu, mengambil sepotong, dan mengunyahnya.
"Manis, Bu?"tanya Afna memandang ibunya yang tampak menikmati potongan mangga itu.
"Manis sekali, seperti Ibu, "sahut Ibu tersenyum.
"Ah, Ibu, "Afna tertawa. "Afna tadi beli di toko buah seberang kampus."
"Bapakmu pasti suka. Mangga gadung kan buah favoritnya."
"Oh ya, jam berapa, Bapak datang, Bu?"
"Mungkin besok pagi. Mbak Rana sudah tidur?"
"Sudah, Bu. Matanya sudah terpejam, berarti sudah tidur."
Afna memasukkan kulit mangga ke keranjang sampah yang diletakkannya di dekat kaki meja.
"Bu, ini sudah tiga bulan, Mbak Rana baru bisa mengangguk dan menggelengkan kepala. Perlu waktu berapa lama ia bisa seperti dulu?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Nak?"
"Sejujurnya, Bu, Afna kaget waktu mengetahui gadis pilihan Mas Anfa. Rasanya aku tidak percaya kalau tambatan hatinya begitu sederhana. Dan sekarang...apa yang menarik dari seorang wanita yang hanya sanggup berbaring?
Bahkan untuk makan saja, ia harus disuapi."
Ibu menarik napas panjang mendengar penuturan putri semata wayangnya. Selama ini perempuan empatpuluhan itu tidak pernah menyangsikan kesetiaan si Sulung Anfa. Beliau mengetahui benar bahwa Rana dengan segala kesederhanaannya, ia mampu membuat suaminya menerima dirinya apa adanya.
Tetapi sekarang ? Sampai berapa lama Anfa mampu bertahan?
Si Kukuk berdendang sepuluh kali. Malam semakin larut.

==================0000000000000======================

Netty menyandarkan punggungnya di dinding. Ia marah dan merasa sangat terhina. Seumur-umur belum pernah ada laki-laki yang berani menolak keinginannya. Selama ini semua pria selalu bertekuk lutut di bawah telapak kakinya setelah terbuai oleh senyum dan kerlingan mautnya.
Tetapi ternyata Anfa adalah laki-laki pertama yang menolak dirinya dengan tegas. Ada satu kalimat yang dilontarkan laki-laki itu yang membuatnya marah bukan kepalang.
"Apakah kau ingin menari di atas penderitaan sesama kaummu, Netty?" ujar Anfa tajam saat wanita itu menawarkan diri untuk mengajak dirinya menikmati suasana di sebuah klub malam.
Bah, sok alim! Wanita meremas-remas saputangan yang digenggamnya dengan gemas.

Sementara itu Anfa sedang berkemas-kemas. Ia telah menyelesaikan pekerjaannya dan tidak mau menunda waktu untuk pulang. Keinginan itu semakin kuat setelah ia menerima ajakan Netty yang terlampau berani itu.
Bayangan Rana yang terbaring lemah tergambar di dalam benaknya. Ia tidak bisa mendustai diri sendiri kalau saat ini ia begitu kesepian. Kesepian itu mulai mendera ketika ia mengetahui bahwa istrinya tak memiliki perasaan apa-apa kepadanya. Sepi dan cemburu sesungguhnya masih membara di dalam dadanya. Cemburu saat melihat Rana bersama laki-laki itu.
"Hujan turun deras, Pak, "tiba-tiba Netty sudah berada di hadapan Anfa. "Tidak mungkin Bapak pulang sekarang. Banjir bisa membuat mesin sedan rusak. Oh ya, mau saya tutup tirai ruangan ini?"
"Tunggu sampai saya keluar dari ruangan ini, "sahut Anfa sambil melangkah menuju pintu.
Netty menghela napas kesal.

Senin, 13 April 2009

Debur Ombak Kehidupan (4)

Anfa tersentak. Ada tepukan lembut di pundaknya. Ia menoleh. "Afna, kau baru datang?"
"Iya, Mas, "Afna meletakkan tas berisi pakaian di dekat ranjang tempat Rana terbaring.
"Anak-anak?"
"Sama Ibu. Mbak Rana sudah sadar?"
Anfa menggeleng lemah.
"Tapi menurut dokter, bagaimana?"
"Kalau kondisinya stabil, mungkin tiga hari lagi Rana bisa sadar. Hanya saja...,"Anfa terdiam.
"Hanya saja apa, Mas?"
"Kata Dokter kemungkinan besar Mbak Rana akan mengalami kelumpuhan total."
Afna ternganga. "Ya Allah...,"desahnya lirih.
Anfa kembali memandang Rana yang terbaring lemah. Kepala perempuan itu terbalut perban. Laki-laki itu
menggenggam jemari istrinya yang bebas dari luka dan menempelkannya di pipi kanan.
"Makan dulu, Mas. Aku bawakan soto ayam."
"Mas belum lapar."
Afna duduk di samping kakaknya. Ia memperhatikan laki-laki yang masih setia menggenggam tangan istrinya. Gadis itu tidak habis pikir mengapa si kakak begitu mencintai Rana. Perempuan bernama Rana itu tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Tetapi Anfa selalu memuji istrinya. "Rana itu seperti bidadari, "begitu katanya.
Mas Anfa ini benar-benar mabuk kepayang, pikir Rana saat itu. Apalagi setelah ia mengetahui ternyata kakak iparnya tidak bisa menjahit. Buru-buru menjahit, memasang kancing saja tidak becus. Menggoreng tahu pun sering hangus. Tetapi Anfa tidak pernah memandang semua itu sebagai kekurangan, ia tetap mencintai dan menerima istrinya apa adanya.
Azan magrib berkumandang.
"Mas salat dulu. Biar Afna yang temani Mbak Rana."
"Baik, "Anfa beranjak dari duduknya.

==================0000==================

Malam itu Anfa tidak dapat memejamkan mata. Sebenarnya ia ingin menginap di rumah sakit dan menjaga istrinya, tetapi ibu dan adiknya melarang.
"Biar adikmu saja, "ujar Ibu. "Kebetulan dia sedang libur semester."
"Iya, Mas, "sela Afna. "Mas urus anak-anak saja."
Jadilah malam itu Anfa menemani Shafa. Sementara Arya sudah terbiasa tidur di kamar terpisah.
"Ibu...,"Shafa mulai merengek-rengek mencari ibunya.
"Ssh...,"Anfa mengusap-usap kepala anaknya.
"Ibu...,"gadis cilik itu mulai membentuk garis bibirnya melengkung ke bawah. "Ibu...hua...hua...!'
Terpaksa sang Ayah menggendong bidadari mungilnya yang menangis dengan mata terpejam itu.

==============*******======================

Saat makan siang, Faisal memperhatikan Anfa yang tampak sangat lelah. Wajah pria itu pucat dan matanya sedikit merah karena kurang tidur.
"Kau tidur jam berapa?"
"Aku tidak bisa tidur. Si Kecil menangis terus, cari ibunya, " jawab Anfa mengaduk-aduk es jeruknya.
"Kau tahu apa yang harus kaulakukan?"
"Sebenarnya aku tahu, tapi aku tidak bisa."
"Memangnya Shafa minta apa?" Faisal mengambil sepotong tempe goreng.
"Ia suka sekali kalau ibunya memasang beberapa jepit aneka warnanya di rambutnya. Kemudian ia akan mengacak-acak rambut ibunya. Masa aku pakai jepit?"
Faisal terbahak. Anfa tersenyum simpul.
Netty melintas di depan mereka. Anfa menggamit lengan Faisal.
"Hei, sudah waktunya kau mengakhiri masa lajangmu, "ujarnya. "Di sini sudah ada yang cocok untukmu."
Faisal berdecak. "Ada-ada saja kau ini, "tukasnya. "Justru sebaliknya, para karyawati di sini banyak yang menaruh hati padamu. Kalau mau dijadikan yang kedua atau ketiga, kelihatannya mereka oke-oke saja."
Giliran Anfa yang terdiam. Ia tampak tidak senang dengan ucapan sahabatnya itu. Kalau bisa, ia lari saja dari gadis-gadis yang mengerikan itu.
"Kita kembali ke kantor, "ujarnya.
Faisal mengangguk.

Debur Ombak Kehidupan (3)

"Surya, kenalkan Anfa, suamiku, "ujar Rana setelah berhasil menguasai diri.
Surya segera berdiri. Ia ingin bersikap satria. Ia mengangguk ramah dan mengulurkan tangannya pada Anfa.
Tetapi Anfa hanya tersenyum hambar dan tidak membalas uluran tangan Surya. Ia berpaling kepada istrinya yang berdiri terpaku di sampingnya. "Agenda Ayah tertinggal di kamar, "katanya.
Rana bergegas mengikuti suaminya yang menuju kamar.
Tanpa berkata sepatah pun, Anfa membuka laci meja dan mengambil sebuah agenda berwarna biru tua. Ia tidak menghiraukan Rana yang memperhatikannya sejak tadi.
"Ayah, tunggu."
"Ayah harus kembali ke kantor."
Rana menghalangi jalan suaminya. "Tunggu sebentar, Ayah marah?"
Anfa menghentikan langkah. Laki-laki itu menatap istrinya tajam. "Ayah tidak marah, "katanya.
"Tidak seharusnya Ayah bersikap begitu pada teman Ibu."
"Oh ya? Jadi kau membela laki-laki yang bukan apa-apamu itu? Dengar Rana, bukankah tidak seharusnya seorang istri memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah tanpa sepengetahuan suami?" setelah berkata Anfa melangkah cepat meninggalkan Rana yang tampak bersedih.
"Kau marah padaku, Anfa, "desah wanita itu resah.

Surya merasa ikut bertanggung jawab saat ia melihat wajah Anfa yang tampak tegang dan Rana yang hampir menangis. Cepat-cepat ia menghampiri pria yang tengah memakai sepatu itu.
"Anfa, jangan marahi istrimu. Dia tidak bersalah."
Anfa tersenyum tipis mendengar ucapan Surya. "Aku tidak mengenal Anda....dan tolong jangan mencampuri urusan rumah tangga orang lain."
"Tapi, Anfa, istrimu tidak seperti dugaanmu. Percayalah, kami hanya...."
Tetapi Anfa tidak mau mendengar apa-apa lagi. Ia bergegas menuju sedan yang telah menunggunya di depan.
Surya menoleh. Ia melihat air berlinang di pipi Rana.
"Jangan menangis, "Surya hendak menghapus air mata itu.
Rana melangkah mundur.
"Kenapa? Aku tidak bermaksud apa-apa."
Rana menggeleng. "Sebaiknya kau pulang, Surya."
Surya mengehela napas. "Baiklah, "katanya sesaat kemudian.

==========================00000000000000000============================

Anfa mengaduk-aduk segelas jus melon di hadapannya. Tidak sedikit pun ia berselera untuk menikmati sari buah berwarna hijau itu. Peristiwa di rumahnya masih sangat mengganggu pikirannya.
Ia cemburu. Belum pernah ia melihat sorot mata istrinya yang tampak berbinar-binar saat laki-laki itu memandangnya. Sungguh, belum pernah.
"Sudah waktunya kembali bekerja, "Faisal menggamit lengan sahabatnya.
"Kamu dulu, nanti aku menyusul."
"Kau kelihatan murung. Ada yang kaupikirkan?"
Anfa menggeleng.
"Ingat, jangan membawa masalah pribadi ke kantor."
Anfa tersenyum. Ia beranjak dari duduk. "Kau benar, "katanya.
Faisal tertawa. "Kau selalu menjawab setiap perkataan dengan singkat, padat, dan jelas."
"Ya, seperti iklan."
Meledak tertawa keduamya.
Anfa setuju dengan nasihat Faisal. Memang sebaiknya ia harus dapat menahan perasaan pribadinya saat bekerja. Apalagi ini jam kerja.
================0000000000================================
Pukul satu siang. Sebentar lagi Arya pulang. Rana harus menjemput anak sulungnya itu seperti biasa.
"Ibu...," tertatih-tatih si Kecil Shafa menghampiri ibunya yang sedang menuangkan susu ke dalam botol.
"Eh, sudah bangun, Sayang, "Rana berjongkok mencium anaknya. "Shafa ganti baju ya, nanti kita pergi ke rumah Tante Afna."
"Iya, Bu. Nanti Chapa bawa pelmen, boyeh?"
"Boleh, "ujar Rana. "Tapi bawa dua saja, ya. Biar Shafa tidak sakit ...."
"Didi..."Shafa meringis menampakkan deretan gigi geliginya.
Rana tersenyum geli. Kelucuan Shafa membuatnya lupa akan kesedihan dan kekalutan yang tengah melanda dirinya.
===============0000000000=========
Nada ponsel berbunyi. Anfa meraih hp dari atas meja.
"Assalamualaikum. Ya, saya sendiri."
Anfa tampak terkejut. "Apa? Kecelakaan? Di mana? Sebentar, "pria itu membuka agenda dan menulis sesuatu.
"Ya, saya akan segera ke sana. Terima kasih. Waalaikumussalam."
Anfa berusaha mengatur napasnya yang mendadak terasa sesak. Ia harus bergegas menuju rumah sakit
Hidup Sehat.

Debur Ombak Kehidupan (2)

Rana memasukkan kotak bekal ke dalam tas Arya. "Jangan lupa uang SPP berikan Bu Guru, "pesannya sambil
menutup tas anaknya.
"Iya, Bu. Arya berangkat, "jawab Arya mencium tangan kanan ibunya.
"Ayah berangkat, "ujar Anfa mencium kedua pipi istrinya. Kemudian pria tersenyum menatap Shafa yang duduk manis di meja makan. Balita dua tahun itu asyik menikmati sarapan paginya. "Ayah berangkat, Sayang, "katanya
mencium pipi si Kecil.
Shafa kecil mengusap-usap pipi bekas ciuman ayahnya dengan tangan yang masih memegang sendok. Akibatnya ada percikan kecap yang menempel di dasi Anfa.
"Dasi Ayah kan jadi kotor, Sayang, "ujar Rana lembut. "Makannya disuapi Ibu, ya?"
Shafa menggeleng kuat-kuat. "Ndak au! Chapa mau dicuapi cama Chapa!"
Sementara itu Anfa menuju wastafel dan membersihkan dasinya yang terkena percikan kecap.
"Bisa hilang nodanya, Yah?"tanya Rana menghampiri suaminya. "Kalau tidak bisa ganti yang baru saja."
"Bisa, Bu. Ayo, Mas, sudah siap belum?"
"Sudah, Yah."
Rana mengantar suami dan anaknya sampai ke halaman. Beginilah aktivitasnya sehari-hari. Tetapi ia tak pernah merasa menyesal melakukan semua ini. Kendatipun, sesungguhnya ia memang tak pernah mencintai suaminya, namun ia sangat menyayangi anak-anaknya.
Tak lama kemudian Anfa dan Arya telah berada di dalam sedan biru itu. Keduanya melambaikan tangan kepada Rana.
Tiba-tiba....
"Mat Aya!!!"
Anfa yang sudah menjalankan sedannya terpaksa mundur. "Tuh, adikmu, Mas."
"Iya, ada apa, Adik Sayang?" Arya mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
"Da da!!" Shafa melambaikan tangan dengan gembira.
"Da da juga!"sahut Arya membalas lambaian adiknya.
Anfa dan Rana tersenyum bahagia melihat kedua anaknya saling menyayangi.

==============================0000000000000=============================

Netty tidak putus asa. Meskipun Anfa sudah menjelaskan bahwa ia telah berkeluarga, tetapi ternyata wanita itu tidak mau tahu. Ia tidak menjadikan status wakil direktur tempatnya bekerja itu sebagai halangan untuk menarik simpati bahkan mungkin cinta. Setiap hari ada saja yang ia lakukan untuk menarik perhatian Anfa.

"Selamat pagi, Pak, "sapa Netty yang tengah merapikan meja kerja Anfa.
"Pagi, "jawab Anfa ramah. Ia meletakkan tasnya di atas meja.
"Maaf, apa benar Bapak sudah berkeluarga?"
"Ya. Kenapa?"
"Tapi Bapak seperti belum berkeluarga? Saya tidak percaya."
"Tidak percaya itu hakmu, Netty, "Anfa tersenyum. "Silakan lanjutkan pekerjaanmu yang lain."
"Baik, Pak, "Netty bergegas meninggalkan ruangan. Tetapi sampai di pintu, ia membalikkan tubuhnya. "Bapak mau saya buatkan secangkir teh hangat?"
"Terima kasih. Tidak usah."
Netty mengangkat bahu.
Anfa menarik napas panjang. Pria itu berusaha melawan gejolak perasaannya. Bagaimana pun juga sikap dan ucapan Netty memang sangat mengganggu dirinya. Benar, pakaian yang dikenakan wanita itu adalah busana muslim tetapi ternyata itu belum juga mengubah sikapnya.
Anfa membuka tas. Ia harus mulai menyelesaikan pekerjaan.

=================================0000000000000000000000====================

Kehadiran Surya, teman semasa SMU cukup mengejutkan Rana. Apalagi ia berterus terang bahwa sebenarnya ia dulu mencintai Rana.
"Bahkan sampai sekarang, aku masih memendam perasaan yang sama."
"Kau ini, Surya? Aku sudah punya suami."
"Iya, aku tahu, "tukas Surya memperhatikan Rana yang tengah meletakkan sepiring roti bakar. "Tapi aku tidak berani karena kamu sangat pendiam."
"Kau sendiri sudah berkeluarga?"
"Belum. Aku menunggumu."
Rana tersentak. Perasaannya jadi tidak enak. Ia memang tidak menaruh rasa apa-apa terhadap Anfa yang saat ini berstatus menjadi suaminya tetapi sungguh bukan alasan untuk mencari orang ketiga dalam kehidupannya. Walaupun sebenarnya ia pun menyimpan perasaan yang sama dengan Surya.

Keheningan yang tercipta melingkupi mereka. Beberapa saat lamanya kedua insan berlainan jenis itu tidak tahu apa yang harus dikatakan. Mereka hanya terdiam dan menunduk seraya menghitung petak lantai ruang tamu.

"Rana...aku...."
"Ya?"
"Aku ingin mengulang masa yang kubuang sia-sia itu. Aku sudah mendapatkan kesempatan itu dan aku tak mau melewatkannya begitu saja."
Rana terdiam. Diamatinya diri dan pakaian yang dikenakan. Ternyata dengan berpakaian serba tertutup seperti ini bukan berarti seseorang telah terjaga dari perasaan yang seharusnya tak boleh dihadirkan untuk orang lain. Perasaan cinta.
"Kau mau bukan?"Surya tampak tak sabar menunggu jawaban Rana. Ia menatap wanita di hadapannya dalam-dalam menelusuri setiap pahatan di wajah sederhana namun menarik itu.
"Aku...."
"Ayolah, aku yakin kau menaruh rasa cinta juga untukku."
Rana menatap Surya terkejut. "Kau...?"
"Aku tahu kau selalu memperhatikan aku. Walaupun diam-diam, aku tahu."
Merah bersemu menghias raut wajah wanita itu.

"Silakan minum tehnya, "ujar Rana berusaha menguasai perasaannya. "Kau bekerja di mana?"
"Aku seorang psikolog. Buka praktik pribadi."
"Sekarang?"
"Buka sore. Kalau pagi sampai siang aku jadi wartawan."
"Wah, dunia yang berbeda."
"Ya, begitulah, "Surya tertawa.
Rana tersenyum geli.
Mendadak keduanya terdiam. Ada sosok lain yang berdiri di tengah-tengah mereka. Anfa, suami Rana.

Debur Ombak Kehidupan (1)

Anfa menutup buku harian bersampul biru itu. Ah, debar sesal menghantam dadanya. Seharusnya ia tidak lancang membaca buku harian orang lain meskipun milik istrinya sendiri. Tetapi ia tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak membaca sesuatu yang bukan haknya itu.
Dan ia harus menerima akibatnya. Coretan-coretan yang merangkai huruf demi huruf menjadi kata-kata yang menjalin kalimat itu kembali terbayang di benaknya. Kalimat-kalimat itu sangat mengganggu pikirannya. Bagaimana tidak, tak terlintas sedikitpun hal itu olehnya. Sedikitpun tidak, sampai akhirnya ia tanpa sengaja mendapati buku harian sang istri dan membacanya.

...Anfa suami yang baik, bahkan terlalu baik. Tapi, Diary...aku tak pernah bisa mencintainya. Aku telah berusaha tapi aku tetap tak bisa....

Anfa menghela napas. Jadi Rana tak pernah mencintainya. Itulah sesungguhnya yang terjadi. Wanita itu telah memendam perasaannya selama tujuh tahun dan itu bukan waktu yang pendek untuk perjalanan sebuah bahtera rumah tangga.

Padahal ada dua manusia mungil telah menghiasi kehidupan mereka. Arya dan Shafa, dua malaikat mungil tak bersayap yang menjadi cahaya mata dan pelipur lara.

Pintu kamar terbuka. Anfa cepat-cepat mengembalikan buku harian itu ke dalam laci dan berpura-pura merapikan
buku-buku yang berserakan.

"Makan malam sudah siap, Ayah, "Rana menyapa suaminya lembut. Seulas senyum manis menghiasi wajahnya yang bersahaja.
"Ya, terima kasih, "jawab Anfa menganggukkan kepala.
"Ayah mau makan malam Ibu antar ke sini? Tapi anak-anak sudah menunggu, mereka ingin makan bersama ayahnya."
"Tidak perlu,Bu. Lebih enak kita berkumpul di ruang makan."

Tetapi malam itu, Anfa tidak bisa menikmati tumis ikan peda kegemarannya. Ia hanya terdiam memandangi istri dan kedua anaknya yang tampak bahagia.

"Ayah tidak makan?" rupanya Arya si Sulung memperhatikan ayahnya yang tampak murung. "Tumis ikan peda masakan Ibu, enak lho."
"Iya, " si Kecil Shafa menyela. "Chapa cenang, coalnya enak. Ya, Mat?" ia menatap kakaknya minta persetujuan.
"Iya, Dik. Cicipi dulu, Pa."

"Ayah masih kenyang, "Anfa bangkit dari duduknya. "Ayah mau ke kamar dulu."
Arya tampak kecewa tetapi ia tidak berani bertanya-tanya, begitu juga dengan Shafa. Karena melihat kakaknya diam, ia pun ikut menunduk. Sementara Rana terdiam melihat sikap suaminya yang tidak seperti biasanya.

Ingin rasanya Anfa menyimpan gejolak hatinya rapat-rapat untuk selamanya. Ingin sekali ia pandai bersandiwara seperti istrinya itu. Tetapi sekali lagi, sejak rahasia hati Rana terkuak, ia tak lagi merasa tenang. Selintas curiga terbesit di hatinya.

"Siapa laki-laki itu?"entah apa yang mendorong dirinya mengucapkan pertanyaan itu.
Rana tercengang menatap suaminya."Maksud Ayah?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin bertanya."
Suasana kamar hening sejenak. Rana menengadah menatap langit-langit kamar lalu berganti memandang suaminya yang masih menunggu jawabannya.
"Tidak seharusnya Ayah bersikap seperti itu di depan anak-anak, "Rana mengalihkan perhatian. Ia mengancingkan sarung bantal yang terbuka.
"Tidak usah mengalihkan pembicaraan. Tolong jawab pertanyaanku, "tukas Anfa dengan nada sunggguh-sungguh.
"Kau mencurigaiku?"
"Apakah aku terlihat seperti itu?"
Rana, wanita itu tersenyum hambar. "Sejujurnya tidak ada laki-laki lain selain dirimu dalam kehidupanku."
Anfa tersenyum lega. Ia meraih tangan istrinya. "Aku percaya, "bisiknya.
"Kau harus percaya, "jawab Rana, "Karena aku juga selalu percaya padamu."

Anfa tetap tersenyum saat melihat istrinya mulai berbaring seraya menghamparkan selimut ke tubuhnya. Istrinya memang tampak lelah.

======0000======


Karyawati baru di perusahaan tempat Anfa bekerja itu memang cantik. Selain cantik, ia pun pandai berdandan.
Bukan hanya cantik dan pandai berdandan, ia juga mampu bekerja secara profesional. Baru seminggu bekerja, karyawati itu sudah berhasil membuat direktur memujinya berkali-kali.

Tetapi Anfa tidak terlalu menyukai wanita itu. Netty, begitu sapaannya tampak selalu kehabisan bahan pakaian. Rok bawah tidak pernah mencapai di bawah lutut. Ataupun jika rok itu panjang, selalu saja robek pada bagian
betis. Sebagai wakil direktur, Anfa pernah mengingatkan Netty supaya mengenakan pakaian kerja yang santun.
Netty hanya mengangguk-angguk dan kembali dengan model yang tak jauh berbeda pada keesokan harinya.

Tetapi tidak untuk hari ini. Rupanya Netty cemas juga dengan ultimatum wakil direktur itu. Meskipun wakil direktur, tetapi Anfa adalah orang terpercaya direktur. Maka jadilah hari itu, Netty datang dengan berpakaian ala busana muslim. Karena tidak terbiasa mengenakan busana muslim, beberapa kali ia nyaris terjungkal karena terinjak kain bagian bawah.

"Permisi, Pak, "Netty membawa setumpuk berkas untuk diperiksa Anfa. "Ini ada berkas yang harus Bapak teliti."
"Ya, terima kasih, "jawab Anfa menerima berkas itu.
Tetapi Netty masih berdiri di ruangan itu.
"Silakan, kau bisa meneruskan pekerjaanmu."
Tetapi Netty belum juga beranjak dari tempatnya. Bahkan ia tersenyum menatap Anfa penuh arti. Tentu saja Anfa jadi tidak enak.
"Masih ada yang harus saya baca, Netty?"
"TIdak, Pak...tapi...,"Netty tampak tersipu-sipu.
"Ya, ada apa?"
"Kau tampan sekali, Anfa, "bisik Netty membuat wajah Anfa merah padam seketika.
"Lebih baik kamu keluar dari ruangan ini sekarang juga."
"Bagaimana kalau nanti kita keluar makan malam?"
"Terima kasih, maaf, saya sudah punya istri."
Netty terkikik. "Oh, maaf, Pak, "katanya genit, "Saya salah alamat, permisi."
Anfa geleng-geleng kepala ketika Netty meninggalkan ruangan. Tampaknya ia harus ekstra hati-hati menghadapi sekretaris baru itu.

Ia mulai membuka berkas yang disodorkan Netty. Tetapi sungguh, ia tidak membaca sedikit pun huruf-huruf yang tertera di sana. Ia teringat Rana, istrinya. Alangkah jauh berbeda Netty dan Rana. Netty wanita yang selalu ceria dan senang menebar pesona. Sebaliknya Rana, seorang istri yang pendiam dan cenderung menerima apa adanya. Jujur, belum pernah Anfa berpikir seperti ini. Apalagi buku harian Rana masih mengusik hatinya meskipun ia percaya tak ada yang lain dalam kehidupan mereka.
Kenapa kau tak bisa mencintaiku, Rana? keluh pria itu dalam hati. Padahal kau tahu aku sangat mencintaimu. Apa yang harus kulakukan supaya aku bisa meraih cintamu?

Sabtu, 11 April 2009

Serat Biru Persahabatan

Malam ini, sahabat
biarkan bulan bintang melihat
aku terpekur di jendela kamar
ukir kenangan indah mulai samar

Betapa indah cerita tercipta
membuat iri seisi dunia
kau, aku simpul ikatan
kita tak kan terpisahkan

Adakah yang salah di antara kita
ataukah semua...hanya prasangka semata
kisah yang terjalin selama ini
tak membuat kita satu hati

Malam ini aku berkhayal
kan mengulang semua dari awal
persahabatan seindah ini
mungkinkah kutemukan kembali

Bidadari Mungil

Cahaya matamu bagai pendar bintang
menghiasi langit kalbuku
kedua tangan kau rentang
menyambut kedatanganku

Tante, mana buku ceritanya
begitulah sapamu saat kumasuki rumah
sesaat aku teringat janjiku yang tertunda
akan menuliskan sebuah cerita indah

Aduhai, senyummu laksana tetes embun
kurasa benar di sanubari
celoteh dan senandungmu yang beruntun
membuatku tak ingin beranjak pergi

Sebab bagiku kau adalah bidadari
walau kau tak pernah bersemayam di rahimku
namun di hati inilah kau terpatri
dan takkan pernah habis puisi tentangmu

Simbol Waktu

Berapa lama lagi waktu kita
seekor camar terbang di angkasa
seakan-akan memberi tanda
bahwa saat itu akan tiba

Jam di dinding tak lagi berputar
dilahap usia ia pun pudar
dentang loncengnya tiada pula terdengar

Berapa panjang lagi masa kita
melintas camar di langit raya
saat itu senja telah menyapa
pertanda waktu semakin dekat saja

Lihatlah boneka di dalam gudang
warna dan bajunya tampak usang
seharusnya ia sudah lama dibuang

Masih adakah kesempatan bagi kita
seekor camar kepakkan sayapnya
menyatu bersama senja
kelana sampai akhir masa


Kita Akan Pergi

Satu demi satu mereka pergi
dan tak pernah akan kembali
walaupun mereka ingin sekali
namun semua takdir Ilahi

Satu per satu mereka pun berlalu
menyandang amal perbuatan di bahu
alam kubur yang dituju
berbaring sembari menunggu waktu

Cepat atau lambat
detik-detik kehidupan akan tamat
alpa diri baiknya kita lihat
sebelum semua menjadi terlambat

Apalah jadinya nasib diri
jika keangkuhan meliputi matahati
tiada guna sesali lagi
sebab kita tak kan bisa kembali

Gadis dalam Cermin

Cermin, cermin di meja rias
Sudah cantikkah senyumku yang seulas
Kutatap bayangan diri dengan puas

Tak kulupa menyapa daku yang rapi
Pada sebuah cermin di kamar pribadi
Setiap aku selesai menghias diri

Cermin, kawanku yang setia
Kupasang wajah penuh ceria
Berharap bayangan kan membalas sapa

Tetapi entah mengapa
Bayanganku tampak berduka
Kulihat derai air matanya

Padahal aku sudah tertawa
Tapi semakin keras aku tertawa
Semakin deras pula derai air matanya

Tertawalah, tertawalah!
Jangan kau buat aku salah tingkah
Tertawalah, kau tak boleh kalah!

Malam itu aku merenung
Bayanganku tampak linglung
Sehingga aku menjadi bingung

Mengapa bayanganku tak mau menurut
Adakah yang dia tuntut
Atau dia tak suka cermin yang butut

Baiklah, besok akan kuganti
Sebab aku telah jatuh hati
Pada senyummu yang penuh arti

Dengan cermin baru di kamarku
Kulempar senyum pada sahabatku
Sebuah sapa dari tulus hatiku

Namun, tatapan itu penuh lara
Seperti menyimpan setumpuk luka
Yang sulit dicari obatnya

Aku pun meneteskan air mata
Turut berbagi duka
Sebagai tanda sobat yang setia

Tiba-tiba aku terpana
Kulihat bayanganku tertawa
Melambaikan tangan dengan gembira

Ah, ia mengajakku bersamanya
Mengelilingi dunia kaca
Tentu aku akan suka

Cermin itu pembawa petaka
Ia selalu membawa pergi pemiliknya
Dan mereka tak pernah lagi terlihat mata

Tetapi aku sedang bersuka cita
Bersama gadis yang tak kenal duka
Biarlah aku di sini saja

Arti Cinta

Ia bertanya kepadaku saat purnama
Tahukah kau arti cinta?
Kugelengkan kepala seraya menatapnya
Aku tak pernah memahami makna cinta sesungguhnya

Ia tersenyum menatap langit hitam
Kelam membentang di angkasa malam
Cinta itu bagaikan matahari
senantiasa tebarkan cahaya terangi bumi

Ia kembali menatapku
Walaupun ia tak terlihat olehmu
keikhlasannya tak pandang bulu
kesetiaannya tiada kenal batas waktu



Catatan: Mengenai ketulusan, aku bukan hanya belajar dari almarhum ibu dan ayahku, tetapi juga dari seorang bibi, adik bungsu ibuku. Bagiku beliau adalah orang yang sangat tulus dan selalu memperhatikan kebutuhan orang lain. Sikap dan tutur katanya mencerminkan ketenangan jiwa dan kebijaksanaan berpikir. Beliaulah yang dengan sabar membantuku merawat selama ibuku sakit hingga wafatnya.

Batu Si Malin KUndang

Saat kusiram halaman
datang seorang pemuda tampan
namun keadaannya sungguh menyedihkan
sebotol air tergenggam di tangan

Iba hati kusapa dia
Siapakah Ki Sanak kiranya
Adakah kau tersesat rupanya
Mengapa pula kau terlihat berduka

Air matanya berlinang-linang
Akulah si Malin Kundang
Akulah si Pecundang
anak durhaka yang telah lancang

Serasa bumi memaku
Bukankah kau telah menjadi batu
mengapa kau berdiri di halamanku
Pergilah, sebelum kupanggil semua tetanggaku

Janganlah kau mengusirku
aku berkelana mencari Ibu
ingin kubersujud penuh rindu
mohon maaf atas semua salahku

Kutatap wajahnya marah
tak perlu meratap di depanku
percuma kau berjalan tak tentu arah
bukankah semua tlah berlalu

Malin Kundang tertunduk lesu
tatapannya semakin sendu
apakah tiada maaf bagiku
andai aku tak durhaka pada Ibu

Ibumu telah lama tiada
terlalu berat memikul beban lara
hapuslah air matamu
selamanya kau tetaplah batu

Malin Kundang pun tersedu
kulihat ia tampak kaku
kini ia kembali jadi batu
aku pun hanya bisa terpaku

Sejenak aku kebingungan
jika nanti tetangga berdatangan
apa yang harus kuceritakan?
Malin Kundang datang dan menangis di halaman?

Pasti aku dikira sudah gila
Kalau begitu batu ini kuamankan saja
Ini batu bernilai seni luar biasa
Aku bisa menjadi kaya

Jumat, 10 April 2009

Sepenggal Masa Lalu

Kala kusibak tirai masa lalu
tak terhitung dosa membelenggu
menyesak dada dan ruang kalbu
hingga tiada lelap tidurku

Saat kututup kelambu hitam
tempat godaan bersemayam
merabunkan pandang yang tajam
kulihat iblis dan setan saling menggenggam

Mengapa kubiarkan saja
mereka berdendang sukacita
hampir saja kuterima undangan sejak dahulu kala
mengadakan reuni dalam kobaran api neraka

Kini telah kutinggalkan semua
Kini telah kutanggalkan dosa-dosa
Walau belum semua
Sebab aku hanyalah manusia biasa

Telah kulupakan masa kelabu
Telah kubuka lembaran baru
Telah tiba nuansa cerah di hadapanku
Siap temani setiap langkahku

Kamis, 09 April 2009

Tangisan Awan

Aku tak mengerti
mengapa awan tiada memahami
terkadang aku ingin sendiri
tanpa ada yang menemani

Seperti saat ini
diterpa terik mentari
sungguh aku menyendiri
tak ingin ada yang menghampiri

Tetapi awan bergumpal datang
bersama kesedihan yang tersandang
menebar kelam mendung menjelang
disertai jeritan panjang

Aku, langit tak ingin berdusta
kupandang awan menangis penuh luka
mungkin ia butuh pelipur lara
setelah lama menyimpan nestapa

Lihatlah mentari tak sembunyi
mungkin ia ingin berbagi
berharap awan tak menangis lagi
tersenyum cerah sepanjang hari