Senin, 30 Juni 2008

Puisi Akrostik tentang Empat Kemenakanku

Empat belas lebih beberapa bulan usiamu
Kau pendiam dan kutu buku
Ingin membaca buku setiap waktu

Ragu-ragu dalam soal matematika
Aku tak suka menghitung luas segitiga
Yang kusuka pelajaran IPA
Hari-hari kau lalui tanpa rasa duka
Adakah waktumu terlewat tanpa ceria
Nasihat mama papa kau laksanakan dengan gembira

Pipimu yang kemerahan
Untaian katamu yang menggemaskan
Tampak berseri damaikan perasaan
Riang bercerita habiskan waktu berjalan
Impian indah masa kecil semoga tak kau lepaskan

Alangkah lincah gerakmu
Yang mengikuti irama lagu
Ingin rasa hati mencium pipimu
Karena senyummu sejukkan kalbu

Minggu, 15 Juni 2008

Kisah Seekor Elang

Elang, kaulah saksi yang tak pernah berucap cinta
hanya kepak sayap gagah, tajam tatap mata
memancarkan pedihnya kisah
menegur diri untuk berbenah

Elang, kau terbang melintasi langit serta bukit
memandang tanah kerontang berwarna sangit
tengadah ke angkasa seraya menjerit

Tajam pancar matamu
Tegar kepak sayapmu
Semua berkisah tentang rindu
Dalam kesepian yang terpaku

Jumat, 13 Juni 2008

Antologi Puisi Istimewa (I)


Pelajaran Menggambar


Jam ketiga pelajaran menggambar
Tiba-tiba saja ada yang bergejolak
di dalam perutku
Selalu saja pencernaanku tak beres
jika harus menjalani pelajaran ini
Bagaimana tidak?
Aku memang tak pandai menggambar
selain gunung dan sawah
Dan sekarang Bu Guru menyuruh kami menggambar
sehelai daun
Daun apa? Kalau daun jendela, bolehlah.
Jadi kugambar saja daun jendela
Tapi akibatnya, aku harus berdiri di depan kelas
sampai bel istirahat berbunyi


Handphone Petaka

Aku tidak berani pulang....
Bu Guru yang galak itu merampas hp yang kubawa dan ia simpan di dalam tas
aku pun tak berani memintanya karena beliau pasti akan mengintoregasiku bertubi-tubi
seperti polisi sedang menangkap
maling ayam
Ada juga sebab yang lain,
kemarin temanku mengirimkan gambar seorang bule
sedang berjemur di Pantai Kuta
Ah, dasar nasib sedang sial
Bagaimana ini? Aku tak berani pulang
aku juga tak mungkin menginap di sekolah
Hp itu milik kakakku. Ia pasti akan mengomel panjang lebar
jika tahu hpnya raib
Aku tinggal menunggu nasib
Besok pasti ada surat panggilan untuk orangtuaku
Ah, kenapa tidak kuhapus saja gambar itu


Sebutir Permen dan Kupu-Kupu

Permen kesukaanku
itu hanya tinggal sebutir
Aku menatap bungkus plastik itu tak percaya
Mataku masih terbelalak
Aku ingat benar, aku masih ingat
kemarin permen itu masih utuh sepuluh butir
Aku berusaha menghibur diri
Tak mengapa, toh masih ada satu
Satu dan nol bukankah sepuluh
Kalau nolnya hilang jadi tinggal satu
berarti aku tidak terlalu rugi
mungkin juga aku yang lupa
atau tak sadar menikmati sembilan butir lainnya
saat membaca buku atau menulis tugas
kubuka bungkus permen itu
tiba-tiba....
bungkus permen itu terbang melayang bagai kupu-kupu
aku berlari mengejar
tapi kupu-kupu itu seolah-olah mengejekku
aku tak sanggup menangkapnya
tapi....
aku tak akan menyerah
walaupun aku harus terus berlari
sampai tiba batas waktuku


Catatan: Antologi puisi ini merupakan kumpulan sajak saya yang tidak seperti biasanya. Ada seorang penyair Malaysia yang mengomentari gaya puisi saya yang kebanyakan memang memiliki rima teratur, kadang-kadang terdapat pula efoni, kakofoni, aliterasi, dan asonansi. Ia mengira saya masih mencintai puisi lama semacam syair. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Jujur saja, saya memang merasa lebih mudah mengarang puisi bersajak teratur. Mengarang puisi bersajak bebas atau tidak teratur memaksa saya untuk merenung lebih lama dibanding berkarya dengan puisi bersajak teratur.





Dalam Hening

Dalam hening aku menanti
syair merdu dini hari
yang kan mengajakku bernyanyi
menggapai asa yang tak kan pergi

Dalam sepi aku menanti
sebait puisi jelang fajar hari
kan kulantunkan bersama mentari
raih cita kan datang lagi

Dalam hening ku selalu menanti
sajak indah pagi hari
biarlah kusabar merajut mimpi
hingga nyata mendatangi

Kamis, 12 Juni 2008

Selamat Jalan, Ibu

Kabut masih menyelimuti bumi
embun dedaunan menetes jatuh ke bumi
senyap membayangi diri
kala kau pejamkan mata tinggalkan sepi

Hampa dunia terasa hampa
melayang, jatuh, dan terhempas tiada lagi kurasa
menetes air mata, menahan tangis di dada
berharap ini hanya mimpi belaka

Surya pun datang menyapa
kusambut dengan tatapan tanpa makna
ibu yang kusayang telah tiada
meski sedih membiru aku ikhlaskan jua

Tekad

Berjalan aku dalam rinai hujan
kecipak air temani setiap langkah
gelap angkasa kujadikan kawan
tegarkan hati tentukan arah

Dingin selimuti hangat diri
semilir angin bisikkan kata
basah tanah tekadkan asa
orkestra katak syahdu mengiringi

Berjalan aku di antara tetes hujan
tiada pelangi dalam gelap malam
berpacu arah angin berlawanan
namun bara di diriku tak kan padam

Berita dari Langit Ketujuh

Kisah zaman dahulu
kala akal dan nafsu belum berpadu
kala raga dan sukma belum menyatu
berwadah di dalam tubuh yang satu

Takdir Allah yang menetapkan
segala sesuatu di jagad raya harus berpasangan
atas dengan bawah, belakang dengan depan
sepasang insan dalam bahtera kehidupan

Beberapa hari menurut hitungan Tuhan
anak manusia pun dilahirkan
dari rahim mulia perempuan
akar benih cinta setiap pasangan

Tetapi....
di sudut-sudut sunyi
beberapa insan tampak sendiri
menunggu tiba ketentuan Ilahi

Hanya mereka yang bersabar
merajut harapan dengan benang ikhtiar
mengikat tali asa beserta doa yang terpancar
kepada-Nya segala impian yang berakar

Bahwa mereka percaya
keadilan Allah di atas segala
walau tidak demikian dalam kasat mata
bagi mereka, Allah adalah muara segala

Sebuah kitab dalam genggaman Tuhan
yang berisi berbagai catatan
tentang manusia dan amal perbuatan
membuat mereka yakin menggapai harapan

Lembaran demi lembaran berisi kalam Ilahi
tidak lagi membuat mereka berkecil hati
karena ada keyakinan di sanubari
Allah berikan yang terbaik bagi kami